3. Soal Reuni

1019 Words
Giko tidak berhasil mengajak Arin makan siang bersama. Aku yakin wanita itu jengah mendengar rayuan gombal yang dikeluarkan lelaki playboy itu. "Hanya soal waktu. Biasa, cewek mah gitu. Suka tarik ulur, jinak-jinak merpati. Ntar kalau gue jauhin baru deh nyesel. Ngarep dideketin lagi." Giko mengibaskan tangan. "Gue udah sering nemuin cewek yang begitu." Aku melirik Danar yang hanya bisa menggeleng mendengar komentar Giko soal Arin. "Ya, siapa sih cewek yang mau dideketin kalau ujung-ujungnya cuma buat main-main doang? gue juga ogah." Aku meraih gelasku yang masih penuh. "Dari mana mereka tahu kalau kami laki-laki deketin cuma buat main-main doang? Kalian aja yang sudah berburuk sangka duluan." Aku berdecak. "Cewek juga tahu kali mana cowok yang beneran serius dan cowok yang hanya main-main doang kayak lo. Cukup lihat aja track record lo yang buruk, mereka tahu kalau lo itu nggak pernah serius untuk urusan asmara." Aku bersumpah akan menyiram air minum ini ke mukanya kalau dia berani membantah. "Terserah lo, deh, Win. Kalian mahluk dunia yang terlalu banyak pertimbangan. Bahkan untuk satu buah baju yang mau dibeli saja harus keliling mal berjam-jam dulu. Eh, ujung-ujungnya balik ke pilihan pertama juga." Giko menyadarkan punggung ke kursi. "Kalau nggak gitu, kami perempuan nggak akan pernah tahu mana yang terbaik untuk kami pilih. Memiliki sikap selektif itu wajib buat kami, agar nggak sampai kejadian salah pilih." Aku menyeruput minumanku. Setelahnya menatap Danar. "Yang gue bilang bener, 'kan, Dan?" Danar yang seperti biasa hanya mendengar perdebatan kami nampak tercenung. "Benar, sih, meskipun nggak sepenuhnya." "Kok gitu?" "Nyatanya kasus cerai malah menjamur. Dalam proses memilih itu kan kita cuma bisa melihat tampak luarnya saja. Seselektif apa pun kita, nanti bakal nemu cacat yang akhirnya bisa menjadi cikal bakal munculnya konflik," ungkap Danar seolah dia pakar dalam hal ini. Pacaran saja belum pernah. "Gaes, udah, ya, kita tutup kasus ini. Sekarang kita bahas reuni. Kalian mau pada datang nggak?" tanya Giko mengalihkan pembicaraan. "Gue ngikut kalian aja," jawab Danar. "Gue ...." Mendadak aku ragu membuat keputusan. "Gue nggak punya sesuatu yang bisa gue banggain. Gue nggak usah ikut aja, deh." Dua pasang mata dengan sinar yang berbeda menatapku seketika. Hmm, reaksi mereka terlalu berlebihan. Memang ucapanku ada yang salah? "Sejak kapan lo jadi insecure gini?" tanya Giko melongo. "Sejak gue dapat email dari panitia reuni," Aku mengerang sebal. "Astaga, jangan terlalu diambil pusing, Win." Aku mendesah. Menolak pura-pura tidak tahu kalau reuni itu ajang kuat-kuatan mental. "Jadi, apa yang harus gue jawab kalau salah seorang dari mereka bertanya soal pencapaian gue selama ini?" tanyaku tak semangat. Giko menyeringai. Tidak, aku tidak akan membiarkan dia mengeluarkan koleksi kata-katanya yang absurd. "Sudahlah, lupakan. Urusan datang enggaknya, kita lihat ntar aja." Aku buru-buru mengakhiri kegiatanku, dan tidak membiarkan Giko berkomentar lagi. "Gue duluan, ya, Arin udah nunggu gue." "Loh, Win. Kok jadi buru-buru gini?" protes Giko. "Gue lupa mau bantuin Arin sesuatu." Aku melihat ke Danar. "Tolong. Bayarin makan gue dulu, ya, Dan. Gue cabut." Aku sudah tidak peduli lagi mereka berdiskusi apa. Mungkin saol wanita yang akan mereka bawa nanti saat reunian. Aku mendesah duduk di kursi. Menyalakan kembali laptop dan membuka akun **. Lagi-lagi kegiatan stalking. Giko pasti akan mengolokku habis-habiskan kalau tahu kegiatanku yang satu ini. Ternyata aku lebih mengenaskan dari Danar. Lelaki itu masih punya kesempatan untuk bisa meraih cinta masa lalunya. Lah aku? Laki-laki yang sangat aku sukai bahkan nggak pernah sadar kalau aku menyukainya dulu itu. Yudhistira Pratama atau biasa disebut Tama. Laki-laki yang berhasil mencuri perhatianku sejak aku mengenal manisnya rasa merah jambu. Namun, rasa itu hanya bisa kupendam dalam hati. Bahkan sampai saat ini. Aku membawanya ke mana pun aku pergi. Miris. Mungkin karena ini juga aku selalu gagal menjalin sebuah hubungan. Ya, aku pernah berpacaran dua kali sebelumnya. Pertama saat semester pertengahan kuliah. Aku pernah berpacaran dengan anak dari fakultas hukum. Namun, tidak bertahan lama. Hanya sekitar empat bulan aku sudah tidak menemukan ketidakcocokan. Kedua sekaligus yang terakhir adalah tiga tahun lalu. Hubunganku kandas karena dia ketahuan selingkuh di belakangku. Bukan aku sih yang melihatnya berselingkuh, tetapi si Giko. Dan, dia pun berakhir bonyok di tangan Giko. Jadi, selama tiga tahun ini aku betah menjomlo. Sebenarnya nggak betah, hanya saja aku masih saja belum menemukan orang yang tepat. Apa lagi tujuanku sekarang bukan sekadar mencari pacar. Aku ingin ketika menjalin sebuah hubungan, maka itu adalah hubungan yang serius. Umurku sudah bukan waktunya lagi bermain-main. Masa keemasannya sebentar lagi hilang. Tubuhku menegak ketika melihat unggahan baru dari akun ** Tama. Dia mengunggah kegiatannya yang sedang memimpin sebuah rapat di kantornya. Foto yang diambil secara candid. Tama terlihat gagah dengan kemeja slimfit berwarna biru muda sebuah dasi berwarna navy bergaris diagonal menggantung di kerah kemejanya. Ya Tuhan, kenapa mahluk setampan Tama bukan jodohku sih? padahal jujur dulu itu, Tama pernah ada dalam doaku. Tapi, garis hidup berkata lain. Aku mendadak berhenti mendoakan Tama ketika tahu dia jadian dengan Sintia, teman sekelas lelaki itu. Gadis itu pula yang menjadi istri Tama sekarang. Gimana aku nggak iri coba? Itu membuktikan bahwa Tama itu adalah seorang lelaki setia. "Woy! Bengong aja!" Suara Arin mengagetkanku. Aku belum sempat menggulir layar laptop ketika dia datang. Jadi foto Tama yang sedang memimpin rapat bisa dilihat oleh wanita itu. "Wah! Siapa itu? Ganteng banget. Gebetan lo ya, Win?" tanya Arin duduk di kursinya yang berada tepat di sebelahku. "Bukan lah. Itu cuma akun yang kebetulan lewat di beranda gue." perasaanku kepada Tama tidak ada yang tahu, bahkan Danar dan Giko sekali pun. "Masa sih?" Arin melempar tatapan menggoda. "Ya iyalah. Eh, kenapa tadi lo nggak makan bareng kita sih?" tanyaku mengalihkan topik. Aku nggak mau Arin mengorek-ngorek keadaan hatiku yang mendadak pilu kalau mengingat Tama. "Nggak, ah. Pak Giko reseh." Arin bergidik. Aku terkekeh. "Yakin nih nggak mau nyobain sama dia? kali aja cocok." Arin mendengus. "Nggak selera. Meskipun tampangnya lebih charming dari Pak Danar. Gue bakal terima dengan tangan terbuka seandainya yang lo tawarin itu Pak Danar." Dia merentangkan tangan lebar dan tersenyum. Danar. Dia memang tampan. Aku menjadi saksi perubahannya tahun demi tahun. Saat masih kuliah juga lumayan banyak cewek yang deketin dia. Cuma dia bukan seorang playing. Jadi, ya cewek-cewek itu hanya dianggap angin lalu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD