tiga

2069 Words
AKU menemukan note seperti biasa. Kali ini ada dua. Dari Papah dan Mamah. Selai Blueberry-nya abis, Sayang. Mamah ganti pakai Stroberi aja yaa. P.s: Nggak asem, kok. ;) Love you. :* -Mah Aku membaca note lain yang berwarna biru. Papah tinggalin uang di bawah baju kamu. Maaf udah lama nggak bisa kasih. Papah pasti bakal kangen sama kamu. Papah sayang banget sama Mika. Nanti kalau udah ada uang, Papah beliin Barbie lagi yaa.. Semangat belajarnya. -YourHero {} Aku meremas kuat kedua kertas itu, lalu melemparnya secara asal. Dan seperti biasa. Keesokannya, aku sudah tidak menemukannya lagi. Tetapi baik Mamah atau pun Papah, mereka tidak pernah membahasnya sama sekali. Semalam, saat aku pulang sekitar pukul 23.45, hanya ada Mamah di ruang TV. Dia hanya memelukku sekilas, yang kuyakini sebagai bentuk formalitas saja. Setelah itu mengucapkan 'selamat malam' dan berlalu ke kamarnya. Aku juga tidak menanyakan Papah. Karena aku yakin, semalam dia sudah berangkat kerja. Membawa puluhan penumpang dengan risiko yang sangat tinggi. Terbang di udara bukanlah hal yang selalu baik. Tetapi itu dulu, dan aku sering menangis saat Papah telah siap dengan seragamnya. Aku takut pesawatnya akan terjatuh dan dia akan meninggalkanku. Untuk saat ini, aku bahkan tidak tahu apa yang ia lakukan di luar sana. Dan sekarang, aku justru menginginkan kecelakaan itu terjadi. Dan setelahnya, aku akan menyusul. Mungkin bersama Mamah. Menghabiskan roti secepat mungkin, dan meminum s**u tanpa rasa nikmat di mulutku. Kemudian aku berjalan ke arah garasi, sebelumnya mengunci pintu terlebih dahulu. Kami hanya punya mobil satu. Milik Mamah. Dan selalu ia bawa sebagai seorang Manajer di sebuah Bank Swasta. Gaji Papah besar sebagai Pilot dulu, tetapi aku tidak tahu kemana perginya semua itu. Mobil miliku sebagai hadiah di ulang tahunku yang ke-17, telah dijual. Mobil pribadi Papah, juga sudah terjual. Dan Mamah membelikanku sebuah motor matic. Mungkin sebentar lagi, rumahku yang akan terjual. Aku telah sampai di depan gerbang sekolah. Wajah semringah Mas Ilham membantu memulihkan sedikit semangatku. Apa ini gilirannya berjaga? Setelah memarkirkan motor dengan baik, aku melepas semua atribut. Meletakkan di dalam bagasi, lalu menguncinya. Sudah banyak motor yang memenuhi parkir. Aku juga bisa melihat deretan mobil mewah jauh di ujung mataku. Dulu, aku salah satu pemilik mobil yang teparkir di sana. "Mika!" Aku menoleh, Marsya berlari kecil, yang kuyakin betapa sulitnya ia berusaha karena rok sempit itu membelit kakinya. Aku lebih memilih rok pendek daripada seperti itu. Membuatku tak bisa bergerak. "Amel mana? Sekolah kan dia?" Aku menatapnya menilai. "Lo cari mati. Ntar ditegur guru baru sibuk." Dia cengengesan sembari memperhatikan roknya. Mengerti apa yang kumaksud. "Biarinlah.. Ini, kan, mode," katanya, sombong. Aku mendengus. Lalu berjalan menuju kelas. Marsya menjajarkan langkahnya di sampingku, sembari terus mengoceh tentang kejadian semalam. Betapa parahnya ia berciuman dengan Si 'Terong' kebanggaannya itu. Dan bagaimana hot-nya Si Terong itu saat rambutnya berantakan. Benar-benar gila. "Lo lagi deket sama Radian?" tanyanya, mengubah topik pembicaraan. Aku menggeleng yakin. "Apa?" ketusku saat melihat dia memicingkan matanya. Dia tertawa kecil, lalu menggelengkan kepala. "Jangan sampe lo suka sama Radian ya, Mik. Gue hajar lo." Oh, aku lupa. Temanku satu ini, begitu menggilai Radian sejak kami masih MOS. Tapi dia penakut, sama sepertiku. Aku ingin bercerita tentang pesan singkat yang semalam kuterima. Tetapi aku ragu, bagaimana jika itu memang Radian dan Marsya akan marah padaku? Tidak. Aku tidak ingin bertengkar dengannya. Hanya Marsya dan Amel yang kupercaya menjaga semua aib keluargaku saat ini. Radian Gerhana. G. Aku takut, jika semua itu benar-benar Radian yang mengiriminya. Tetapi kenapa? Toh, kami hanya teman. "Lo kenapa, sih?" Lamunanku buyar. Aku menatap Marsya bergetar, baru akan membuka mulut, ponselnya dan milikku berbunyi secara bersamaan. Amel. Dia mengirim chat di grup kami. Amel: OHEMJI! GUE BARU BANGUN! DEMI BULU DADANYA NIALL, GUE BARU BANGUN DAN PUSING BANGET. : Aku dan Marsya saling tatap kemudian tertawa kencang. Aku baru berhenti saat orang-orang berjalan sembari menatap kami aneh. Marsya: Tipikal Marsya. Aku menatapnya bingung, dia hanya menyeringai dan menjengkelkan. Mika: Berapa ronde semalem? Amel: GUE MABUK BUKAN ML! Marsya: Tapi semalem gue nemuin Pil KB di tas lo Amel: ANJING!! Pokoknya izinin gue. Pleaseeee Aku memasukkan kembali ponselku, begitu pun dengan Marsya. Kami melanjutkan berjalan. Kelas Marsya sudah tidak terlalu jauh. Sedang kelasku, XII IPS 6 berada di ujung. Aku pikir, pihak sekolah memang berniat untuk mengasingkan aku dan anak kelas. Makhkuk tak berotak. Aku akui, aku tidak pernah mengerti semua penjelasan guru. Sejarah, Ekonomi, atau apapun itu. Aku tak tertarik. Setiap guru menjelaskan, aku lebih tertarik dengan caranya berbicara yang terlihat sangat menyayangi kami. Kecuali Miss Elifa. Guru Sosiologi, yang terlihat sangat membenciku. Ya, aku dan Marsya tidak sekelas. Dia masuk XII IPA3. Demi Tuhan dia masuk IPA! Bukan maksudmu anak IPS berarti bodoh. Tidak. Itu hanya gambaran untuk seorang Mika Andrafia. Marsya memang cerdas. Tidak seperti diriku. Aku tidak ingin menjadi orang cerdas. Aku takut nantinya hanya akan mencintai duniaku sendiri. Seperti Mamah dan Papah. Mereka cerdas dan hanya memikirkan duina mereka sendiri. Dan aku benci itu. Setelah mengucapkan 'dadah' dengan Marsya, aku berjalan mendekati kelas. Tiba-tiba, "Mika..." Aku menoleh, ada Radian dengan senyuman hangatnya seperti biasa. Kapan dia terlihat tidak tampan? Wajar saja Marysa begitu gila. "Hai.." sapaku sembari mengangkat sebelah tangan kanan. Dia mengangkat tangannya juga, mengikutiku. Berhenti tepat di depan tubuhku. "Gue mau kasih sesuatu." Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas merahnya. "Ini.." Tanganku terulur untuk menerima sebuah kotak yang dibungkus kado berwarna putih. Warna kesukaanku. "Ini apa? Gue nggak lagi ulang tahun, lho." Aku meledeknya. Dia tertawa. Dan demi seluruh makhluk gaib yang ada di sekolah ini, dia memiliki kedua lesung pipi! Manis sekali. Oh Marsya yang malang. "Kado." Aku memutar bola mata. Lalu menyodorkan kembali kotak itu di hadapannya. "Gue nggak nerima pemberian orang asing. Apalagi gue nggak tahu isinya apa." Kini, dia tertawa begitu santai. Yang membedakan Radian dengan kedua temannya itu adalah, sikap ramah dan dewasanya. Aku suka. Merasa nyaman saat berada di sekitarnya. Tuhan.. "Kalau tahu isinya, namanya bukan kado, dong?" Dia menggerling jail. "Emang lo nggak anggap gue temen?" Telak. Aku membisu. Bingung mencari jawaban yang pas untuknya. Ya, tentu saja kami berteman. Setelah menceritakan sedikit kisahku, kami memang 'layak' disebut teman. "Kita temen," ucapku lirih, pada akhirnya. Dia tersenyum lebar. Aku ingin bertanya tips agar selalu bisa tersenyum semanis itu. "Kalau gitu terima kadonya. Buka dan nikmati. Itu sepenuh hati, lho, ngasihnya." Aku tertawa kecil lalu menarik kotak itu kembali. Ponselku berdering. Dan dia tersenyum, mempersilakanku untuk mengeceknya. Marsya: LO NGAPAIN BERUDAAN SAMA RADIAN DAN ITU APA DITANGAN LO?!!!!!! Marsya: *BERDUAAN. TYPO NGGAK KENAL WAKTU EMANG!! Aku tertawa. Dan seketika mengucapkan maaf kepada Radian. Mika: Marsya: TAIK KECEBONG LU! Darimana Marsya melihat kami? Kelasnya berbeda denganku. Dan terhalang oleh beberapa kelas lain. Apa dia memasang mata-mata saat ini? Aku mengubah mode menjadi silent dan kembali memasukkan ke dalam tas. "Maaf. Biasa, Marsya agak aneh." Dia mengangguk kecil. "So? Kado diterima?" Dengan seluruh tenaga dalam, aku menahan agar pipiku tidak merona. "Iya." Aku ingin mati saat ini juga. Malu. "Oke. Selamat menikmati, semangat belajar. Kalau ada projek baru mau ikut, kan?" Aku mengangguk antusias. . . . . SELAMA mengikuti pelajaran, pikiranku tidak pernah berhenti menebak apa isi dari kotak itu. Bagaimana ada manusia sempurna seperti Radian? Ganteng, baik, dan romantis dalam waktu yang sama. "Amel? Mana Amel? Nggak ada? Oh alpa lagi anak ituu.." Aku terkejut saat mendengar nama Amel. Dengan gerakkan refleks, tanganku terangkat ke atas. "Eh, anu, Bu. Amel izin. Maaf, tadi saya nggak dengar." Semua mata tertuju ke arahku. Bu Elifa menaikkan sebelah alisnya. "Izin? Kamu saja saya tulis alpa, kok." Dia melengos begitu saja. Tapi aku hadir, kan? Biarlah. Biar dia bahagia. Mungkin dia sepertiku, hanya di sekolah saja bisa menunjukkan siapa yang ia mau. Setelah Bu Elifa mengatakan kalau aku dan Amel alpa, aku semakin tidak memperhatikan dia berbicara. Untuk apa? Toh, anggapannya aku sama saja tidak hadir. "Besok ulangan, Mika. Kamu dengar saya?" Aku terperanjat. Mata Bu Elifa kini menatapku sengit. "Iya, Bu," jawabku apa adanya. "Awas kamu sama Amel kalau sampai salah satu pun." Aku dan Amel. Hanya dua nama itu yang tak dizinkan salah. Dia merapikan beberapa kertas, lalu berjalan keluar kelas sembari memarkerkan tas mahalnya. Dia cantik. Aku akui Bu Elifa memiliki tubuh yang bagus. Tentu saja. Karena Amel tidak masuk sekolah, aku memutuskan untuk diam di dalam kelas. Malas sekali harus berjalan menghampiri Marsya. Biarlah dia akan semakin marah dan mengira aku menyukai Radian. Memang benar, aku menyukainya. Siapa yang tak menyukai malaikat? Kalian mengerti maksudku, kan? Sampai bel masuk berbunyi, aku tetap tidak keluar kelas sama sekali. Suara ribut para pelajar masuk ke dalam kelas terdengar, menempati tempat duduk masing-masing. Kelas selanjutnya adalah, Bahasa Indonesia. Betapa indahnya hidup ini. . . . . AKU menatap miris pada motor putih kesayanganku. Ban belakangnya kempis sangat parah. Dan ini akan sulit jika aku memaksanya tetap berjalan. Tetapi, aku tidak kuat untuk mendorongnya sampai di tempat tambal ban. Dan sialnya, Marsya sudah pulang lebih dulu setelah mengatakan: "Gue marah, ya, sama lo. Gue aduin ke Amel. Awas aja pokoknya." Aku harus membuat petisi untuk hal itu kepada pihak sekolah. "Motornya kenapa?" Aku menoleh. Saat kukira Mas Ilham, ternyata Galang yang berbicara. Dia mengelus punggung tangannya. Terlihat tak nyaman. Apa karena rokku? Aku menatap kagum pada rambut gondrongnya. Terlihat sangat halus dan terawat. Seketika, aku minder dengan keadaan rambutku. "Eh, anu. Ini. Bannya kempis." Aku tersenyum canggung. Galang berbeda dengan Radian. Jika aku dengan senang hati akan memperlihatkan senyum manisku di hadapan Radian, tetapi tidak untuk lelaki yang ada di depanku saat ini. Dia membenarkan kacamata, lalu kembali fokus menatapku. "Bareng ak-gue aja, gimana?" Demi apa pun dia anak pemilik Sekolah! Saat aku menjadi model kelompoknya waktu itu. Kami tidak banyak terlibat dalam percakapan. Dia memang sebagai yang memotret, tetapi tidak banyak berbicara kecuali memintaku untuk senyum, membuka mulut sedikit, ekspresi datar, dan semacamnya. Dan sekarang dia menawariku pulang bereng? "Hei..." ucapnya lirih. "Ah. Ya. Umm," Aku gugup. Sungguh. Demi Tuhan aku masih perawan dalam hal apa pun. Meski aku sering ke club dan bereman denga Amel. Percayalah, kedua sahabatku itu tidak pernah mau mengajariku. Dan aku membencinya saat ini. "Naik mobil?" Tentu saja. Galang tidak mungkin naik bajaj ke sekolah! Dia tersenyum. Meskipun tidak memiliki lesung pipi, tetapi dia cukup tampan. "Iya. Mobilku ada di sana." Dia menunjuk mobil merah yang terpakir di deretan mobil lainnya. Tunggu, mobilku? Ku? Aku?! Aku berdeham untuk menghilangkan rasa gugup. Berhadapan dengan anak pemilik sekolah ternyata tidak baik untuk jantungku. Terlebih aku yakin, dia banyak tahu tentang kejelekanku. "Terus motor gue?" Gue. Oke, harus tetap menggunakan 'gue'. Dia tersenyum simpul. Senyuman yang menyejukkan kepalaku karena cuaca semakin panas. "Nanti ada Mas Igom yang bawa ke bengkel." Aku tidak bertanya lagi siapa Mas Igom. Mungkin sopir, pekerja, atau apa pun itu. Terserah. Ada hal yang lebih penting untuk kupikirkan. Jantungku. Kakiku terus berjalan mengikuti langkah lebar milik Galang. Untuk usia 17 tahun, dia terlalu tinggi menurutku. Lihat saja, aku mungkin hanya sebatas bahunya. Ck! Dia berhenti di samping sebuah mobil. Menoleh ke arahku, lalu tersenyum manis. Membukakan pintu seperti aktor yang sering kulihat di dalam film romantis. "Silakan," ucapnya lirih. Bisakah aku manjadi princess meski hanya hitungan detik? Sebelum aku sampai di rumah. Mobil milik Galang mulai meninggalkan tempat parkir, menuju gate otomatis. Lihatlah, dia bahkan hanya perlu menggunakan sebuah kartu. Apa Radian dan Firman juga melakukan hal yang sama? Sampai kami berada di jalan raya pun, tetap tidak ada yang bersuara. Aku iri karena tidak bis seramah Marsya dan Amel saat baru pertama kenal. Ya, meski Galang tidak bisa dikatakan baru. Karena tetap tidak ada yang berbicara, aku memilih memperhatikan sudut-sudut di dalam mobil ini. Yang menarik perhatianku sejak tadi adalah, kamera DSLR, terletak di atas dashboard. Dia benar-benar menyukai fotografi. Kemudian ada gantungan medium bertuliskan Allah dan Muhammad dalam bahasa Arab. Aku malu melihat tampilanku. "Rumah kam- Umm, rumah lo dimana?" Aku menoleh, dan tersenyum canggung. "Di Bintaro." "Naik motor terus?" Dia terlihat terkejut. Memangnya kenapa? Aku hanya mengangguk. Setelah beberapa detik tidak ada yang berbicara lagi, akhirnya aku mengalah. "Rumah lo?" Dia tersenyum hangat. Selalu begitu sejak tadi. "Di Pondok Indah." "Hah?!" Aku terpekik kaget. "Jauh banget ntar pulangnya. Nggak apa-apa, deh, aku naik ojek atau apa gitu?" Sebenarnya kalau bagiku sendiri itu tidak jauh. Tetapi, kan, kami tidak terlalu saling mengenal. "Kalau ngomong 'aku' gitu makin kelihatan manis." Aku mematung. Jantungku semakin bertingkah menyebalkan. Meledekku habis-habisan. Benarkah aku baru saja mengatakannya? "Coklatnya enak, nggak?" Aku menoleh cepat. Pertanyaannya kali ini jauh lebih mengagetkan. Coklat? Coklat apa? Apa coklat Radian tadi pagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD