dua

1171 Words
SUARA musik menggema di ruangan 'panas' ini, mememikkan telinga. Mataku melihat orang-orang di dance floor sedang melenggokkan tubuh mengikuti irama. Saling menyentuh, menghimpit tubuh pasangan masing-masing. Mereka semua benar. Berada di dalam sini, dengan alkohol dan musik yang menemani, dapat melupakan semua masalah di kepala. Untuk sementara. Karena keesokan harinya, semua tetap sama. Masalah akan datang menyapa kembali. Mungkin jauh lebih berat, atau masalah berbeda. Tetapi setidaknya, aku butuh waktu untuk menenangkan otakku. Tidak sepenuhnya benar memang. Karena aku makin pusing melihat Amel dengan wajah memerah semakin keras mengoyangkan tubuhnya. Sebentar lagi dia pasti akan mabuk. Dan pacarnya itu, selalu menyusahkan dengan memintaku untuk mengantar Amel pulang. Oh, bukan. Ke kosan milik Amel. Tempat kami biasa menghabiskan malam bersama. Aku tidak mengerti dengan kehidupan Amel dan keluarga. Bagaimana bisa orang tua membiarkan anak memiliki kamar kos dan tidak pulang beberapa hari. Aku tersenyum miris. Tak ada bedanya dengan diriku. Mengingat 'percakapan' semalam dengan Mama, sama sekali tak yakin kalau aku memiliki kehidupan lebih baik dari temanku itu. Mama menolak pergi karena tidak ingin melihat aku sedih. Katanya. Padahal, ada atau pun tidak ada dia, aku tetap akan sedih. Jika bisa, justru aku berharap mereka tidak pernah ada. Agar aku juga tak tercipta. Tetapi, Tuhan selalu senang mempermainkanku. Marsya menghampiri dengan cengiran khasnya. "Nggak dansa lo?" Aku menggeleng. Tanpa balas tersenyum. "Jangan ikutan mabuk juga lo. Ntar susah nuntun Amelnya." Amel sungguh kacau saat sedang mabuk. Meski di bantu Romi, kami tetap kewalahan karena tubuhnya selalu berontak dan mengoceh tak jelas. "Ah si curut anjrit!" Marsya mengumpat. "Dia yang mabuk, semua kena." Aku hanya pura-pura tidak mendengarnya. "Yaudah. Gue ke sana lagi, ya?" Dia menunjuk gerombolan orang yang sedang bergoyang. Aku hanya mengangguk. "Jangan ngelamun lo, semua pasti selesai pada waktunya." Cengiran tersungging di bibir merah pelacurnya itu. Aku berdecak. Menyuruhnya pergi dengan gerakkan tangan di udara. Ya. Semua pasti akan selesai pada waktunya. Saat Tuhan sudah bosan melihatku. Aku terperanjat kaget, saat seseorang menepuk pundak sebelah kanan. Menolehkan kapala, mataku mendapati sosok lelaki yang memiliki senyuman hangat. Dia Radian. Teman seangkatan, hanya berbeda kelas. Aku pernah terlibat satu projek dengannya dan teman grupnya yang lain. "Kok nggak ikutan dansa?" Aku tersenyum simpul seraya menggelengkan kepala pelan. "Lagi males aja. Lo sendirian? Temen-temen lo yang lain?" Aku menyukai mata teduh miliknya. Dia memiliki selera humor yang baik. Dan dewasa pada momen tertentu. Dia menunjuk ke arah jarum jam 2, ada dua lelaki yang sedang tertawa hebat dan terkadang saling menoyor. Aku melihat Firman, dia memukul pundak Galang. Yang dipukul hanya tertawa tanpa membalas. Aku mengenal mereka sebagai anak Fotografi di sekolah, dan aku pernah menjadi model mereka. Tentu saja karena tubuhku. Aku adalah seorang Barbie. Cantik tapi kopong. Ada yang menarik dari ekstrakulikuler yang mereka dirikan, yaitu tak terlalu diminati oleh pelajar lain. Semua itukarena pendirinya tak mengizinkan. Galang Pangarep. Itu ketentuan mutlak. Sebagai anak pemilik sekolah memang selalu menggunakan kuasanya untuk melakukan sesuatu. Terkadang. Karena dia yang kutahu adalah sosok yang sangat baik kepada semua orang. Jika tidak mengusik hidupnya. Dia tidak memilik Ayah. Tapi tidak semenderita diriku. Begitu yang kulihat. "Sejak kapan, Mika?" Aku kembali tersadar dari bayangan kehidupan orang lain. Otakku memang selalu membandingkan apa saja yang kulihat. Tanpa malu. "Apanya?" Aku menatap Radian bingung. Dia mengangkat kedua tangan dan memandang ke seluruh penjuru ruangan. Aku hanya tersenyum lalu menunduk menatap kakiku yang mengambang. Kursi di dekat bartender memang lumayan tinggi. "Kenapa?" tanyanya bingung saat aku tak juga menjawab pertanyaannya dan justru memandangnya dalam diam. Aku memberi jeda beberapa detik sebelum benar-benar menjawab. "Lo pernah nggak, ngerasa kalau hidup lo itu mentok dihadang tembok gede?" Dia semakin mengernyitkan dahinya. Membuatku tertawa kecil. "Dan lo nggak kuat buat manjat tembok itu. Akhirnya, lo memilih untuk putar balik dan berlari ke arah manapun untuk menghindari tembok itu." Oke, aku sudah mulai melantur tanpa alkohol. Aku menatap bingung saat mendapati Radian tertawa kecil mendengar analogiku. "Analogi lo kacau." Kan. Aku mendengus, membuang pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Namun jawabannya membuat terpaku dan melongo b**o. "Arah itu kita sendiri kan yang pilih?" Dia tersenyum sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya. "Kenapa lo nggak pilih arah lain yang membawa lo ke cahaya terang, atau paling nggak lo nyari tali buat manjat tembok itu?" "Nggak semudah itu, Yan." "I know. Tapi lo harus percaya kalau ada seseorang yang mati-matian nahan sakit setiap lihat lo begini, di tempat ini." Aku baru akan menanggapi ucapannya saat Romi menghampiri dengan merangkul pundak Amel yang sudah mabuk berat. Berapa banyak dia minum? "Temen lo udah teler. Gue kesana dulu, ya?" Radian mengelus pundakku pelan, lalu berjalan meninggalkanku. Aku berdecak. "Ah si cabe empang, emang! Nyusahin mulu lo kalau lagi mabuk." Aku membantu Romi dan merangkul tangan kiri Amel. "Berapa banyak sih, dia minum, Rom? Lo lagian gimana sih, ah." "Kayak nggak tahu Amel aja kalau lagi minum," balasnya tanpa dosa. Aku menatapnya garang, "Ya lo kan pacarnya. Masa nggak bisa nahan?" Aku benar, kan? Demi Tuhan, dia pacarnya. "Gue pacarnya, Mika, bukan penjaga keamanan!" Dia bersungut-sungut sembari terus mencari celah dari kerumunan orang. Aku tidak lagi mendebatnya. Memilih mencoba menahan gerakkan Amel dan menghindari bau alkohol dari mulutnya yang sedang mengoceh. Setelah susah payah dan akhirnya sampai di mobil, Romi segera mendudukkan Amel di kursi belakang. Dia ikut duduk di sampingnya. Aku masuk ke kursi depan, sebagi sopir jika sejoli ini sudah dalam keadaan seperti itu. Untung saja, Romi masih sadar. Sebelum menjalankan mobil, aku mengirimi pesan lewat w******p untuk Marsya. Dia bisa mengamuk jika tidak kuberi kabar. Mika: Gue balik dulu. Jangan sampai mabuk. Kalau udah puas sama terongan lo itu cepet pulang. Marsya: ya Allah mulutnya Mikaaaaa. Oke, Babe. Hati-hati yaa.. Mika: Najis Marsya: Aku tertawa kecil lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Melirik ke belakang, dan seketika aku menyesal. Mereka sedang berciuman dengan sangat menjijikkan. Karena aku ingin. "Tadi pacar lo, Mik?" Mereka sudah selesai dengan aktivitasnya. Aku berdeham sebelumnya. "Siapa?" Dia berdecak. "Tadi. Cowok yang sama lo?" "Oh Radian. Bukan, itu temen gue. Temen Amel juga." Aku tidak berbohong. Kami saling mengenal dan kurasa Radian temanku. Entahlah, aku terlalu pusing dan lemah hingga harus menceritakan kisahku kepadanya. Meski hanya sebuah analogi bodoh. "Tapi tadi ada cowok yang ngeliatin lo terus waktu lo ngobrol bareng si Radian itu." Aku diam sebentar. "Siapa?" "Gue nggak kenal." Aku tak menjawab lagi ucapannya. Lebih fokus pada jalanan di depanku. Untuk urusan mengendari mobil, aku bisa dibanggakan. "Aku... sayaaaang banget sama kamu. Romi juga, kan?" Amel mulai mengoceh tak jelas. "Nanti kalau Bunda marahin kamu.. Kamu.. Kamu jangan pergi dari akuuu." Aku hanya diam tidak menanggapi. Kulirik dari kaca, Romi sedang mengelus kepala Amel sayang. "Iyaaa. Aku tahu. Aku juga sayang banget sama kamu. Sekarang tidur, yaa?" Lalu mengecup kening Amel. Aku membuang muka. Tuhan tidak pernah ingin melihatku merasakan kehangatan. Baik dari keluarga mau pun dari seorang lelaki. Aku ingin sosok seperti Romi. Bisa menghibur dan juga menyayangi. Aku ingin. Mataku terkejap mendengar bunyi notifikasi dari ponsel. Mengambilnya perlahan, dahiku mengerut bingung. +6281201091997: Hati-hati pulangnya. Jangan sering ngelamun. Apalagi di tempat yang banyak setannya. ;) good night. G. Siapa dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD