"Apaaaaaa?"
Horizon terperanjat seraya menyentuh bagian rongga paru dan menatap Sauna dengan ekspresi kaget. "Astaga ... bagaimana bisa suaramu besar sekali? Tubuhmu kecil, tapi kamu jago berteriak?"
Sauna memberengut. "Pintar kamu mengejek."
Xelo di depan sana ingin sekali tertawa mendengar perdebatan yang terlihat manis itu. Tidak pernah disangkah olehnya, Horizon sang atasan itu bisa sedekat itu dengan Sauna. Sebelumnya, tidak ada satupun gadis yang bisa bertahan untuk duduk dengan Horizon melebihi 1 jam. Berbeda dengan sekarnag pikirnya. Pria itu malah bisa mengajak Sauna menikah dan saling mendebat. Ini langkah, pikirnya.
"Karena kamu terlalu aneh," dia melengos.
"Apa kamu bilang?"
"Jangan mengajukan pertanyaan di atas setiap perkataanku. Kamu ini selalu saja," jawabnya tak acuh.
Sauna ingin sekali menjawabnya lagi. Tapi mulutnya seolah ada rem, agar tak lagi melanjutkan perdebatan yang tak masuk akal ini.
"Kamu diam?"
Sauna yang sempat menunduk dengan bibir memberut, kini menoleh ke arah Horizon dengan tatapan kesal. "Aku diam salah, aku ngomong juga salah. Kenapa dengan pria ini?" gerutunya pelan.
"Aku bisa mendengar perkataanmu." Horizon menoleh dan mendapati tatapan kesal dari Sauna.
"Apa?"
Sauna seolah menantang ke arahnya. Tapi tak bisa pula, Horizon menentang pertanyaan Sauna. Dia terdiam masih tak melepas tatapan Sauna yang semakin berani saja bertukar emosi dengannya.
"Tidak ada. Sesuai dengan perkataanku tadi, kita ke apartemenku dulu untuk bertukar pakaian. Kamu ikut bersamaku. Dan setelah itu, kamu dan aku ke perusahaan, kita berpisah di sana. Xelo akan mengantarkan kamu ke apartemen Gangika. Kamu boleh bekerja. Selesai pekerjaanku usai, aku sendiri yang akan mejemputmu—"
"Aku sudah paham. Kenapa harus diulang lagi?"
Mulut Horizon yang sempat mengang perlahan menutup, ketika perkataannya dipangkas habis oleh Sauna. Menarik napas sejenak, dia pun membuang pandangan ke arah depan. Dia bahkan tak mampu untuk beradu mulut dengan Sauna, pikirnya.
Tidak apa-apa. Dia memang seperti itu.
Melakukan perjalanan selama dua puluh tiga menit, akhirnya mereka tiba di parkiran bawah tanah apartemen tempat Horizon membuang waktu kesendiriannya. Sauna sempat berkeliling pandangan, seoalah ia tidak merasa asing di sini.
"Kenapa diam? ayo turun," ajak Horizon lebih dulu menarik handle pintu mobil.
"Aku rasa pernah berada di sini 2 tahun yang lalu, tapi aku lupa dengan siapa.
gumam Sauna seraya turun dari mobil.
Hezron melangkah lebih dulu tanpa menanti Sauna yang baru saja turun dari mobil dan berlari kecil untuk berada tepat di belakang Horizon. Dia tidak memedulikan Sauna yang masih mengingat-ingat pertemuannya di sana bersama Gangika atas peresmian apartemen milik Horizon sendiri.
"Agh aku ingat!"
Brugggg ....
Sauna terpental beberapa langkah dari belakang Horizon. Pria bertubuh tinggi itu berhenti secara tiba-tiba. Amat sangat sakit dirasakan Sauna di keningnya. Dia mengusap-ngusap bagian yang terkena badan berisi milik Horizon dengan mata kesal menyoroti pergerakan wajah suaminya.
"Sakit tau!" ketusnya.
"Siapa yang suruh berjalan di belakangku?"
"Ya, nggak ada sih," jawabnya masih menyentuh kening. "Aku yang salah emang. Tapi kenapa kamu malah berhenti tiba-tiba? di sini nggak ada lampu merah juga."
Horizon menahan tawanya. Kalau dia nggak punya gengsi untuk mendekatkan dirinya dengan Sauna, mungkin saja dia sudah tertawa lepas mendengar ucapan Sauna. Masalahnya, Horizon masih belum bisa percaya pada siapapun. Apalagi, dia memang belum pernah berpacaran meskipun banyak teman gadis yang mendekati dirinya.
"Aku cuma mau membenarkan posismu," jawab Horizon kini melangkah mendekati Sauna. Wanita itu malah menatap takut dan ikut mundur. "Berhenti di tempatmu!"
Mendengar nada tinggi Horizon, kedua kaki Sauna seketika berhenti bersaamaan dengan langkah Horizon yang berjalan cepat untuk mendapati Sauna.
"Kenapa malah menjauh?" tanya Horizon.
Kedua orang itu saling berhadapan tanpa bertatap muka. Sauna memilih menunduk, ketika wajah Horizon menatap ke bawah untuk menggapai tatapan Sauna. Tinggi mereka terbilang lumayan jauh.
"A-aku cuma bingung."
"Takut?"
"Tidak. Aku tidak takut denganmu," balas Sauna.
Padahal dari suaranya yang bergetar dan tatapannya yang mengarah ke arah lain, bisa Horizon pastikan, kalau wanita di depannya ini memang takut padanya.
"Kalau kamu tidak takut denganku, kenapa nggak berani membalas tatapanku?"
Sauna merasa ditantang. "Siapa yang takut? kamu ternyata banyak ngomong juga ya? cerewet banget malah," ejek Sauna.
Kedua alis Horizon terangkat. "Wah, aku rasa kamu memang punya keberanian yang cukup tinggi. Aku itu cuma mau bilang sama kamu, Sauna. Jika suatu saat nanti aku dan kamu bersama saat kita berjalan seperti ini atau pun di depan keluargaku, sahabatku, teman bisnisku. Aku harap kamu tetap ingat, kalau kamu itu istriku. Meskipun kita menikah tanpa cinta di antara aku dan kamu. Kita. Aku cuma mau, kamu selalu berjalan di sampingku bukan di belakangku, Sauna. Kamu ikut bukan ekor. Paham?"
Sauna sempat terperangah mendengar penuturan Horizon. Kedua manik hitam itu menatapnya teduh bukan terlihat dingin kayak sebelumnya. Suara itu juga terdengar sangat lembut menelusup masuk ke dalam indera pendengaran Sauna, seolah dia terbuai saja.
Alis Horizon terangkat masih menatap Sauna yang diam menatap dirinya.
"Kenapa menatapku?"
Sauna menggeleng sadar. "Ti-tidak apa-apa. Baiklah, aku paham."
"Kalau gitu jalanlah," perintah Horizon.
Merasa kikuk dengan situasi barusan, Sauna memilih lebih dulu berjalan di depan Horizon. Bahkan, jantung Sauna berdegup sangat kencang dari sebelumnya. Tanpa dia tahu, Horizon tersenyum sebelum menyamakan langkah mereka berdua.
Masuk ke dalam lift, keheningan menjadi jeda bagi keduanya. Berdiri saling bersisian satu sama lain, mengharuskan Sauna menahan napas. Di sini cuma dia saja yang merasa canggung, tapi tidak dengan Horizon yang berasa santai di samping Sauna. Ya, pria itu malah menyukai cara Sauna berinteraksi dengannya. Wanita yang menjadi istrinya ini akan menjadi diam, kalau saja Horizon diam seperti sekarang.
Suara pintu terbuka menandakan mereka tiba di lantai 22 tempat di mana Horizon sesekali untuk tinggal.
"Kenapa masih diam?"
"Agh? kita sampai?"
Horizon hanya mengangguk kepala. Dengan kebingungan yang tercetak di wajah Sauna, kedua kakinya pun melangkah keluar di ikuti Horizon dari sampingnya.
"Tiga pintu dari sini sebelah kanan itu adalah apartemenku yang bakalan jadi milikmu juga."
"Milikku?"
"Ya. Kenapa kamu malah bingung?"
"Buat apa memberikanku apartemen mahal-mahal. Aku nggak butuh," balasnya.
"Apa yang menajadi hakku juga menjadi hakmu. Kamu itu istriku."
Sauna cuma bisa menganguk sembari beroh ria. Tidak beberapa lama, keduanya tiba di depan pintu yang dimaksud oleh Horizon. Pria itu menempelkan smart card pada pintu.
"Silahkan masuk, Nyonya Horizon Cakrawala," sambut Horizon dengan tulus.
Sauna malah merasa merinding dengan sikap Horizon yang suka berubah-ubah itu.
"Diam lagi? Masuklah. Anggap saja, aku memberikan sambutan untuk istriku."
"Tidak perlu begitu," gumamnya pelan dan merasa malu.
Kedua kaki Sauna melangkah melewati Horizon yang masih menahan daun pintu. Kedua manik mata Sauna disambut dengan ruangan yang tampak mewah dan luas di dalamnya. Warna coklat muda menjadi dasar dari setiap ruangan dengan furniture minimalis menggunakan warna senada. Tampak pembatas berbahan kaca di bagian dinding-dinding apartemen menerawang pemandangan kota Jakarta. Aura dingin dan sejuk juga sudah mendominasi di awal masuk.
"Gantilah sepatumu dengan sandal rumah." Horizon berdiri di depan rak sepatu yang ia letak tak jauh dari pintu.
Sauna yang sempat mengagumi seluruh isi ruangan tersadar dan menoleh ke arah Horizon.
"Iya. Kamu tinggal sendiri di sini?"
Horizon menggeleng. "Ini cuma tempat persinggahanku atau perlarian saja. Aku tinggal bersama keluargaku. Kita akan ke sana nanti malam."
Pria itu meletakkan sepasang sandal rumah di hadapan Sauna. "Pakai ini. Aku mau ke atas. Kalau kamu mau ikut, ayo. Kalau takut denganku, kamu bisa tetap di sini."
Horizon meninggalkan Sauna yang baru saja melepas sepasang sepatu yang ia kenakan. Tanpa tau, Sauna menyoroti kepergiannya mengarah ke lorong lain penghubungan anak tangga untuk menuju lantai atas.
"Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan? dia tampak gagah di luar, tapi melihat isi apartemennya seolah menggambarkan dirinya yang kesepian. Pun dengan bidang bahunya yang lebar, tampak menanggung beban,tidak satu orang pun yang tau akan dirinya."
Itulah yang Sauna nilai dari pandangannya terhadap Horizon dua hari ini. Pria itu tampak menyedihkan bila dilihat dari kejauhan. Merasa tidak ingin sendiri, Sauna kini mengarah langkah ke tempat hilangnya Horizon. Sauna menaiki anak tangga satu persatu hingga membawanya tiba di atas.
Ruang atas tidak jauh berbeda dengan ruang bawah. Warna senada juga menjadi dasar dari setiap dinding dan furniture lainnya. Hanya berbeda lorong yang terdapat ruangan-ruangan dan juga kamar.
"Di mana dia?" Sauna memilih jalan menuju lorong kedua, di mana ruang kamar berada.
"Kiri apa kanan?"
Dia terhenti di bagian tengah untuk berpikir sesaat. Kedua pintu berwarna putih itu sama-sama tertutup rapat dan tak sedikitpun suara terdengar dari posisi dia berdiri.
"Mungkin saja di arah kanan?"
Setelah menimbang-nimbang, Sauna berjalan ke arah pintu bagian kanan. Menyentuh handle berbahan besi itu, Sauna mulai menarik pegangan ke bawah. Pintu terbuka dan perlahan memperlihatkan isi dari ruang kamar tidur utama di apartemen itu.
"Berbalik!"
"Agh." Refleks Sauna berbalik badan seraya menutup mulut. Kelopak matanya terbuka lebar-lebar.
"Kenapa kamu nggak ngetuk pintu dulu sih, Sauna?"
Horizon yang sempat melepas bagian dalam pakainnya terburu-buru mencari handuk untuk menutupi bagian yang nggak seharusnya dilihat oleh siapapun menurutnya.
"Kamu juga nggak kunci pintu," balas Sauna takut.
"Aku pikir, kamu nggak ikut naik. Kamu nggak jawab tadi, Sauna." Horizon sama paniknya dengan Sauna. Merasa kesuciannya sudah ternodai oleh wanita itu.
"Aku takut sendirian," jawab Sauna.
"Takut sendirian? bukannya kamu tinggal di apartemen Gangika sendirian, Sauna?"
"Tidak. Ada pekerja bersamaku."
Horizon menghembuskan napas. "Aku ke kamar mandi dulu. Kamu duduklah di sini dan tunggu aku," perintahnya pada Sauna yang masih membelakanginya, sebelum melangkah menuju kamar mandi.
Sauana membuang napasnya sesaat mendengar suara pintu kamar mandi tertutup. Dia menunduk sembari memejamkan singkat kedua matanya.
"Aku tidak melihat apa pun,. Ya, aku tidak melihat apa pun," gumamnya dengan menggeleng kepala.
"Tapi aku melihat semuanya dengan jelas," katanya lagi dengan meringis.
Sauna menepuk kepalanya untuk menyadarkan diri. "Tidak masalah, dia itu suamimu, Sauna."
Dengan tubuh yang masih terasa kaku untuk digerakkan, Sauna berbalik badan mendapati kembali pemandangan ruangan kamar yang tampak sangat luas dan rapi. Ini lebih luas dari apartemen milik Gangika, pikirnya.
Perlahan-lahan, Sauna melangkah masuk dan mengedar pandangan ke seluruh ruangan yang terlihat sangat rapi. Segala fasilitas di kamar ini sangat lengkap. Tapi yang menjadi ketertarikan Sauna adalah bagian figura milik Horizon bersama orang yang tidak Sauna kenal tentunya. Hanya ada dua foto terpajang di dinding bagian atas TV layar datar.
Foto Horizon di masa kecil dengan seorang wanita cantik sedang memangku Horizon. Pun di samping figura itu foto yang sama dengan wanita yang memangku Horizon. Tapi itu berbeda dari foto sebelumnya. Wanita itu sendiri di foto satunya.
"Apa itu Mamanya?"
Sauna kembali memandang anak kecil yang dipangku sambil tersenyum ke arah depan. Itu jelas Horizon. Sauna sangat yakin, karena ketampanan Horizon tidak memudar sampai pria itu tumbuh dewasa.
"Keduanya sangat mirip."
"Apa kamu memujiku?"
Sauna yang berdiri di depan layar TV terjingkat kaget, saat menoleh ke arah kanan dan mendapati Horizon sedang mengeringkan rambut yang setengah basah menggunakan handuk kecil berwarna putih.
Air bekas mandiannya juga masih terlihat mengalir hingga ke bagian dadanya tak tertutupi apa pun. Pria itu tak segan-segan keluar dengan menggunakan handuk putih yang hanya menutupi sampai ke pinggang.
Sauna tertunduk. "Apa tidak bisa memakai pakaian terlebih dahulu?"
"Aku lupa."
Horizon memang lupa, kalau dia tidak sendirian. Semena-mena saja keluar dengan aktivitas biasanya di masa lajang.
Dia memang sangat menawan.
Ternodai sudah kesucian dari mata Sauna. Bertemu dengan Horizon, banyak sekali hal-hal yang baru dia dapati. Ini sesuatu yang bisa dikatakan aneh. Tapi jangan salah, Sauna malah tidak menyesali pernikahannya untuk saat ini. Jauh di dasar hati, dia mulai menyukai kepribadian Horizon meskipun berubah-ubah.
"Apa kamu mau berganti pakaian di sini?"
"Tidak," jawab Sauna cepat.
"Aku sudah mengenakan pakaian lengkap. Kamu bisa menoleh ke sini," kata Horizon menarik perhatian Sauna.
Wanita itu kembali memuja pahatan sang pencipta pada tubuh suaminya. Memang tidak bisa dipungkiri lagi dan tidak pula bisa untuk tidak mengakuinya. Horizon memang tipe pria yang ia inginkan selama ini.
Mengenakan pakaian casual rapi seperti kaos berkerah bermerk dan dipadukan celana casual berwarna abu-abu, Horizon tampak lebih bugar setelah tadi mengenakan stelan jas lengkap. Itu membuat Sauna tak bisa berkedip mata melewati pemandangan indah di depan sana.
"Kenapa diam? kamu mau ganti pakaiang nggak? aku rasa mengenakan pakaian pengantin membuatmu risih. Mau mengenakan pakaianku?"
Keduanya saling menatap dalam diam dengan tangan Horizon mengarahkan gantungan baju berisi kaos putih polos miliknya. Lalu, senyuman pertama dari Horizon di sana terulas di wajahnya. Sauna terpaku dengan senyuman yang mengingatkannya dengan seseorang.
Siapa dia?
Bersambung.