Kakakku Toni

930 Words
“Terima kasih, Koh!” Toni mengantongi selembar uang dua puluh ribuan yang diberikan pelanggannya tadi. Dia bersiul riang dan kembali ke meja kerjanya. Sebuah papan tripleks dengan empat balok penyangga yang salah satunya diganjal kertas bekas buku tulis Jia yang dilipat segi empat kecil. Di atas meja kerja itu, sebuah kipas angin yang sudah tak jelas bentuknya tergeletak begitu saja. Kabel mencuat dari dalamnya. Sebuah benda yang kelihatannya terbuat dari besi dengan kawat-kawat mengelilinginya tergeletak di samping kipas angin malang itu. Jia memandangi pemandangan itu sambil menyedot es teh tawar yang hampir kehilangan sensasi dinginnya akibat suhu panas. Padahal ini bulan Oktober dan sudah jam empat sore. Jika ‘aturan’ bahwa Maret sampai Agustus adalah musim panas dan September sampai Februari adalah musim hujan, seharusnya saat ini Jia sedang menadangi air hujan yang masuk ke dalam rumah akibat bocor. Tapi gerah bekas jam dua siang yang menyiksa masih terasa di udara. “Jia, coba bantu Toni. Jangan duduk aja di situ. Kamu 'kan anak STM.” Terdengar suara ibu Jia dari ruang tengah. Sebuah ruangan yang dinamai demikian karena letaknya di tengah. Diapit dapur dan kamar mandi di belakang serta ruang tamu yang berubah fungsi menjadi bengkel reparasi Toni di depan. Jia tak menghiraukan kalimat ibunya dan kembali menyedot es teh tawarnya sedikit demi sedikit agar tak cepat habis. Harga es teh tawar yang waktu SD dulu lima ratus rupiah sudah naik tiga kali lipat sekarang. Walaupun berusaha meminum seirit mungkin, tiba-tiba sedotan itu tak mengantarkan setetes pun air ke tenggorokan Jia. Dia menunduk memeriksa plastik es teh tawarnya. Habis sudah. Jia melangkah ke luar dan melemparkan plastik kosong itu ke dalam tempat s****h oranye terang yang baru tiba semalam. Hadiah dari dinas, kata Toni. Tentu saja itu bukan hadiah. Sudah seharusnya tempat s****h itu ada di tiap rumah warga sejak lama. Tidak baru sekarang diberikan lagi setelah bertahun-tahun yang lalu mereka menerimanya sewaktu Jia belum masuk sekolah dasar. “Jia, lo kenapa sih? Kayaknya belakangan ini sering bengong,” tegur Toni, tiba-tiba. Matanya memandangi map oranye dan sebatang pulpen yang tergeletak di lantai. Mereka tak punya meja. Satu-satu meja adalah papan tripleks berkaki milik Toni tadi. Jia merenggut map oranye itu dari tatapan Toni. Dia memeluk rapat map oranye itu. Toni terlihat penasaran. “Apaan tuh?” “Bukan urusan lo!” jawab Jia, ketus. Dia mengintip ke dalam mapnya. Sebuah kertas berjudul “Formulir Pemilihan Jurusan” tersimpan rapi di map itu. Jia membuka map itu lebar-lebar dan mulai mengisi namanya, kelas dan nama wali kelasnya. Kemudian, dia mendendangkan lagu cap cip cup sambil memberi titik samar di tiga pilihan jurusan. “Oh, gue tahu. Blangko pemilihan jurusan ya?” tanya Toni dengan mata jenakanya. Jia tertawa. Bukan karena mata jenaka itu. Dia tertawa karena merasa sudah berabad-abad lamanya tak mendengar kata blangko. Dan sekarang, kakaknya yang lugu mengingatkan Jia bahwa ada sebuah kata bernama blangko. Jia kasihan melihat Toni. Cuma berselisih tiga tahun dengan Jia, tapi kerasnya hidup dan pilihan kata saat bicara membuatnya terlihat jauh lebih tua. “Wah, kalau anak komputer, keren-keren jurusannya. Kalau suka teknik, kabel-kabel, instalasi, kerja lapangan, bisa ambil Teknik Informatika. Kalau sukanya programming, bikin aplikasi, bikin website, bisa ambil Sistem Informasi. Kalau suka gambar-gambar, desain-desain, bisa ambil Desain Grafis. Keren pokoknya.” Toni menjelaskan panjang lebar, sesuai dengan yang dia baca di brosur-brosur kursus komputer atau akademi komputer yang biasa diselipkan di celah pintu rumah mereka. Toni suka mengumpulkan brosur-brosur itu dengan harapan bisa mengikuti salah satunya kelak. Tapi mengingat selembar uang dua puluh ribuan tadi, hasil upahnya mengerjakan sebuah setrika b****k selama seminggu dengan modal yang mungkin hampir lima puluh ribu, kelihatannya mimpi Toni masih jauh dari harapan. Jia sendiri tidak tahu persis bedanya program studi yang ditawarkan sekolahnya. Dia tidak mengerti sama sekali. Masuk jurusan komputer, tapi melihat wujud komputer saja baru di kelas dua SMP. Jia masih takut-takut menekan tombol di keyboard sementara teman-temannya sudah lancar bermain game ini itu, berselancar di internet, makhluk yang katanya maya tapi bisa membuat orang lupa dunia nyata. “Jia, antar baju ini ke Bu Ati!” kata ibu Jia sambil meletakkan kantong besar berisi tumpukan baju yang telah rapi disetrika dan dilipat. Jia berdiri dan mengangkat benda berat itu, membuat tubuh kurus Jia hampir terjengkang ke belakang. Jia menimang-nimangnya sebentar sambil berusaha mengira-ngira beratnya. “Lima kilo. Dua puluh ribu. Bu Ati udah tahu, kok. Kamu tinggal terima aja uangnya,” kata Ibunya. Jia menelan ludah. Dua puluh ribu lagi. Seperti Toni tadi. Padahal kalau Jia melihat papan-papan reklame laundry kiloan saja, mereka menetapkan harga tujuh ribu sampai sepuluh ribu per kilo. Sedangkan ibunya menetapkan harga kurang dari setengahnya. Sama-sama diberi pewangi, sama-sama selesai dua hari, sama-sama disetrika dan dilipat rapi. Dan sama-sama dibungkus plastik putih bening. “Jangan lesu begitu. Cepat, antar sana! Makanya kamu sekolah yang rajin. Banyak bantu Toni servis kipas angin. Lama kelamaan kamu bisa seahli dia dan punya uang sendiri. Nggak perlu lagi antar-antar cucian dan ibu bisa istirahat sedikit.” Jia mengangguk patuh. Dia menoleh ke arah map yang tergeletak di atas lantai. Dia melirik barang-barang elektronik yang mengelilingi Toni. Barang-barang elektronik yang katanya rusak itu, lebih layak disebut s****h. Jia curiga bahwa orang-orang membawanya ke sini dengan maksud untuk membuangnya alih-alih memperbaikinya. Karena kebanyakan, setelah berminggu-minggu Toni berusaha memperbaikinya, barang-barang itu tidak pernah diambil lagi oleh pemiliknya. Dan yang paling sering membuat tenggorokan Jia tercekat adalah, Toni dengan senyum lugunya akan menghibur dirinya sendiri sambil berkata, “lumayan punya kipas angin baru.” Sementara itu, masuk angin dan batuk-batuk berkepanjangan sering mendatanginya. Setiap kali mengingat adegan-adegan seperti itu, Jia berusaha keras menahan rahangnya agar tidak pecah. Dia marah pada dirinya, pada ayah yang meninggalkannya dan pada hari esok yang sepertinya akan memberi Jia nasib yang sama dengan kakaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD