Seusai kata 'sah' mengudara, keduanya sudah berganti status menjadi pasangan suami istri. Senyuman tak terlihat dari keduanya, sesaat mereka saling bertukar cincin. Pun dengan Papa Susanto yang hadir dipernikahan putrinya. Hanya raut datar sejak tadi ia layangkan mengikuti upacara sakral dari putrinya.
Meskipun tak percaya dengan situasi sekarang. Faktanya, bagi pria paruh baya itu adalah sang putri sudah memiliki teman hidup sebagai ganti perannya yang sempat tertunda. Berlalunya waktu hingga menyudahi acara yang hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu, pun menandakan acara sudah berakhir.
"Makasih, Pa," kata Sauna, sesaat mengantarkan sang Papa ke mobilnya.
Pria itu menarik napas pelan dan memandang putrinya penuh cinta. Dia sama sekali tak menyalahkan sikap tegas Sauna, saat lima tahun yang lalu memilih pergi dari rumah. Ya, karena ulahnya sendiri.
"Papa bersyukur, kalau kamu memang bahagia sama laki-laki pilihan kamu, Sarayu. Papa banyak salah sama kamu, tapi Papa berterima kasih, karena hidup dengan baik di luaran sana dan tidak mempermalukan nama Papa. Dan yang paling Paap syukuri, kamu masih menganggap Papa ini orang penting." Samar-samar, pria paruh baya itu tersenyum sambil menatap kecantikan Sauna yang mewarisi kecantikan mendiang istrinya.
Sauna menunduk sesaat, sebelum dia berkata, "kalau dibilang penting, Papa itu penting. Cuma Papalah keluarga Sarayu satu-satunya. Hanya saja, rasa sakit hati Sarayu nggak bisa hilang gitu aja, Pa. Papa tau 'kan, maksud Sarayu?"
Kedua mata sang Papa berkeliling merasa malu. Dia paham betul apa yang menjadi pemisah antara dirinya dan sang putri.
"Maaf dari Papa juga nggak akan mengubah apapun 'kan, Sarayu? Bagi Papa, kamu masih memanggil Papa dengan sebutan itu saja sudah lebih dari cukup. Pulanglah sesekali hanya untuk melihatku. Kamu masih diharapkan menginjak rumah itu, Sarayu."
Papa Susanto akhirnya menurunkan egonya akan kejadian di masa lalu, antara dia dan Sauna. Semalaman sang Papa berpikir soal dirinya dan kesalahan fatal yang ia lakukan sendiri ke Sauna.
Merasa salah diri dan tidak seharusnya menyalahkan keputusan Sauna yang memilih keluar dari rumah sejak kejadian mama tiri Sauna menuduh gadis itu mencuri uang dan sang Papa malah lebih mempercayai istri barunya. Di saat itu pula, Sauna memilih kabur dari rumah.
Dia sama sekali tak mengenali papanya yang dulu. Papa Susanto berubah sejak menikah dengan Juli dan mendapati seorang putra yang menyayangi Sauna dengan tulus. Tapi bagi Sauna itu tidak cukup. Dia butuh papanya yang dulu pernah mencintai dan menyayanginya tanpa pilih kasih.
"Nanti, kalau Sarayu uda punya keberanian ya, Pa. Sarayu nggak janji," balasnya pelan.
Tangan sang Papa terulur untuk menyentuh puncak kepala Sauna. "Kapanpun kamu siap, Papa tetap tunggu kedatanganmu putri kecilku"
Mengingat izin dari Papanya saat proses pernikahan itu berlangsung, membuat Sauna menitihkan air mata. Sama dengan sekarang, Sauna meneteskan air mata saat merasakan telapak tangan sang Papa yang kerab kali dilakukan pria itu kepadanya dari usia kecil hingga Sauna dewasa.
"Jangan menangis. Kamu bisa kasi pelukan sama Papa?"
Sejak tadi pula, Papa Susanto memang menginginkan pelukan dari Sauna. Tapi rasa gengsi dan malu terlalu besar dalam dirinya.
Kedua tangan Papa Susanto terbuka lebar untuk menantikan izin dari Sauna.
"Tentu saja boleh," jawabnya lirih dan menolak tubuh untuk membalas rangkulan sang Papa. Sauna sesenggukan dalam dekap hangat pelukan Papa Susanto.
Dengan gerakan lembut pula, Papa Susanto mengusap badan Sauna. Air matanya ikut menetes merasakan gerakan tubuh Sauna.
"Papa sangat merindukan putri kecilku."
Sauna mengangguk. "Sarayu juga, Pa. Sarayu merindukan sosok Papa yang sangat menyayangi Sarayu dan juga mempercayai Sarayu."
Gugup dan lirih pun saling bertukar dalam kata-kata. Menguapkan kerinduan, kesalahan dan kesedihan yang mendalam di antara anak dan bapak itu.
"Papa yang salah, Nak. Maafkan Papa, Sarayu." Dengan penuh keberanian, Papa Susanto akhirnya mengucapkan permintaan maaf.
Sauna mengangguk. "Maafkan Sarayu juga, Pa."
"Anak Papa nggak salah. Kamu uda benar, Sarayu. Sudahi air matamu. Ini adalah hari bahagia anak terbaik yang Papa punya. Mungkin ini terlalu sederhana dengan gaya hidup laki-laki yang menjadi pendampingmu itu. Jelas-jelas, dia bisa memberikanmu pesta yang mewah. Di mana keluarganya?"
Sauna terisak sejenak sebelum dia menangkap pertanyaan Papanya.
"Orang tuanya?"
Kenapa aku lupa bertanya soal ini?
"Iya, Sarayu." Papa Susanto mengurai pelukan dan menatap intens pada sang putri. "Kamu nggak tau di mana keluarganya?"
"Nanti Sauna tanyakan ya, Pa. Yang Sauna tau ... keluarga Horizon nggak di Jakarta," katanya beralasan.
Papa Susanto mendesahkan napas. "Kamu benaran uda kenal lama sama dia, 'kan?"
Manik mata Sauna berkeliling sebelum berkata, "uda kok, Pa."
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, Papa mau pulang. Kamu harus hidup dengan benar dan bahagia, Sarayu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi Papa. Mari memperbaiki hubungan kita."
Penuh harapan di manik hitam legam milik sang Papa. Sudah lama tidak Sauna dapatkan tatapan seperti itu dari pria kesayangannya. Meskipun perasaan Sajna sempat tersakiti oleh sikap Papanya, kini Sauna paham. Sebesar apapun rasa sakit hati terhadap sang Papa. Dia tidak bisa benar-benar membenci pria ini.
"Hati-hati di jalan ya, Pa." Sauna menggenggam punggung tangan Papa Susanto. "Sarayu sayang sama Papa. Tetap sehat."
Telapak tangan Papa Susanto menyentuh permukaan punggung tangan Sauna dan tangan lainnya mengusap air mata di pipi wanita itu.
Dia mengangguk dan menarik napas perlahan-lahan. "Papa pergi," katanya.
Sauna tersenyum melepas kepergian sang Papa. Dia menyoroti kepergian Papa Susanto masih di posisi yang sama dengan raut kesedihan di kedua manik mata milik Sauna.
"Sarayu tetap jadi anak Papa sampai kapanpun. Jangan sakit-sakit ya, Pa," gumam Sauna, tanpa sadar sedari tadi Horizon yang menjadi suaminya sejak beberapa jam lalu memperhatikan diq dengan binar mata teduh dari kedua pupilnya.
Melihat mobil yang dikemudikan oleh sopir sang Papa menjauh dan hampir tak terlihat lagi dalam pandangannya, Sauna berbalik badan dengan tatapan sedih.
Baru selangkah berjalan dan menarik wajahnya ke atas dan menatap ke depan, ia terkaget melihat Horizon berdiri dari kejahuan dan memandang ke arahnya dari depan pintu. Kedua kaki Sauna pun terhenti merasa malu diperhatikan terang-terangan oleh pria yang sah menjadi suaminya.
"Apa sejak tadi dia berada di sana?" tanyanya pada diri sendiri.
Masih berbalut setelan jas dan terlihat sangat gagah, Horizon kini memaju langkah untuk menghampiri Sauna yang terlihat semakin mengerikan menyoroti kedatangannya.
"Di-dia mau apa?" Sauna berbalik badan seketika.
"Apa kamu sudah selesai?" Horizon berdiri tepat di belakang Sauna. Dia memandang punggung istrinya yang memang suka sekali menghindari tatapan sejak tadi. Bukan tanpa alasan Sauana seperti itu. Perkataan Horizonlah yang membuatnya menjadi canggung.
"Sudah."
"Ayo, kita pulang."
Sauna menoleh. "Pulang?"
Horizon menatapnya dengan wajah datar. "Aiss, kebiasaanmu kambu lagi. Kenapa suka sekali mengulangi pertanyaanku?"
Sauna memberut kesal. "Aku hanya terkejut. Jangan marah-marah. Kamu bisa cepat tua nanti," gerutunya.
Horizon membalas tatapan tidak percaya di wajah Sauna. Kedua tanganq ia sampirkan di kedua saku celana. Di bawah terik sinar matahari pengantin baru itu ngobrol dengan nada yang biasa saja. Tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang terlihat saling mesra sehabis menikah.
"Terkejut, ya?"
"YA! Kamu sendiri mengulang perkataanku. Sudalah antar aku pulang sekarang. Kamu menyebalkan sekali," gerutu Sauna. Dia menarik bawahannya agar bisa berjalan dengan cepat meninggalkan Horizon yang tidak percaya dengan tingkah Sauna.
"Apa dia benar-benar seorang wanita?"
Meskipun kesal, Horizon tetap menyusul Sauna yang kembali masuk ke dalam ruangan sebelumnya. Pria itu menebak, Sauna mengambil tas dan barang keperluan mereka selama proses pernikahan tadi.
"Pak," teguran Xelo sang asisten pribadi menghentikan langkah yang hampir mencapai pintu.
"Ada apa, Xelo?"
"Selamat atas pernikahan Pak Horizon dan Ibu Sauna."
"Apa kau cuma ingin mengatakan itu?" tanyanya datar.
"Bukan, Pak. Saya hanya tidak enak saja mengatakannya."
"Katakan, Xelo."
"Anda disuruh menghadiri rapat siang nanti bersama pimpinan untuk membahas soal tender, yang kemarin Pak Horizon tolak." Xelo menunduk takut, kalau menyangkut orang tua Horizon yang ikut andil dalam perusahaan.
Horizon menghembuskan napas. "Selalu saja ikut campur. Kalau gitu, kau bawa dulu ke apartemen. Aku ganti pakaian dan kemudian bersiap ke perusahaan."
"Bagaimana dengan Ibu Sauna, Pak?" tanya Xelo mengingatkan. Ya, kalau-kalau Horizon lupa, kalau dia barusan menikah dengan gadis yang baru satu hari bertemu dengannya.
"Bawa saja. Aku rasa, dia akan menolak."
"Apa urusanmu sudah selesai, Nona Sauna?" tanya Horizon mendapati Sauna keluar dari pintu ruang utama. Xelo berjalan cepat menghampiri istri atasannya.
"Berikan pada saya, Bu," ucap Xelo meminta barang-barang dalam genggaman tangan Sauna.
"Jangan panggil Ibu. Panggil saja Sauna," balasnya seraya memberikan bawannya ke tangan Xelo.
"Bukan rana saya, Bu."
"Panggil saja Sauna, aku belum ibu-ibu."
"Tapi kamu sudah menikah, Sauna," saut Horizon mendapati tatapan sang istri.
"Hah, terserah saja." Sauna kembali menarik bawahannya, agar bisa berjalan dengan leluasa. Dia diikuti oleh Xelo yang paham akan ke mana arah tujuan Sauna.
Memperhatikan Sauna dari belakang, selalu saja sukses membuat pria itu gagal fokus.
"Aku rasa, dia seperti seorang laki-laki bila dilihat dari belakang. Apa dia memiliki kepribadian ganda?"
Begitulah pandangan Horizon tentang sisi lain dari Sauna yang ia dapati hari ini. Kemudian, kedua kaki pria itu cepat memaju langkah menuju parkiran.
Selama di dalam perjalanan. Sauna dan Horizon memilih berdiam dengan pikiran masing-masing. Sang sopir sejak tadi, pun sibuk memandang dari kaca spion depan. Merasa aneh dan tidak normal saja melihat keadaan yang menurut Xelo tidak layak disebut suami istri.
"Kita ke apartemen 'kan, Pak?" tanya Xelo memecah keheningan.
Horizon yang sempat berdiam dengan tangan menopang kepala di atas kaca mobil pun berdehem. "Hemmmm."
Sauna menoleh ke arahnya. "Apartemen siapa yang kalian maksud?"
Horizon menoleh menemui kedua manik Sauna yang tampak panik. "Ke tempatku. Apa kamu keberatan?"
"Apa kita harus seatap?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Horizon sedikit terkejut dan tak percaya. Pun dengan Xelo.
"Aku serius. Kenapa kita harus tinggal satu apartemen?"
Horizon mengedikkan bahu. "Aku rasa, kamu cukup tau jawabannya, Sauna."
"Kamu nggak kasi tau soal ini, Pak Horizon yang terhomat."
"Karena ini sudah hukumnya bagi kita yang sudah menikah."
Sauna memberut kesal dan merasa tak berdaya kini. "Jadi, kita harus tinggal bersama?"
"Tentu saja."
"Tapi aku nggak punya pakaian ganti untuk ke depannya. Kamu nggak bilang sama sekali. Gimana, sih?"
Horizon menarik kasar napasnya. "Aku akan mengurusnya untukmu."
"Urus bagaimana?" tanyanya lirih dan melayangkan tatapan sedih ke arah Horizon.
Pria itu pun menoleh membalas tatapan Sauna. Sempat berdiam sejenak menikmati tatapan pertama yang paling Horizon rindukan setelah kematian sang mama dari wanita di sampingnya.
"Kenapa kamu diam aja?"
Horizon melengos. "Aku akan mengantarmu setelah urusanku selesai."
"Maksudnya?"
Kembali ia menoleh ke Sauna. "Tujuan utama kita adalah apartemenku. Kedua, aku bakalan ke perusahaan, nanti Xelo akan membawamu ke apartemen Gangika untuk berganti pakaian.
Kamu boleh bekerja lebih dulu di tempat Gangika selama aku masih bekerja. Selesai dari perusahaan, aku sendiri yang akan menjemputmu. Dari situ, aku akan membawamu ke apartemenmu dan membantumu berkemas. Kita akan tinggal sementara di rumah orang tuaku."
"Apaaaaaa?"
Bersambung.
***
Haiiii, gimana? Tinggalkan jejaknya :)