Pekerjaan Baru

1916 Words
"Kayaknya kita butuh orang buat bantu-bantu di rumah deh." Gino menarik kursinya dan bergabung di tengah-tengah Anjas dan Jona. Anjas asyik mainan gitar, padahal tahu banget Gino nggak suka. Berulangkali Gino menegur Anjas supaya nggak main gitar pas lagi kumpul-kumpul gini. Tapi ya namanya Anjas, mana mempan dikasih tahu. "Beberapa hari ini kita telat bangun mulu. Kalau pas kelas siang sih nggak apa-apa. Nah, kalau ada kelas pagi, gimana?" tanya Gino. Anjas menyahut, "Ya, tinggal bolos!" Enteng banget mulutnya Anjas. Mentang-mentang dia nggak minat pergi belajar, jadi nyahutnya keentengan sampai bikin Gini melemparinya keripik dari tangannya. Anjas menepisnya, kemudian tertawa terbahak-bahak. Di rumah ini cuma ada tiga orang. Semuanya cowok. Tiga-tiganya anak muda yang nggak pernah mau repot. Khsusnya Anjas, ya. Kalau Gino sama Jona masih mendinganlah. Gino sama Jona masih mau beres-beres kamar, mau masak, bikin sarapan, giliran makan, mulut Anjas yang paling lebar mangapnya. Adanya Anjas di rumah ini sebenarnya ada enak sama nggaknya. Enaknya ya rumah jadi lebih rame. Ada aja celetukannya yang kadang bikin Gino naik darah, belum lagi kalau udah mainan gitar, udahlah, berasa kayak tinggal di hutan. Nggak ingat di kanan kiri ada tetangga. "Menurut lo berdua gimana?" tanya Gino, menarik punggung dari sandaran kursi. "Cari orang buat bersih-bersih nggak bisa cepet kan, Kak?" Jona menyahut. Gino mengangguk-angguk. "Iya emang. Tapi ada orang yang nawarin sih." Jona menyahut sekali lagi. "Ya terserah lo aja." Gino beralih ke Anjas. Cowok tinggi besar itu pura-pura nggak lihat aja. Gino mencebikkan bibirnya. Paham banget sama isi kepala temannya yang satu ini. Oh iya, Anjas, kan, mana pernah mau keluar uang. "Gue yang bayar. Lo berdua nggak usah." Gino memberitahu kedua temannya. Anjas langsung nyengir, buru-buru menarik napas lega. Itu artinya, dia nggak perlu mikirin buat ikutan bayar pembantu, kan? Kalau Gino mau, dari dulu dia bisa menggunakan jasa pembabtu. Tapi dulu, kan, Gino tinggalnya sendirian. Jadi kalau dipikir-pikir nggak perlu juga. Laper tinggal pergi makan. Soal bersih-bersih rumah, Gino bisa sendiri karena emang rumahnya selalu rapi. Dan berhubung sekarang dia tinggal bertiga, mau nggak mau mereka butuh seorang pembantu. "Deal, ya?" tunjuk Gino kepada dua temannya. Anjas dan Jona mengangguk-angguk. *** Anka menarik napas panjang ketika kedua matanya menemukan sosok anak yang paling dia hindari di sekolah. Cowok bermata bulat, selalu pergi ditemani antek-anteknya di kanan dan kiri. Cewek berambut sebahu itu menoleh ke sekitar. Ada banyak pasang mata yang akan memerhatikan setiap gerak-gerik Anka setiap kali cowok itu menghampirinya lalu membuat keributan. Hah! Anka benci menjadi sorotan banyak orang! Anka benci ketika orang-orang memerhatikannya, berbisik-bisik kepada temannya sambil menatapnya sinis. Sepertinya cowok itu belum menyadari kehadirannya di ujung lorong. Cowok itu berjalan sembari celingukan setiap melewati sebuah kelas seolah mencari seseorang. Anka memeluk buku di dadanya, menarik napas panjang, dia memutuskan untuk tetap melangkahkan kedua kakinya. Dia tidak perlu menghiraukan kata-kata orang lain. Tugasnya hanya bersekolah dan lulus dengan nilai baik agar bisa mendapat kerja setelahnya. Anka sudah lelah hidup seperti ini. Anka ingin menikmati kehidupan normal seperti teman-teman sekolahnya. Masa remajanya... benar-benar suram! "Lihat Anka?" Langkah Anka berhenti cepat. Beruntung ada segerombolan siswi di depannya. Dengan begitu, cowok tersebut dan teman-temannya tidak melihat keberadaannya. Demi Tuhan! Anka nggak takut! Anka hanya berusaha menghindari keributan lalu menjadi tontonan. "Lihat Anka nggak lo?" Suara cowok itu terdengar besar, bahkan dari jarak sejauh ini dia bisa mendengarnya. Mau apa lagi sih! Kenapa orang-orang selalu membuat Anka merasa tertekan? Bertahun-tahun Anka menahannya, berkali-kali jatuh lalu berdiri susah payah tanpa bantuan siapa-siapa. Tolong, Tuhan, setidaknya biarkan Anka tenang cukup satu hari saja! Apa itu sangat sulit? Anka menyembunyikan tubuh kurusnya di belakang segergombolan siswi tadi. Memeluk bukunya erat-erat lalu sedikit menunduk. Langkahnya lamban mengikuti orang-orang di depannya. Berdoa saja jika cowok bermata bulat itu tidak melihat keberadaannya. Semoga saja. Kedua mata Anka sempat terpejam sembari merapalkan doa-doa. Kedua kakinya masih dibiarkannya bergerak, tapi, tahu-tahu lengannya ditarik seseorang. Deg! Jantung Anka nyaris jatuh dari tempatnya. Dia memaksa membuka mata, begitu kedua kelopaknya melebar, Anka menyadari di mana keberadaannya. Di sebuah kelas. Tapi bukan kelasnya. "Kaget ya?" Cewek bertopi ungu, parfumnya beraroma buah sangat menusuk hidungnya. Anka menarik napas lega. "Gue perhatiin lo dari tadi kayak tegang banget." Dirana, cewek yang menariknya ke sebuah kelas, kini ikut-ikutan mengintip keluar. "Lo sama dia ada apaan sih? Naksir lo juga?" Anka bungkam. "Terakhir kali dia bikin gara-gara di kantin sama lo, kan?" cerocos Dirana. Kali ini, Anka mengangguk, membenarkan pertanyaan Dirana. "Dia udah lewat." Anka keluar dari persembunyiannya. "Makasih ya, Di," kata Anka, menepuk lengan Dirana. "Gue balik kelas sekarang." Dirana mengangkat tangannya, "Oke!" Cewek itu keluar kelas setelah dirasanya cowok tadi sudah lewat agak jauh. Anka menoleh ke kanan ke kiri memerhatikan sekitarnya. Siapa tahu antek cowok itu sedang berada tidak jauh darinya. "Keluar lo." Dirana menendang pintu kelas. Dirana berdecak sesekali menggelengkan kepalanya merasa heran. Cowok ganteng macam Jona nggak mempunyai keberanian buat bilang suka sama cewek. Ya, minimal buat diajak ngobrol gitu. Tadi aja, Jona tahu kalau Anka sedang menghindari salah satu siswa di sekolah ini. Kebetulan Jona lagi sama Dirana, ya gitulah, yang didorong ya Dirana lagi, Dirana lagi. "Kenapa nggak lo aja yang narik Anka, sih?" Dirana berkacak pinggang di dekat pintu. "Nggak apa-apa kali. Siapa tahu karena kejadian kayak gini, lo sama Anka bisa lebih deket." Jona melengos. Dijejalkan sebelah tangannya ke dalam saku. "Makasih." Cuma itu yang keluar dari mulut Jona. Susah sih kalau dua-duanya nggak banyak ngomong. Anka tipe orang yang nggak banyak bicara, nggak akan buka mulut kalau nggak ditanya dulu. Sedangkan Jona, adalah definisi dari, "Membuktikan lewat perbuatan daripada banyak bicara." Ya itu Jona... memangnya siapa yang selama ini selalu menolong Anka dalam kesusahan? Dirana? Ya bukanlah! Dirana cuma menjadi perantara doang!   ***  "Kenapa lo nggak bilang itu rumah isinya cowok semua?" Anka menarik Dirana ke pinggir, tepat di samping anak tangga paling bawah. "Emang kenapa kalau cowok semua?" tanya Dirana. Dirana nggak tahu apa-apa tentang Anka biarpun sudah resmi menjadi teman. Bagi Dirana, Anka butuh pekerjaan, dan dia menemukan apa yang dicari sama Anka. Lalu apa lagi? "Lo takut diapa-apain?" tebak Dirana sembari menunjuk hidung Anka dengan jahil. "Tenang aja, biarpun semua penghuni rumah ini cowok. Mereka baik, kok! Apa lagi di sini ada Jona." Anka belum sadar kalau Jona yang baru saja disebut-sebut Dirana adalah Jona, teman sekolah, teman satu bangkunya. Anka sudah bertemu Gino dan Anjas, baru beberapa menit yang lalu. Gino sedang pergi ke kamarnya setelah mendengar ponselnya berdering. Dan Anjas, nggak tahulah, tadi sehabis kenalan sama Anka, cowok itu pamit pergi sambil bawa gitarnya. "Lo kenal sama orang-orang di sini?" tanya Anka, menunjuk lantai yang diinjaknya. Dirana mengangguk-angguk. "Ya iyalah! Kalau gue nggak kenal baik, gue nggak akan sembarangan bawa lo ke sini." Anka diam sebentar. Sekitar lima detik. Kemudian, cewek itu melempar pertanyaan, "Udah berapa lama kenal sama mereka?" Kepala Dirana bergerak ke kanan, bibirnya mengatup lalu mendesis. "Ya, semenjak Jona tinggal di sinilah!" Sepasang mata Anka memicing. "Jona?" gumamnya. Rasa-rasanya Anka mengenal nama itu. Jona, ya? Kayak nggak asing. Atau cuma perasaan Anka aja? "Nah, itu orangnya!" seru Dirana ke pintu yang baru saja dibuka. Bersamaan sosok cowok berbadan jangkung membuka pintu rumah, Gino membuka pintu kamarnya sembari menggenggam ponsel di tangan. Gino mau buka mulut, berniat mengenalkan Anka sebagai orang yang akan membantu mereka bertiga mengurus rumah, khususnya dalam hal memasak. Baru ditunjuknya Anka, Jona dan cewek rambut sebahu tersebut saling menunjuk satu sama lain. "Udah saling kenal?" Suara Gino menyadarkan keduanya. Baik Jona dan Anka cepat-cepat menurunkan tangannya. Gino mengamati ketiga remaja di depannya secara bergantian. Keriganya mengenakan seragam yang sama, dan Gino baru menyadarinya. "Oh," gumam Gino. "Gue baru sadar kalian satu sekolah." Dirana menambahkan, "Mereka satu bangku!" "Pantes." Gino manggut-manggut. "Jadi, lo temennya Jona juga ya?" "Iy—" "Bukan!" sahut Jona cepat. Anka menelan ludahnya kasar. Niat hati mau bilang iya. Anka nggak enak aja misalkan dia bilang nggak, padahal mereka memang satu sekolah, duduk pun di bangku yang sama. Tapi, agaknya Jona nggak mau mengakui Anka sebagai teman dari jawabannya barusan. Sebegitu nggak maunya Jona pura-pura jadi teman Anka, ya? Suara Jona, tuh, benar-benar kayak ogah banget dikira temannya Anka. Nggak usahlah sampai pake nada tinggi gitu, Anka sadar diri kok. Bukan cuma Anka yang berubah canggung. Begitu pun Gino, dia kaget aja tahu-tahu Jona teriak. Dirana, cewek tomboy itu mengacungkan lengannya dari belakang Anka. "Ehem." Gino mencairkan suasana dengan berdeham. "Gimana? Lo mau kerja di sini mulai kapan?" Anka tiba-tiba gagap. Selain merasa ngeri karena penghuni rumahnya cowok semua, mana badaannya lumayan kekar, apa lagi yang namanya Anjas tadi. Anka kira tadi preman nyasar, nggak tahunya emang salah satu penghuni di rumah ini. Harus diterima atau nggak ya? Anka menggigit bibirnya bawahnya. Dia gelisah, dia pengin nolak, tapi nggak enak sama Dirana, dia juga butuh uang buat kebutuhan sehari-harinya. "Oh ya, lo cukup bawa baju-baju lo aja selama kerja di sini. Di kamar lo, semuanya udah ada." Gino menerangkan kepada Anka, dan dibalas wajah bodohnya. "Nggak perlu tinggal di sini juga, kan?" sahut Jona, melirik Anka sekilas. "Ya harus dong," Gino melirik Jona, lalu berpindah ke Anka. "Kalau Anka masih tinggal di kosan, dia mau ke sini jam berapa buat siapin semuanya? Sedangkan Anka juga masih sekolah. Kalau dia tinggal di sini, jadi lebih menghemat waktu." Dirana kesal. Dirana pengin marah. Jona hampir mengacaukan rencananya! "Gimana, An?" tanya Gino, berjalan ke arah dapur. Anka melirik Jona, kemudian berpindah ke Dirana. Gimana ya? Apa iya dia bisa bekerja di rumah ini? Selain harus tinggal bersama tiga cowok sekaligus dalam satu atap, Anka harus sering-sering ketemu Jona. Itu artinya, Anka akan sering melihat wajah galak cowok itu. "Gue butuh secepatnya sih. Kalau dimulai besok, gimana?" tanya Gino, Anka makin bingung. *** Rasanya Anka nggak punya keberanian buat lihat Jona. Kalau dia bisa pindah bangku, dia mau pindah, terserah duduk di mana aja asal bukan sama Jona. Sampai pagi ini, Anka nggak lupa sama sikap Jona kemarin sewaktu mereka berdua ketemu di rumah Gino. Kelihatan banget Jona nggak suka sama Anka. Bahkan ketika Gino mengatakan Anka harus pindah ke rumah itu, walaupun alasannya agar mempersingkat waktu, namun raut wajah serta nada suara Jona jelas mengatakan nggak setuju Anka tinggal di rumah itu. Jona masuk ke dalam kelas, seketika Anka memalingkan wajahnya ke arah lain. Mereka duduk di bangku yang sama udah lama, tapi baru kali ini Anka merasa nggak nyaman. Anka berharap, Jona nggak membahas soal kemarin. "Lo yakin mau kerja di rumah Kak Gino?" Deg! Jantung Anka berdebar nggak keruan. Untuk pertama kalinya Jona mengajaknya berbicara. Anka nggak yakin, sih, takutnya Anka salah dengar karena terlalu gugup. Sumpah ya, Anka beneran pengin pindah ke bangku lain. Anka terkejut, nyaris terjungkal dari kursinya akibat Jona tiba-tiba menolehkan kepalanya. "Pikirin baik-baik. Lo masih ada kesempatan untuk nolak." Anka menarik napas jengah. Dia nggak mengira kalau Jona orangnya seperti ini. Maksudnya, cowok itu akan memerlihatkan terang-terangan kalau dia nggak suka. Ya sih, Jona bukan satu-satunya orang yang benci sama Anka. Cuma, pura-pura nggak melihat keberadaan Anka, nggak bisa, ya? "Gue udah yakin." Anka meletakkan tasnya di atas bangku dengan gerakan kasar. "Di rumah, lo bakal jadi satu-satunya cewek di sana." Anka mengulum senyum sinis. "Udah tahu." Jona nggak mengatakan apa-apa lagi. Cowok jangkung itu duduk manis di kursinya sembari mengeluarkan buku dan peralatan sekolah lainnya. Anka melakukan hal yang sama. Cewek itu menoleh ke Jona, kemudian meringis kesal. "Tenang aja, gue nggak akan bilang siapa-siapa. Kalau semisal ini bocor, berarti ya Dirana." Jona berhenti menarik resleting tasnya. "Nggak usah khawatir, gue di sana emang niat kerja kok." Dari kalimat terakhir Anka, Jona bisa menarik satu kesimpulan. Anka tersinggung.   To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD