Tentang Anka

1254 Words
"Ma?" Di ambang pintu, Jona menyapa mamanya. Ryani tersenyum lebar lalu merentangkan kedua tangannya, berharap Jona menghampiri dan memeluknya seperti cowok itu ketika masih anak-anak. Nyatanya, Jona memang menghampirinya, namun bukan berarti cowok itu mau memeluk mamanya. Apa lagi di kanan kiri Ryani, ada Gino dan Anjas yang sedang memerhatikan keduanya. "Nggak apa-apa, Bang," ledek Anjas dari tempat duduknya. "Silakan peluk mamanya. Gue sama Gino bakal pura-pura nggak lihat." Jona dan Anjas melirik Anjas bersamaan dengan tatapan yang sama, datar, benar-benar nggak bersahabat. "Abang nggak kangen sama Mama?" tanya Ryani, wanita itu memandangi putranya setengah cemberut. "Apa sih, Ma," Jona duduk di sofa seberang setelah meletakkan tasnya di meja. "Aku tinggal ya, Tante. Ngobrol yang nyaman aja di sini." Gino beranjak dari tempat duduknya, dan tidak lupa menarik Anjas yang masih betah di sana berlama-lama setengah mendengar obrolan Ibu dan anak tersebut. Sepeninggal si Tuan Rumah, Gino, Ryani membongkar barang bawaanya. Selain ada baju-baju baru untuk putranya, Ryani juga membawakan beberapa menu masakan untuk Jona. Kepindahan Jona secara mendadak membuat hati Ryani sedih. Jona, anak lelaki satu-satunya di rumah. Paling pintar dalam segala hal, termasuk urusan dapur, beda sama Kakak dan adiknya. Tidak ada masalah di antara Jona dan kedua orang tuanya. Mereka hidup harmonis, keluarga mereka selalu rukun, adem ayemlah, cuma nggak tahu kenapa tiba-tiba Jona minta pindah. "Dapur di rumah jadi sepi semenjak Abang pindah," keluh Ryani sembari menarik napas panjang. "Biasanya Mama ada teman masak, sekarang sendirian." Jona tahu, mamanya sedang mendramatisir sekarang. Supaya apa, ya supaya Jona pulang ke rumah orang tuanya. Walaupun dia anak lelaki satu-satunya, kedua orang tuanya tidak pernah membeda-bedakan Jona dan saudara-saudaranya. Mereka memberikan kasih sayang yang sama rata. Tidak ada istilah Mama mau pun Papa lebih sayang anak-anak perempuannya, lalu membebaskan Jona tinggal di mana pun dia mau. Asal tahu saja ya, untuk bisa keluar dari rumah dan pindah kemari saja, Jona harus membujuk kedua orang tuanya dalam waktu yang lama. Lumayan alot lah sampai papanya bilang, "Boleh." Itu pun, mamanya masih cemberut berat, masih nggak rela kalau Jona keluar dari rumah. "Aku udah gede, Ma," sindir Jona. "Aku tahu Mama lagi mendramatisir supaya aku pulang ke rumah." Ryani meringis gemas, putranya ini memang kelewat pintar sampai tahu apa saja yang sedang ada di dalam isi kepalanya. "Abang harus tahu, tiap hari Mama kepikiran sama Abang. Abang lagi apa, makan apa, enak tidurnya atau nggak." Ryani meraih kedua tangan Jona lalu diletakkannya di atas pangkuannya. "Mama sama Papa nggak akan tenang ngapa-ngapain selama Abang masih tinggal pisah." "Aku baik-baik aja, Ma. Lagi pula, aku di sini tinggal sama Kak Gino dan Kak Anjas." Ryani menepuk-nepuk punggung tangan Jona. "Iya, Mama tahu, Bang, tapi akan lebih baik kalau Abang tinggal di rumah sendiri." Tatapan Jona melembut, kali ini, Ryani terlihat lebih serius. Tidak sedang dalam mendramatisir. Jona sangat menyayangi seluruh keluarganya. Terutama sang Mama. Karena wanita ini, Jona jadi tahu bagaimana rasanya disayangi seorang Ibu, bagaimana rasanya mendapat perhatian dari seorang Ibu. Jona bisa menjalani hidup normal sebagaimana mestinya anak-anak pada umumnya. "Supaya Mama sama Papa nggak khawatir terus, aku akan sering-sering pulang ke rumah buat ketemu kalian." Jona mencoba membujuk mamanya. "Tetap ajalah, Bang," sahut Ryani masih cemberut. "Aku beneran baik-baik aja, Ma. Apa aku kelihatan berubah setelah pindah?" Ryani mengamati wajah putranya dengan seksama. Digerakkannya pipi Jona ke kanan lalu ke kiri. Kemudian, berdecak, "Abang makin ganteng, sih. Pipi Abang makin berisi." "Tandanya?" tanya Jona. "Abang baik-baik aja." Ryani menyahut, kemudian bibirnya mencebik, membuat Jona tersenyum menang. *** Sebelum bel masuk berbunyi, siswa dan siswi SMA Harapan masih asyik bergerombol di meja. Entah bergosip dari satu topik ke topik lainnya, membicarakan acara bola sampai di meja paling sudut, tempat anak lelaki sedang membicarakan film biru. Hari ini, Jona bangun lebih telat dari biasanya. Padahal Jona sudah tidur sesuai jadwalnya, loh, tapi bangun-bangun malah bablas. Itu pun, Jona kebangun karena suara tawa Anjas dari luar kamarnya. Di mejanya, ah, meja mereka, dia dan Anka lebih tepatnya. Cewek itu sudah duduk di kursinya. Duduk tenang, tanpa membuat keributan apa lagi huru-hara seperti meja-meja lain. Beda dari siswa dan siswi lainnya, tanpa ponsel mau pun barang-barang yang wah, cewek itu kelihatan tetap tenang. Kadang bersandar, membaca buku, atau menelungkupkan kepalanya di meja sampai bel berbunyi lalu disambut sapaan dari Bapak atau Ibu guru yang masuk ke kelas, baru Anka membenarkan letak duduknya. Diam-diam Jona melirik Anka dari ekor matanya. Hampir dua tahun mereka berada di meja yang sama, namun belum sekali pun keduanya melakukan interaksi. Ya, ngobrol atau sekadar menyapa ketika berpapasan, mungkin? Tidak pernah sekali pun. Sepanjang pelajaran berlangsung, keduanya tidak bergerak dari tempat duduknya. Tidak Anka, tidak juga Jona. "An!" seru Dirana di ambang pintu kelas, tangan kanannya terangkat ke atas. Barulah kepala Anka bergerak, celingak-celinguk mencari sumber suara yang memanggil namanya. "Ya." "Ikut gue bentar." Dirana menghampiri meja Anka. Di sana ada Jona, tetapi cowok itu nggak bereaksi apa pun selain membuka kedua telinganya lebar-lebar. "Ke mana?" tanya Anka. "Bentaran aja. Ayo!" Dirana menggapai lengan Anka, lalu menariknya hingga cewek itu beranjak dari kursinya. Kedua cewek itu berjalan beriringan keluar kelas. Jona sempat mengamati keduanya, bersamaan itu, Dirana menolehkan kepalanya ke belakang lalu mengerlingkan sebelah matanya dengan jahil. Dirana dan Anka sudah keluar kelas, Jona penasaran kenapa temannya menarik Anka, seolah sedang ingin menunjukan sesuatu yang teramat penting sampai-sampai tidak menjelaskan tujuannya apa. Jona menarik napas panjang tanpa kentara. Melihat Anka yang mulai berbaur dengan Dirana, Jona jadi sedikit lega sekaligus khawatir. Takut Anka diajari yang tidak-tidak oleh Dirana. Usahanya untuk membuat Anka mempunyai seorang teman, telah berhasil dia lakukan. Dua tahun sudah Jona mengamati Anka, selama itu pula Jona menyadari jika Anka tidak memiliki satu teman pun di sekolah ini. Apa Anka anak nakal, brandalan, tukang onar, sampai-sampai tidak ada satu pun orang pun yang mendekatinya? Tidak. Anka, salah satu contoh siswi teladan di sekolah ini. Selain dikenal cantik, Anka juga pintar, dia berprestasi, tapi sayang, Anka tidak suka jika ada orang-orang yang mendekatinya, terutama anak cowok. Jelas-jelas Anka akan menghindarinya. Satu bulan yang lalu, terjadi sesuatu yang kurang mengenakan di sekolah ini. Hanya karena perasaannya ditolak, seorang siswa membuat keributan di salah satu kelas. Suasana jelas kacau, siswa dan siswi dari kelas lain sampai berkerumun di depan kelas kami—iya, kami. Siswi yang menolak cinta si siswa itu, Anka. Anka, cewek itu bersikap tenang, seolah nggak terusik sama ulah si siswa. Cowok itu datang bersama teman-temannya menemui Anka. Hanya untuk menanyakan alasan Anka menolak perasaan serta hadiah-hadiah mahalnya, dia membawa empat teman. Salah satu di antara mereka ada yang cewek. Anka nggak panik, Anka santai, tenang, bahkan cewek itu sembari menggambar sesuatu di bukunya. "Gue ada hak untuk nolak." Suara Anka terdengar tegas, sama sekali nggak terpengaruh. "Kita bisa PDKT dulu." Si cowok masih kekeuh. "Dan berharap lanjut ke pacaran maksud lo?" tanya Anka. "Misal, hasil dari PDKT kita tetap sama, gue tolak. Lo pasti masih nanya-nanya mulu kan." "Ya wajar kalau gue berharap An." "Ya nggak wajar kalau dari awal lo udah tahu jawabannya," putus Anka dingin. "Apa pun pilihan yang lo kasih, pada akhirnya jawabannya ya sama. Gue nggak suka." Jawaban tegas Anka membuat si cowok dan teman-temannya bengong. Entah dari kelas mana, cowok itu kelihatannya masih berniat membuka mulutnya dan memaksa Anka memikirkan perasaannya. Pada akhirnya, si cowok ditarik sama teman-temannya keluar kelas. Cowok itu sempat berontak, tapi berhasil dibawa juga sama temannya. Sebenarnya masih ada lagi cerita soal Anka di sekolah ini, saking banyaknya, mungkin nggak akan selesai dalam satu malam. Kalian, akan tahu lebih banyak tentang Anka pelan-pelan. Cewek itu, nggak sekuat kelihatannya.   To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD