Bekal untuk Jona

1308 Words
"Lo ngikutin gue?" tegur Anka, membalikan badan tiba-tiba di depan Jona. Jona mundur beberapa langkah saking kagetnya. Anka kini berdiri di depannya dengan dahi berkerut nggak suka. "Gue disuruh Kak Gino buat bantuin lo." "Bantuin apa?" tanya Anka sinis. "Bawa barang-barang lo ke rumah." Anka mendengus keras. Biar aja! Biar Jona tahu kalau dia nggak suka diikutin ke mana-mana. Lagian kok aneh! Jona jelas-jelas nggak suka sama Anka, kok ya mau-maunya disuruh bantuin Anka pindahan! Cewek itu melengos, kembali memunggungi Jona dan berjalan lebih dulu. "Yang gue bawa cuma baju-baju doang." "Siapa tahu baju lo banyak," sahut Jona terdengar santai. Langkah Anka berhenti mendadak. Kali ini nggak memutar badannya tiba-tiba kayak tadi. Cewek itu masih memunggungi Jona, tapi jelas mau nyinyir. "Lo ngejek gue?" tanya Anka, dibarengi dengusan keras-keras. Bikin Jona makin bingung. Salah lagi. Salah terus perasaan. "Tunjukin aja tempat kost lo yang mana." Jona nggak mau meladeni Anka. Kalau dia membalas kata-kata Anka, sampai besok nggak bakalan kelar. Lucu banget cowok ini... Bagi Anka, Jona cuma cowok menyebalkan yang nggak punya perasaan. Kemarin protes ke Gino, kenapa Anka harus ikutan tinggal di rumahnya. Di kelas tadi pagi juga gitu. Anka mikir-mikir lagi, dan masih belum terlambat buat menolak. Hah! Dan sekarang, Jona sok baik, mau-mauan banget bantuin Anka bawa barang-barangnya. Udah gitu, jalan paling depan seolah cowok itu tahu di mana tempat kost Anka di mana. "Tunggu!" seru Anka, menghentikan langkah Jona tepat di depannya. "Ada apa?" Jona menatap Anka bingung. Anka tampak sedang berpikir. "Kok, kayaknya lo tahu di mana tempat kost gue?" Satu jari Anka menunjuk sebuah gang. "Lo tahu dari mana? Kita nggak pernah saling kenal sebelumnya. Tapi lo kayak paham banget di mana biasanya gue lewat." Jona baru menyadari sesuatu. Dia sangat ceroboh. Kalau begini, Anka bisa curiga. Seharusnya Jona pura-pura nggak tahu aja. Jalan di belakang dan dianggap penguntit juga nggak masalah. Daripada kayak gini kan. "Gue tanya Dirana," Jona menarik ponsel dari saku celananya. Jona berharap Anka percaya sama jawabannya. Jangan sampai cewek itu menaruh curiga ke dia. Anka nggak boleh tahu kalau selama ini, Jona sering mengatarnya pulang diam-diam dari belakang tanpa ketahuan. Anka melengos, berjalan melewati Jona lalu berjalan lebih dulu di depannya tanpa mengatakan apa-apa. "Lo tunggu di sini." Anka menunjuk Jona di depan pagar kost. "Cowok nggak boleh masuk ke dalam." Jona mengangguk, berjalan ke pinggir agar Anka lebih mudah membuka pagarnya. *** "Udah semua?" tanya Gino dari ambang pintu. Anka mengangguk kecil sembari mengeluarkan barang-barang bawaannya. Hari ini Anka resmi tinggal di rumah Gino. Walaupun hingga sekarang cewek itu masih ragu-ragu untuk tinggal di sini, berulangkali dia meyakinkan dirinya kalau Gino dan lainnya adalah orang baik-baik seperti yang dibilang Dirana. "Kalau udah selesai beres-beres, lo keluar sebentar ya." Gino menjejalkan sebelah tangannya ke dalam saku celananya. "Iya, Kak." Gino menutup pintu kamarnya hati-hati. Anka menarik napas sejenak, memasukan baju-bajunya ke dalam lemari. Kamar barunya cukup besar untuk ukuran kamar pembantu. Apa? Memang benar, kan, Anka bekerja di rumah Gino sebagai tukang masak, tukang bersih-bersih, apa lagi kalau bukan pembantu sebutannya? Nggak masalah apa pun sebutannya. Mau pembantu atau bukan, yang penting Anka mendapat uang untuk menyambung hidup. Anka menutup pintu lemari dan kembali ke ranjang. Cewek itu duduk di pinggiran kasur, melipat tas bajunya dan menyimpannya di bawah ranjang lebih dulu. Anka beranjak, siap-siap keluar seperti perintah Gino tadi. Gino, Jona dan satu lagi penghuni rumah, punya badan paling besar dan tinggi, entah siapa namanya. Anka lupa. Mereka bertemu dan berkenalan kurang dari lima menit karena buru-buru akan pergi. Anka jauh lebih canggung karena ketiganya sedang berkumpul di ruang tengah. Gino dan Jona sibuk mengamati layar laptop, kedua cowok ganteng itu duduk di lantai beralaskan karpet berbulu warna cokelat. Dan, satu penghuni lainnya, sibuk menarik senar gitar sambil bernyanyi. Suaranya cukup merdu. Apa cowok itu seorang penyanyi? "Eh, lo An," tegur Gino begitu menyadari Anka berdiri di dekat mereka. Anka mengangguk kikuk. Apa lagi waktu ditatap sama cowok yang pegang gitar. Bawaannya pengin lari. Badannya besar banget, Anka jadi takut. "Lo belum makan, kan?" Gino beranjak lebih dulu dan disusul sama Jona. "Kita sengaja nunggu lo sekalian biar bisa makan malam sama-sama." Untuk pertama kalinya ada orang yang bersedia menunda makan malam hanya karena dirinya... Ketika Anka merasa terharu hanya karena kata-kata Gino, Jona berlalu meninggalkan ketiganya dengan wajah masam. Anka kembali menciut. Perlakuan Jona barusan seolah mengingatka siapa dirinya. Apa status mereka di sini. "Jangan diem aja, An," Gino kembali menegurnya. "Ayo, Jona udah masak makanan enak hari ini!" *** Benar apa kata Dirana, semua orang-orang di rumah ini sangat baik. Terutama Gino dan Anjas. Biarpun Gino sedikit lebih kaku dari Anjas, toh, itu nggak mengurangi kebaikannya. Gino memperlakukannya sangat-sangat baik. Kalau boleh jujur, Anka merasa seperti teman mereka. Bukan pembantunya. Tadinya Anka mengira dirinya nggak akan betah tinggal di rumah Gino. Ya coba pikir ajalah, Anka satu-satunya cewek di rumah itu dan tinggal bersama tiga orang cowok, yang nggak kenal sebelumnya, nggak tahu mereka baik atau jahat, jelas aja Anka pasti parno. Namun, begitu Anka mengenali Gino dan Anjas cuma beberapa hari aja, Anka tahu kalau mereka memang cowok baik-baik. Tutur kata Gino juga lembut. Setiap kali Gino meminta Anka membuatkannya sesuatu, cowok itu selalu mengawali dua kata, "Tolong, An." Atau, "Gue minta tolong ya, An." Selama bekerja di sini, nggak ada sekali pun Gino menyuruh Anka pake nada tinggi dan kasar. Nggak tahu lagi Anka harus berterima kasih kayak gimana sama Dirana. Karena cewek itu, Anka bisa bekerja sama orang-orang baik dan merasa lebih aman. Selain tutur katanya, Gino dan lainnya memperlakukan Anka kayak bukan pembantu. Mereka meminta Anka untuk makan di meja. Tadinya Anka mau makan di dapur aja, cuma diomelin sama Anjas. Katanya, "Ngapain makan di dapur? Emang enak makan sendirian?" Abis itu, Anka meringis, ngeri juga diomelin sama cowok berbadan kekar kayak Anjas gini. Anka punya kebiasaan pergi mandi dulu sebelum sarapan. Biasanya yang makan duluan ya Anjas. Baru setelah itu Gino sama Jona menyusul. Setelah selesai memasak dan menghidangkannya ke atas meja, Anka pergi mandi dan berganti seragam sekolahnya. Kurang dari lima belas menit, Anka udah selesai, siap keluar kamar dan menyusul ke meja makan. Di sana cuma ada Gino sama Anjas, makan dengan tenang tanpa membuat keributan. Satu hal baru yang Anka ketahui baru-baru ini. Anjas akan lebih anteng kalau ketemu makanan. Anka celingukan, mencari sosok Jona yang nggak ada di antara mereka. Anka meletakan tas sekolahnya ke kursi di sampingnya dan duduk dengan manis. Gino sama Anjas beneran asyik sama makanan masing-masing. Mau tanya soal Jona ke mana, tapi nggak enak. Kalau Jona dengar Anka tanya-tanya tentang cowok itu, Anka takutnya Jona makin nggak suka sama dia. "An..." Gino memanggil Anka. "Ya, Kak?" Anka meletakan centong nasi ke dalam wadahnya. "Gue lupa ngasih tahu lo." "Soal?" tanya Anka. Anjas menyahut cepat, "Jona nggak bisa makan udang." Anka menelan ludahnya kasar. Jona nggak bisa makan udang? Kenapa? Apa cowok itu alergi? "Jona alergi udang," tambah Gino. "Gue lupa ngasih tahu lo. Dan baru inget hari ini." Anka menggaruk keningnya. "Terus, Jona sarapan apa?" Hari ini menggunakan udang untuk sarapan mereka. Salah dia juga kenapa nggak tanya apa-apa tentang Gino dan dua temannya. Seharusnya tanpa dulu apa yang disukai dan nggak mereka sukai supaya nggak ada kejadian kayak gini. Udah gitu, si Jona lagi. Makin nggak sukalah cowok itu sama dia. "Gondok," sahut Anjas ketawa-ketiwi. "Dia langsung berangkat ke sekolah nggak pake sarapan." "Yang bener?" tanya Anka memastikan. "Udah nggak apa-apa. Nanti Jona bisa makan di kantin sekolah." Gino berusaha menenangkan Anka, supaya nggak makin merasa bersalah. Anka jadi makin nggak enak sama Jona. Dari awal, cowok itu udah nggak suka sama keberadaan Anka di rumah ini. Mungkin aja, karena kejadian ini, hubungan mereka bakal lebih buruk lagi. "Mau ke mana, An?" tanya Gino ketika cewek berambut sebahu itu mendorong kursinya ke belakang. "Bikinin bekal buat Jona," jawab Anka. "Selain udang, Jona alergi apa lagi?" To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD