5. Fakta yang Tak Disangka

1113 Words
"Kalau pertanyaannya aku balik? Kenapa Mas bisa datang ke rumahku untuk melamar? Bagaimana? Bukannya seperti yang Mas bilang tadi, kalau kita nggak kenal satu sama lain? Jadi... Aku masih tidak habis pikir, kenapa dari sekian banyak wanita Mas memilihku." Rizal yang sejak tadi menunggu jawaban Aya dibuat kecewa karena pertanyaannya jawab dengan sebuah pertanyaan balik. "Kan yang bertanya lebih dulu aku, Ay..." Iya, tentu saja Ayana tahu. Hanya saja Aya merasa membutuhkan jawaban dari Rizal sebelum memutuskan jika dirinya harus menceritakan yang sebenarnya atau hanya sebatas mengatakan hal yang basa-basi saja. "Ya... Tiba-tiba aku mau denger jawaban Mas Rizal dulu, makanya gimana kalau diganti aku duluan yang nanya?" Rizal cemberut, merajuk sebentar seolah merasa tidak adik karena ini sama seperti Aya mengambil kesempatan untuk merebut pertanyaannya. Yah, bukan sesuatu yang seserius itu memang, tapi ya... Rizal memang ingin merajuk saja sedikit. Dan Aya yang melihatnya dibuat tersenyum karena raut wajah pria yang berbaring di sampingnya itu. Kapan lagi Ayana bisa melihat wajah merajuknya Rizal? Setelah selama ini yang Aya tahu dan pernah saksikan adalah sosok Rizal yang dewasa, lembut dan berwibawa di depan rekan-rekan kerja maupun mahasiswanya. Aya sungguh tidak menyangka bahwa Rizal bisa menunjukan ekspresi macam itu. Ah, mungkin mulai hari itu, mulai malam itu dan seterusnya Aya bisa melihat raut wajah atau ekspresi Rizal yang memang tidak pernah pria itu tunjukan sebelumnya di muka publik. Terasa sangat spesial, bukan? "Hhm... Bagaimana kalau aku bilang aku memilih wanita ini karena diam-diam wanita ini sering mengamatiku?" Sedang terbawa Aya dengan euphoria di dalam dirinya sendiri membayangkan hal-hal menyenangkan dan baru yang akan terjadi di kehidupan rumah tangganya mulai malam itu, lamunan Aya diseret kembali ke dunia nyata dalam sekejap, tepat ketika Rizal menyelesaikan kalimatnya. "A-apa?" Suara Ayana akhirnya keluar, setelah merasa tercekat di kerongkongan. Rizal kembali merubah posisinya dengan tidur menyamping, menatap Aya yang masih dengan wajah terkejutnya menatap Rizal. "Hhm, aku mulai mengamati wanita ini setelah sadar kalau wanita ini sering mengamatiku diam-diam." Ucap Rizal lembut, menatap mata Aya lurus dan menyelami dalam-dalam. T-tunggu. Apa? Sekali lagi apa yang Rizal bilang? Tidak, ini tidak seperti jalan cerita yang terangkai di kepala Ayana saat ini, kan? Rizal tahu? Pria di matanya itu tahu kalau Aya selama ini mengamatinya diam-diam? Ya Tuhan... "Beberapa bulan lalu tepatnya, aku mulai sadar kalau ada seorang gadis yang sering dan kedapatan mengamati juga memperhatikanku diam-diam." Rizal mulai bercerita, dengan matanya yang tidak lepas dari menatap wajah wanitanya. Sementara Aya? Gadis itu seolah tidak dapat lagi mengelak. Pandangannya sudah terkunci, menetap dan sulit berpaling dari jerumus tatapan Rizal yang menghujamnya tajam namun lembut. Ada yang bisa membayangkan? Ayana sendiri tidak mengerti, kenapa ada jenis tatapan macam itu, yang bisa menatapnya tajam namun terasa lembut dan hangat di saat bersamaan. "Awalnya aku pikir gadis ini seperti halnya mahasiswi-mahasiswi lain yang ada di kampus. Mungkin merasa aku dosen muda yang jarang mereka jumpai, mungkin juga merasa aku sosok yang perlu mereka hormati, atau mungkin juga merasa aku lumayan tampan untuk mereka jadikan objek yang menyenangkan untuk ditatap." Sebentar, tunggu dulu. Alasan satu dan dua Aya masih bisa mengerti, tapi kenapa alasan ketika membuat Aya merasa ingin sekali mengorek telinganya? Tidak pernah Aya merasa Rizal sadar akan ketampanannya dan jadi jumawa akan hal itu, tapi kali ini? "Haha bercanda! Kamu ini kenapa gampang sekali dibaca melalui ekspresi wajahmu itu, sih? Benar-benar luar biasa. Menyenangkan sekali melihatnya." Tawa Rizal terlihat menikmati. Sementara Aya? Gadis itu justru menatap bingung dengan dahi berkerut, menunggu hingga tawa Rizal reda. Tapi sekalinya reda, Rizal yang kembali memasang wajah seriusnya membuat Aya lagi-lagi hampir jantungan karena apa yang dilakukan pria itu. "Jangan ngerutin dahi kayak gitu, nanti kamu ngomel-ngomel kalau kulit wajah kamu mulai berkerut. Walaupun aku nggak akan pernah keberatan lihat kerutan di mana pun yang ada di diri kamu mulai hari ini dan seterusnya." Ucap pria itu santai. Sayangnya santainya Rizal membuat Aya membeku di tempatnya. Bukan apa-apa memang, karena Rizal hanya menyentuh dahinya dan mengusapnya pelan, tapi bagi Aya yang belum disentuh pria seintens itu selain oleh keluarganya selama sepanjang hidup tentu kaget dan kaku setelah mendapatkan perlakuan seperti itu. Dan reaksi itu jelas menciptakan senyuman di wajah Rizal lagi. "Nah, kamu jadi patung lagi sekarang." Goda Rizal, yang akhirnya mengangkat tangannya dari dahi Aya setelah merasakan ketegangan dari gadis itu. Akhirnya Aya bisa bernapas lagi, bisa bergerak lagi setelah merasa seluruh organ di dalam tubuhnya berhenti berfungsi. Tentu saja itu hanya kiasan, karena kalau memang benar terjadi Aya jelas sudah wassalam. "Ish, itu karena Mas Rizal bikin aku kaget!" "Kaget kenapa? Karena Mas sentuh kamu?" Aya diam. Benar namun tidak ingin mengiyakan. Jadi, di saat seperti ini mengalihkan pembicaraan adalah jalan satu-satunya untuk melarikan diri. "J-jadi Mas udah tahu kalau Aya..." Rizal menyipitkan kedua matanya menatap sang istri, paham benar kalau pertanyaannya sedang dibelokkan ke arah lain. Dan Aya hanya meringis sebagai balasan. Mereka sama-sama tahu dan mengerti maksudnya, jadi alih-alih meneruskan pertanyaan Rizal tadi, Rizal memutuskan untuk mengikuti alur yang Aya ciptakan, yaitu kembali fokus pada inti obrolan malam pertama mereka itu. "Ya aku tahu setelah beberapa kali memastikan. Dan kira-kira itu membutuhkan waktu sebulan lebih." "Eh?" "Tentu aja aku nggak sepercaya diri itu seperti alasan ketiga yang aku sampein ke kamu tadi, Ay. Nyatanya, kebanyakan mahasiswi yang kalaupun benar tertarik sama aku cuma jadiin aku rasa penasaran mereka. Yah mungkin ada satu-dua yang serius dan ngungkapin perasaannya langsung sama aku, tapi... dalam posisiku kalau memang ada yang datang seperti itu aku merasa sudah harus menolak mereka." "Kenapa?" "Hm? Karena... Entahlah, mungkin itu benteng pertahanan yang udah tertanam di kepalaku karena itu berkaitan dengan kode etik dosen dan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal semacam itu." Ngomong-ngomong Aya belum mengkonfirmasi kalau pengamatan Rizal padanya itu benar loh, jadi Aya masih berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak menunjukan bahwa itu benar secara terang-terangan sebelum ia mengambil alih cerita dari versinya. "Terus kenapa Mas mandang beda sama wanita yang Mas amati ini? Kan dia sama-sama mahasiwi di kampus itu." Dengan Aya yang menjadikan dirinya dalam cerita Rizal sebagai orang ketiga dari sudut pandangnya saat ini, membuat Rizal paham benar bahwa gadis itu belum mengakui apa yang Rizal ceritakan di awal. Intinya, Rizal paham Aya ingin mendengarkan ceritanya ini sebagai orang luar dulu, sebelum masuk dan menjadi dirinya di dalam cerita tersebut. "Iya, bener. Dia mahasiswi kampus tempat aku ngajar memang, tapi dia bukan mahasiswiku kok." Keduanya sama-sama paham maksud Rizal, bahwa yang Rizal maksud di sini adalah Ayana sebagai mahasiswi sosiologi, sementara Rizal yang berstatus dosen di fakultas Ekonomi. Fakultas yang berbeda dengan yang Ayana tempuh. Tapi itu jelas bukan jawaban yang tepat, kan? Karena Ayana tahu jelas kalau banyak mahasiswi dari fakultas lain yang juga menyukai dosen muda itu diam-diam. Lalu, apa alasan Rizal memilihnya sebenarnya?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD