10. Perlakuan Istimewa

1240 Words
Aya berusaha membuka matanya meski masih terasa berat. Garis kerutan di dahi gadis itu terlihat menumpuk, berusaha menerima cahaya yang ditangkap matanya yang semula hanya menyimpan gelap. Satu yang Aya rasakan ketika kesadarannya perlahan-lahan bisa Aya tangkap. Lelah, dirinya masih benar-benar lelah dan ingin meneruskan tidurnya lebih lama lagi kalau memang bisa. Hanya saja... "Ay? Aya... Bangun yuk. Udah waktunya dzuhur nih. Aku mau ke masjid kejar jamah, kamu bangun dan mandi dulu ya." Seperti dejavu, Aya merasa entah itu perkataan maupun situasi yang ditangkapnya ini pernah Aya alami sebelumnya. Tapi karena kesadarannya yang belum kembali penuh, Aya tidak bisa berpikir lebih jauh. "Ayaaa... Yuk, bangun dulu yuk. Aku anter kamu ke kamar mandi dulu, abis itu baru aku pergi. Hm?" Suara yang menganggu tidur Aya itu makin terdengar nyata dan jelas, membuat Aya yang semula masih berusaha untuk kembali terpejam akhirnya membuka mata sepenuhnya. Ah, Aya ingat. Ini juga yang terjadi saat shalat subuh tadi, kan? Rizal pamit sambil membangunkannya. Ya, ya, ya. Aya ingat kok dirinya sudah menikah, dan sekamar dengan Rizal. "Hm, iya. Mas Rizal ke masjid aja nanti Aya ke kamar mandi sendiri, nggak perlu dianter." Gumam Aya terdengar parau. Tenggorokannya terasa lumayan sakit dan kering, entah apa yang dilakukannya saat tidur tadi. Apa Aya menyanyi rock dalam tidurnya? Sampe tenggorokannya sakit seperti itu. "Kami yakin? Memangnya bisa?" Apa maksud suaminya ini? Kenapa bertanya hal yang sudah pasti seperti itu? Aya jelas sudah besar, bisa berjalan dan melakukan semua hal sendiri. Subuh tadi saja Rizal tidak menawarkan hal semacam itu, kenapa tiba-tiba sekarang pria itu melakukannya? Memangnya Aya anak kecil yang ke kamar mandi saja harus diantar? Lucu sekali. "Apa maksud Mas Rizal? Memangnya kenapa Aya nggak bisa ke kamar mandi sendiri? Tentu aja Aya bis--" Kalimat Aya terhenti, ketika ia mencoba bergerak dan merasakan sesuatu yang terasa aneh. Hal pertama yang Aya rasakan, semakin kesadarannya berangsur penuh adalah pundaknya yang terasa dingin, tapi itu masih Aya berusaha abaikan karena fokusnya adalah bicara dengan Rizal. Baru setelah Aya bergerak ia dengan kesadaran penuh dan nyata merasa ada yang terasa aneh dan mengganjal dari setiap sendi dan bagian tubuhnya. "Udah sadar kenapa aku nawarin untuk anter kamu ke kamar mandi sebelum pergi ke masjid?" Tiba-tiba Aya merasa tenggorokannya kering, tubuhnya terasa panas begitu juga wajahnya. Aya tidak tahu kini dirinya terlihat seperti apa, tapi ketegangan yang tiba-tiba menyergapnya tentu dibaca dengan mudah oleh Rizal. Pria itu terkekeh kecil, berusaha untuk tidak terlalu menunjukan antusiasnya melihat reaksi menyenangkan Aya karena takut Aya malah merespon reaksinya dengan sesuatu yang negatif. Rizal tidak ingin menyinggungnya, meski ia tidak bisa memungkiri senyumnya memang sesuatu yang tidak bisa ditahan, itu kenapa Rizal melakukannya seminimal mungkin. “Ya udah, kamu mikirnya sambil mandi aja, ya? Ayo aku bantu dulu, aku tahu kamu pasti belum merasa nyaman. Tapi setelah berendam air hangat insya Allah kamu udah bisa lebih rileks jadi nggak masalah kalau aku tinggal ke masjid.” Rizal yang tadinya duduk di samping ranjang kemudian berdiri, membungkus tubuh terbuka Aya dengan selimut yang masih menyelimutinya dan mengangkat tubuh gadis—wanita itu hingga kemudian dibawanya ke kamar mandi. Kamar mandi hotel yang cukup luas, sangat bahkan jika dibandingkan kamar mandi di rumah Aya. Di sana terdapat bathtub dan shower, kemarin Aya hanya mandi di bawah shower dan belum mencoba bathtub-nya, dan mungkin inilah kesempatan wanita itu untuk mencobanya. Sebab di dalam bathtub sana Rizal sudah menyiapkan air hangat yang diberi wewangian aroma terapi juga ada beberapa kelopak bunga yang tersebar di dalamnya. Tubuh Aya yang masih kaku, karena wanita itu sejak tadi juga hanya diam saja diturunkan Rizal di sisi bathtub yang kebetulan bisa dipakai untuk duduk. Pria itu kemudian berjongkok di hadapan Aya yang masih terlihat linglung sekaligus canggung dengan situasi yang dihadapinya saat ini. “Nah, sekarang aku udah bisa pergi dengan tenang karena kamu udah bangun. Mandi dulu abis itu shalat dzuhur ya. Pulang dari masjid nanti kita langsung makan siang karena aku tahu kamu pasti capek dan laper banget.” Senyum yang Rizal berikan detik itu benar-benar membuat Aya membeku di tempatnya, apalagi ketika pria itu mengusap kepalanya lalu mendaratkan satu kecupan di kening Aya kemudian turun ke belah bibirnya. Hanya kecupan ringan, namun itu membuat Aya terkejut hingga cegukan menyerangnya. “Oh, kamu cegukan. Mau aku ambilin minum dulu? Tunggu bentar aku ambilin minum dulu ya?” Pria itu cepat-cepat berdiri dan bergegas keluar dari kamar mandi, meninggalkan Aya yang akhirnya bergerak setelah sejak tadi hanya seperti patung yang bernapas. Tapi yang dilakukan Aya juga bukan sesuatu yang besar, gadis itu hanya mengangkat satu tangannya menutupi mulut menghalau suara cegukannya keluar. “Nih, minum dulu. Hilangin dulu cegukannya.” Rizal kembali tidak lama, membawa botol air mineral yang sudah dibuka dan memberikannya pada Ayana. “A-kh-khu.” Akhirnya suara Aya terdengar setelah sejak tadi diam. Gadis itu berusaha bicara ditengah cegukannya. “Ngkh-nggak aph-a-apha. Mash-uhk pergi ajh-jha.” Mengamati wajah wanitanya, Rizal sedang meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang tidak apa-apa untuk meninggalkan Aya sendiri di sana. “Nggakh apha-apa. Ini udha—ada min-hump.” Tambah Aya lagi, sambil menunjukan air yang tadi diberikan Rizal di tangannya. Pria itu menarik dan menghembuskan napasnya pelan. “Ya udah aku pergi dulu, kamu minum airnya supaya cegukannya ilang.” Aya mengangguk patuh, menggerakan satu tangannya yang kosong untuk mempersilakan Rizal pergi. Sementara satu tangan lainnya sudah ia gunakan untuk mengantarkan gotol minum itu bertemu dengan mulutnya. Gadis itu meneguk air mineral yang diberikan Rizal, sambil tetap mengisyaratkan pria itu untuk pergi. “Aku pergi.” Suara pria itu lagi, mengulum senyum yang sedikit dibumbui rasa bersalah karena sudah membuat istrinya terkejut dan cegukan seperti itu. Lagi Aya mengangguk, kecil kali ini karena bibir botol masih menempel di mulutnya. Matanya mengantar kepergian Rizal hingga pria itu menghilang di balik pintu toilet yang tertutup. Baru setelah itu Aya menjauhkan bibir botol dari mulutnya, menarik napas panjang dan menghembuskannya kurang dari hitungan detik. “Wah... Gila, aku pasti sudah gila. Apa yang sudah aku lakuin sama Mas Rizal?” Antara pertanyaan dan pernyataan bodoh tentu saja. Kenyataan bahwa mereka sudah suami-istri, bahkan sejak kemarin seharusnya membuat pertanyaan itu tidak keluar dari mulut Aya. Hanya saja, untuk ukuran Aya yang masih belum bisa beradaptasi sepenuhnya dengan kenyataan maka mari maklumi pertanyaan Aya itu kali ini saja. “Aish, benar-benar memalukan. Jadi aku sama Mas Rizal udah...?” Aya meletakan botol air mineralnya, menggunakan kedua tangan untuk mengusak wajah hingga rambutnya yang sudah dapat dipastikan berantakan karena sisa-sisa pertempurannya dan Rizal beberapa jam lalu. P-pertempuran? Gila, Aya benar-benar menggunakan istilah itu di kepalanya? Aya pasti sudah benar-benar di luar akal sehatnya sekarang. “Kami benar-benar melakukannya? Di siang bolong? Dan bisa-bisanya aku....” Raut wajah Aya benar-benar terlihat seperti orang yang baru saja menonton film horror, mengigit bibir, menangkup kedua pipi hingga mengusak wajahnya lagi dan lagi. Wanita itu menunduk, berusaha untuk menjernihkan kepalanya yang kini sibuk memutar ulang setiap adegan bagaimana bisa dirinya dan Rizal hingga sampai melalui tahap itu. “Nggak! Jangan justru diinget Aya! Kalau kayak gini kamu malah kesannya mesu—ish! Pokoknya sampe Mas Rizal balik bayang-bayangnya harus dilangin biar nggak malu-maluin lagi di depan Mas Rizal. Ya Tuhan wajah macam apa yang harus aku tunjukin ke Mas Rizal nanti? Dan aku juga harus gimanaaaa?” Gumam Aya sibuk sendiri, berusaha menenangkan dirinya namun kemudian histeris lagi, tenang dan histeris lagi. Terus begitu sampai wanita itu akhirnya berusaha fokus menjalani ibadahnya setelah menyelesaikan mandi dan bebersihnya sebelum Rizal benar-benar kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD