Dahi Aya berkerut. Masih dengan mata terpejam wanita itu berusaha untuk mengenali siapa yang tengah menganggu tidur nyenyaknya.
Bukan teriakan, atau goncangan kuat pada tubuhnya, bukan. Melainkan usapan lembut yang Ayana rasakan di pipinya. Awalnya wanita itu tentu tidak sadar, tapi semakin di rasa sentuhan itu semakin nyata.
"Selamat pagi, istriku..." Suara bariton itu kemudian menyapa telinganya tak lama, tepat ketika Aya berusaha untuk membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya sekitar.
"Bangun, yuk. Shalat subuh dulu." Ucap suara itu lagi, persis ketika Aya berhasil menangkap apa yang ada di depannya.
Gadis itu sedikit tersentak, kaget, dan itu terlihat dari rauh wajahnya yang sekitar berubah horor, seperti baru melihat penampakan entah dari mana.
"Ditunda dulu kaget atau bingungnya, nanti aku jelasin setelah selesai shalat subuh." Suara pria itu lagi.
Rizal, iya Rizal. Mas Rizal, pria yang selama ini menjadi cinta diam-diamnya Ayana... Tunggu, bagaimana bisa Rizal ada di sini? Di kamarnya?
Mata Aya berputar sedikit, mencoba mendeteksi tempat dirinya berada saat ini. Tidak, ini bukan kamarnya. Dekorasi kamaranya jelas tidak seperti ini dan tidak semewah ini, lantas...?
"Ay, nanti aja dulu mikirnya. Ayo cepet bangun, shalat subuh. Aku turun dan cari masjid terdekat dari hotel ya." Pamit Rizal terlihat santai.
Karena tidak bisa menunggu istrinya itu untuk benar-benar memahami situasi mereka sekarang, pada akhirnya Rizal pergi dan membiarkan Aya terlarut dalam pikirannya. Biarlah, toh yang penting Aya sudah bangun, selang lima menit juga Aya pasti sudah bisa mencerna situasi yang sebenarnya.
Nyatanya, tak perlu menunggu lima menit sampai akhirnya Aya bereaksi. Setidaknya toh gadis itu masih cukup sadar untuk menjawab salam Rizal yang diucapkan pria itu dari ujung pintu kamar hotel, ah jangan lupa peringatan Rizal yang diserukan selaras dengan salamnya.
"Bangun ya, Ay! Jangan tidur lagi." Begitu kira-kira bunyinya.
Kembali pada Aya, yang dadanya naik-turun, menatap sekitar tidak percaya dan seolah masih mencari keyakinan dari sekitar juga ingatannya sendiri.
"J-jadi itu bukan mimpi?" Suara Aya akhirnya lebih jelas setelah tadi hanya menyahuti salam Rizal dengan gumaman.
"J-j-jadi aku beneran nikah sama Mas Rizal?" Gadis itu menelan salivanya sudah payah. "D-dan obrolan semalam dengan Mas Rizal itu juga benar-benar...!"
Tunggu, tapi kenapa Aya tidak mengingat apa-apa soal obrolan mereka? Hanya sampai batas... Dahi Aya berkerut tajam, berusaha mengingat sampai mana obrolannya dengan Rizal semalam.
Sial, karena masih terlalu pagi, dan semalam rasanya ia juga tidur sangat larut dan kelelahan, Aya sepertinya masih butuh mengatur mengenai ingatannya. Dan melakukannya di saat bangun tidur, juga pagi buta jelas bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dicoba.
"Shalat dulu, Ay. Shalat. Kayak yang Mas Rizal ingetin." Gumam gadis itu, akhirnya beranjak dari ranjang tidur yang di tempatinya dan Rizal semalam.
Tepat ketika kalimat itu melintas di kepalanya seketika wajah dan kedua telinga Aya memerah.
Ya Tuhan! Semalam ia dan Rizal tidur satu ranjang! Serius? Dan bagaimana dirinya terlihat? Apa memalukan? Apa Aya tidur dalam posisi atau cara yang memalukan? Yang mengganggu Rizal misalnya? Mengorok? Mengigau? Atau bahkan ngiler yang membuat Rizal bisa-bisa...
Secepat kilat Aya berlari ke arah cermin yang tersedia di kamar honeymoon-nya dengan Rizal, mengusap sudut-sudut bibirnya dan memeriksanya di sana. Tidak, dirinya tidak ngiler, benar-benar tidak, kan?
Baru saja Aya merasa sedikit lega, tapi begitu gadis itu melihat penampilan keseluruhannya di cermin, bukan hanya sudut bibirnya, tapi seluruh penampilannya, dari kepala sampai bagian pinggang yang terlihat.
Apa-apaan! Apa-apaan ini, Ayana?! Kenapa keadaannya berantakan macam ini?! Rambut kusut acak-acakan, pipi bengkak karena entah kurang tidur atau tidur terlalu nyenyak, lipatan di bawah mata. Ya Tuhan... belum lagi piama Donald bebek yang dipakainya!
Kenapa?! Kenapa kamu bawa pakaian macam ini untuk waktu bulan madumu dengan Mas Rizal sih, Ay! Gerutu Ayana dalam hati, seolah baru bisa mencerna seluruh kejadian yang beberapa hari terakhir benar-benar terjadi dalam hidupnya.
Lantas kemana saja Aya selama beberapa hari ini? Dunia kayangan?
***
"Berhenti natap aku kayak gitu. Kenapa sih? Memang ada sesuatu di muka aku?" Tanya Aya sambil meraba-raba wajahnya, masih menunduk malu karena apa yang sudah terjadi pagi buta tadi.
Ah, bukan malu yang terkesan menggemaskan atau apa. Melainkan malu karena Aya merasa dirinya sudah benar-benar bertingkah memalukan beberapa jam ini.
Dua pengantin baru itu kini sudah berada di restoran hotel, apalagi kalau bukan untuk sarapan. Setelah selesai shalat subuh, Rizal langsung izin untuk olahraga di gym, dan setelahnya membersihkan diri sebelum mereka sama-sama turun ke restoran.
Anyway, jangan salah paham kalau Aya ditinggal dan dibiarkan begitu saja. Tidak kok, tidak sama sekali. Rizal justru mengajak Aya untuk ke gym bersama, tapi dengan alasan Aya tidak membawa pakaian olahraganya gadis itu menolak, meski sebenarnya alasan terbesar Aya adalah malas juga masih sangat mengantuk mengingat betapa melelahkan dan larutnya ia tidur kemarin malam. Jadi begitu Rizal pergi sekitar 1 jam untuk berolahraga, Aya benar-benar memanfaatkannya untuk kembali tidur, yang sayangnya harus kembali dibangunkan oleh Rizal karena mereka harus sarapan.
Tenang, Aya tetap mengutuki dirinya sendiri kok karena bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu di depan pria yang baru menjadi suaminya, yang ada Aya pasti di hakimi malas, tukang molor dan sebagainya, kan? Meski Aya mengakuinya, tapi apa yang terjadi 2 hari terakhir memang karena tenaganya terkuras habis, makanya...
"Mas Rizal!" Tegur Aya sebal, melirik pria yang bahkan menopang dagu hanya untuk memandanginya sejak beberapa belas menit lalu.
"Haha, maaf-maaf. Abis kamu lucu sih, gemesin gitu. Makanya aku nggak bosen mandanginnya." Ucap Rizal akhirnya, setelah sejak tadi bergeming dan terus melanjutkan apa yang menurutnya menarik itu, ya menatapi Aya.
Aya mendengus, mau tidak mau tersipu meski Aya masih sangsi apa yang diucapkan suaminya itu sungguhan atau hanya mengejeknya.
Baru saja Aya berpikir bahwa dirinya memalukan, bukan dalam konteks menggemaskan sama sekali, Rizal justru seolah meralat apa yang melintas di kepalanya itu.
"Gombal." Timpal Aya berusaha untuk tidak jatuh dari rayuan maut Rizal.
"Lho kenapa? Nggak apa-apa dong gombal sama istri sendiri, malah itu dapet pahala, Ay..." Rizal tersenyum, akhirnya mulai menggerayangi makanan yang ada di piringnya setelah sejak tadi dikesampingkan.
"Apalagi pas kamu tidur, kamu imut banget sampe aku gemes. Juga waktu kamu kaget pas bangun tadi, ah, jangan lupa pas kamu ketiduran lagi waktu aku nge-gym. Muka kamu tuh bener-bener..."
"A-a-a-a... Aya nggak denger, Aya nggak denger. Aya lagi sibuk makan nggak denger apa yang Mas Rizal maksud." Sela Aya sambil mengutup kupingnya yang sudah merah bukan main.
Tuh, kan?! Rizal tuh cuma menggodanya! Bukan benar-benar menganggapnya menggemaskan! Batin Aya.