Es Teh Tawar

1140 Words
Bertembok dan berlantaikan tripleks, lantai dua rumah Jia akan menjadi sangat panas di siang hari dan menjadi cukup sejuk di malam hari. Karena itulah hari ini Jia naik lebih cepat dari biasanya. Jika biasanya baru jam sembilan malam dia naik untuk langsung tidur, hari ini Jia sudah duduk di depan jendela kecil ketika suara orang-orang berdoa seusai salat maghrib di masjid masih terdengar. Jia meneguk es teh tawar buatan ibunya. Rasanya terlalu mirip dengan air putih karena sedikitnya teh yang digunakan. Tidak seperti es teh tawar yang biasa Jia beli di warung Bu Onah dekat g**g masuk rumahnya yang lebih terasa tehnya. Jia lupa sejak kapan dia suka minum es teh tawar. Tapi sejauh yang bisa dia ingat, yang paling Jia sukai dari es teh tawar adalah dia punya rasa pahit yang lebih nendang dibandingkan teh tawar hangat. Es teh tawar, punya rasa dingin dan pahit. Menurut Jia, kedua rasa itu sangat cocok disandingkan. Sedangkan teh tawar hangat, punya rasa yang lebih lembut. Dan menurut Jia, itu tidak cocok disandingkan dengan pahit. Beberapa tahun lalu saat Jia baru mulai masuk SMP, dia sedang gandrung-gandrungnya dengan es teh tawar. Seluruh uang jajannya yang cuma sedikit seringkali berakhir di tangan Bu Onah untuk ditukar dengan es teh tawar. Pertama-tama, ibu Jia tidak merasakan itu sebagai masalah. Tapi setelah Jia untuk pertama kalinya berani meminta tambahan uang jajan untuk membeli es teh tawar, ibunya marah. Ibu Jia menyuruh Jia mengganti teh dengan kopi. Kopi harganya mungkin lebih mahal, tapi setidaknya ibu Jia tidak perlu membelinya karena seringkali pelanggan-pelanggan cucinya memberikan kopi sebagai tambahan upah atau bila uang mereka tak cukup untuk membayar upah yang seharusnya. Jia menuruti ibunya dan mulai mencoba-coba dengan kopi dingin. Jia sangat menyukai rasa pahitnya dan dingin yang melengkapi kepahitan itu. Tapi kopi itu malah membuat Jia kesulitan tidur dan selalu bangun terlambat untuk pergi ke sekolah. Ibu Jia menyerah dan bersedia menambah uang jajan Jia dari dua ribu rupiah menjadi lima ribu rupiah. Kenaikan uang jajannya ni sangat berarti bagi Jia. Jia sampai mentraktir Toni es teh tawar seplastik penuh untuk merayakannya. Jika mengingat hari itu, Jia terpaksa jadi harus mengingat juga hari-harinya di sekolah saat itu. Saat dia sudah sepenuhnya sadar bahwa menjadi yatim dengan ibu seorang buruh cuci akan membuatnya kesulitan untuk membayar keperluan sekolah. Tapi waktu itu Jia tidak terpikir sama sekali untuk menjadi pesimis. Dia tetap bersemangat mengejar mimpinya. Ya, Jia memang pernah punya cita-cita. Almarhum ayah Jia adalah seorang pekerja seni peran. Selain aktif menjadi seorang penulis naskah drama, ayahnya juga adalah seorang aktor panggung. Sewaktu Jia kecil, ayahnya seringkali mengajak Jia pergi ke teater untuk menonton pertunjukan drama, tari atau sekedar menemaninya berlatih. Dari situlah kesukaan Jia kepada seni yang digeluti ayahnya itu tumbuh. Sedikit demi sedikit ayahnya pun mulai melatih Jia berakting. Dan tanpa Jia duga sebelumnya, ternyata akting sangat menyenangkan. Dia bisa menjadi seseorang yang baru dan dapat mengekspresikan isi hatinya lewat peran yang dia mainkan. Saat usia Jia delapan tahun, dia mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam sebuah pertunjukan drama yang ditulis oleh ayahnya. Inilah pertama kalinya Jia berakting di depan banyak penonton. Ibunya dan Toni pun ikut hadir. Jia sangat gugup sekaligus senang walaupun perannya hanya seorang figuran. Tapi ternyata pertunjukan itu sangat sukses dan banyak yang memuji akting Jia. Dan yang terpenting, ayahnya terlihat sangat bangga kepada Jia. Hari itu adalah hari terbaik bagi Jia. Beberapa bulan setelah pertunjukan itu, ayah Jia menjadi amat sibuk. Dia terus menerus pergi ke berbagai kota untuk urusan panggung. Dari tujuh hari dalam seminggu, ayahnya paling-paling hanya menghabiskan waktu dua hari. Pernah pula beliau tidak pulang dua minggu penuh. Jia sebenarnya merasa sedih karena itu berarti berkurang pula waktunya untuk diajak ayah pergi ke teater. Tapi Jia pun senang dan bangga karena itu artinya ayahnya sedang melakukan hal-hal yang menyenangkan. Tapi ibu Jia mulai terlihat sering murung. Jia kecil merasa sepertinya ada yang dikhawatirkan ibunya, mungkin masalah kesehatan ayahnya. Karena setiap kali pulang, ayah Jia terlihat tambah kurus. Kata Toni sepertinya ayah mereka kurang memperhatikan makan selama pergi ke luar kota. Lama-kelamaan setiap kali ayahnya ada di rumah, Jia selalu mendengar suara batuk-batuk keluar dari tubuh ayahnya. Suatu malam, Jia yang sedang tidur tiba-tiba dibangunkan oleh sebuah suara. Ternyata itu suara orangtuanya. Dia yang tidur di lantai dua pun turun untuk mendengar apa yang terjadi. Ayah dan ibunya sedang berdebat. Ada koper ayahnya dan beberapa barang tersusun rapi di depan pintu. Jia tidak enak hati melihatnya. “Ayah itu sedang sakit. Ayah harusnya tetap di rumah, istirahat sama kami!” kata ibu Jia. “Nggak bisa. Saya harus pergi. Besok kami mulai pentas di Surabaya. Saya harus berangkat. Kamu tahu kan, inilah hidup saya!” Kemudian ayah Jia mengangkat barang-barangnya. Dia membuka pintu dan menoleh sekali kepada ibu Jia. Tiba-tiba ayah Jia menyadari ada Jia di situ. Tapi beliau hanya melirik sekilas kemudian keluar dari rumah. Setelah itu lama sekali ayah Jia tak pernah pulang ke rumah. Sesekali Jia melihat ibunya berusaha menghubungi ayahnya lewat telepon. Tapi sepertinya percakapan mereka sangat singkat, kurang dari lima menit. Sampai suatu hari, telepon di rumah mereka berdering. Ibu Jia mengangkatnya dan berbicara lama sekali sambil terisak-isak. Ternyata itulah saatnya. Pak Wisnu, teman ayah Jia memberi kabar bahwa mulai hari itu Jia dan Toni menjadi anak-anak yatim. “Nih.” Suara Toni yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Jia. Dia mengusap air mata yang hampir menetes. “Kenapa lo?” tanya Toni. “Kelilipan. Ada apa?” Sebuah benda mungil diserahterimakan Toni kepada Jia. “Handphone? Buat gue?” tanya Jia. Toni mengangguk dan duduk di samping Jia. “Buat apa?” tanya Jia lagi. “Yah, buat─ ya buat lo, lah.” Toni seperti tidak bisa menemukan jawaban yang bagus. “Oh.”  Jia menimang-nimang benda itu di telapak tangannya. Jia memikirkan fungsi benda itu. Untuk chating atau berselancar di internet. Tapi chatting dengan siapa? Jia tidak tahu apakah Raisa punya telepon genggam. Toni seperti mampu membaca pikiran Jia. Dia menimpali, “buat main game pun bisa tanpa kuota. Nih, ada tetris!” Kemudian Jia teringat sesuatu. “Toni, lo beli ini?” “Enggak. Minggu lalu ada yang bawa itu ke sini. Minta diservis. Gue bawa aja ke Jalan Kembang Sepatu. Eh, bisa bener,” jawab Toni. “Terus, kok nggak diambil yang punya?” Bagi Jia, sejelek apapun tampangnya, telepon genggam tetaplah telepon genggam. Mahal. Tidak bisa disamakan dengan kipas angin reyot. Rasanya tidak mungkin ada orang yang rela meninggalkannya. “Ya biasa, dianggap rongsok, mungkin,” jawab Toni dengan meyakinkan. Jia bengong sesaat, masih tidak bisa menerima alasan itu. Telepon genggam ini dianggap rongsok oleh pemiliknya. Padahal masih bisa direparasi. Dunia sudah edan. Tak lama setelah itu, Toni kembali ke lantai bawah untuk tidur. Jia mulai memejamkan matanya. Padahal tadinya dia tidak merasa sangat mengantuk. Namun tiba-tiba, dia sudah jatuh tertidur dan bermimpi. Jia sedang berada di kelas. Dia melihat seorang guru berjalan ke arahnya dengan raut murka. Jia berusaha mengenali wajah guru itu, tetapi dia tidak bisa. Kemudian tiba-tiba saja, guru itu berteriak sangat keras dan mengusir Jia dari kelas. Saking kagetnya, Jia bangun dari tidurnya. Tapi tak lama, dia sudah tidur lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD