Part 2

1278 Words
“Assalaamu’alaikum, Ning Husna!” seru beberapa santri putri yang baru saja menyetorkan hafalannya pada Husna seraya mencium tangannya takzim. Husna membalas salam mereka seraya menampilkan senyumannya—meskipun mereka tidak akan melihatnya karena tertutup niqab. Setelah semua selesai, Husna kembali pulang ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanan, dia sedikit melamun, masih memikirkan apa yang dia inginkan, lebih tepatnya cara agar sang ayah mengizinkannya untuk berkuliah di Paris. Pluk! Langkah Husna terhenti saat sesuatu baru saja jatuh ke atas kepalanya. Tangannya segera mengambil, tetapi di detik selanjutnya, dia langsung membuangnya sambil menjerit kencang. “Astaghfirullah! Iiiiy ....” Tubuhnya bergidik mengingat rasa dingin juga kenyal dari sesuatu yang dia pegang itu, yang tak lain adalah seekor cicak. Tak lama, Fajar datang dan mengambil cicak yang dibuang Husna, lalu mengulurkannya pada gadis itu. Tentu saja, seketika Husna kembali menjerit sambil meminta ponakannya untuk segera membuangnya. “Ini cicak bohongan, Tante. Dek Tsabit sama Om Fahmi yang menaruhnya di kepala Tante, tadi.” “Hahaha!” Jeritan Husna seketika terhenti bersamaan dengan suara tawa seseorang yang sangat dikenalinya. Dia berbalik dan menatap seorang pria jangkung yang tengah memangku anak kecil—yang sampai saat ini masih tertawa- dengan pandangan penuh kesal. Siapa lagi kalau bukan kakak terrr ... nyebelinnya—Fahmi, apalagi sekarang dia punya sekutu yaitu Tsabit—putra pria itu- yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Husna melotot ke arah Fahmi. “Mas! Gak lucu, tahu, gak?!” hardiknya bahkan nada suaranya naik satu oktaf. “Tangan mayah-mayah! Enti tepat tua,” celetuk Tsabit mengomentari sikap tantenya yang baru saja berteriak sambil melotot ke arahnya, atau ayahnya. “Tuh, dengarkan! Jangan marah-marah! Nanti cepat tua—kata bang Tsabit juga.” Fahmi mengangkat sebelah tangannya dan diulurkan pada putranya. “Tos dulu, Bang!” Dengan riang, Tsabit bertepuk tangan, lalu bertos ria dengan sang ayah, bahkan balita itu sambil berteriak senang. Melihat tingkah laku ponakannya yang satu ini, Husna selalu merasa gemas bukan main. Dengan sekali tarikan, balita yang belum genap dua tahun itu sudah berpindah tangan padanya. Husna terus menciumi wajah yang sangat mendominasi kakak tengilnya. Bahkan, bukan hanya wajah, sikap dan kelakuannya juga sepertinya akan sama. Sama-sama selalu membuat orang lain naik tensi. Tsabit yang mendapatkan serangan dari tantenya, terus menjerit memanggil-manggil ayahnya. Namun, Husna seolah tidak peduli dan meneruskan aksinya, hingga suara balita itu menjadi serak dan sebentar lagi akan menangis. “Ning, sudah! Napas Tsabit sudah tidak teratur.” Husna seketika menghentikan aksinya, kepalanya menoleh dan mendapati kakak iparnya yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya. “Mbak Zizi!” seru Husna seraya menghampiri Zia, setelah melepaskan ponakannya. Dia langsung memeluk wanita itu dengan erat. “Bubu! Bubu!” Tsabit yang melihat ibunya tengah dipeluk tantenya, kembali menjerit dan memanggil ibunya berulang kali. Tentu saja Husna semakin mengeratkan pelukannya dengan sengaja. “Enak saja! Ibunya Abang, milik Tante Una, wleee!” Akhirnya, Tsabit benar-benar menangis, dan Husna baru melepaskan pelukannya pada Zia. Fahmi langsung membawa sang putra pada gendongannya, dan mencoba menenangkan pria kecil itu. Matanya menatap Husna dengan pandangan kesal. “Kejam banget kamu, Dek! Bikin anak kecil yang tidak punya dosa sampai menangis seperti ini.” Husna mengendikkan bahunya. “Siapa suruh ngerjain Una juga. Kecil-kecil sudah pandai jahilin orang.” “Ning Una benar,” timpal Zia membela adik iparnya. “Mas juga, jangan ngajarin Tsabit yang enggak-enggak, dong! Masa kecil-kecil sudah nyebelin.” Fahmi seketika kicep diserang dadakan oleh istrinya sendiri, tetapi bibirnya seketika menyungging dengan mata mengerling penuh goda. “Yang nyebelin, selalu ngangenin, Bu,” ucapnya seraya mengedipkan mata. Husna mendengus geli, dan kepalanya langsung menoleh ke arah Fajar yang sedari tadi berdiri tanpa bicara. Seakan teringat akan sesuatu, Husna mendekati Fajar dan berucap, “Eh, kalian sejak kapan tiba?” “Baru saja, Tante.” Husna mengelus pipi Fajar. “Kamu dengan siapa ke sini, Gus? Kak Baby ikut tidak?” Fajar mengangguk. “Kami bersama dengan Om Fahmi dan keluarganya. Tante Hilya masih di belakang.” Husna mengangguk mengerti. “Ayok, jalan sama Tante aja, Gus! Ayah Gus pasti senang mengetahui Gus datang ke sini bersama kak Baby.” Fajar tertawa kecil. “Ayah sudah tahu kami akan datang, Tante. Sebelum ke sini, Tante Hilya sudah mengabarinya.” “Waaah, ternyata mereka ada kemajuan, ya?” “Hihi, tapi ayah tetap jalan di tempat.” “Kalau begitu, kita harus membantunya agar mereka cepat bersatu.” Fajar mengangguk sambil memamerkan senyuman penuh semangatnya. “Iya! Tante benar. Kita yang harus bergerak untuk membantu ayah agar cepat bersama dengan Tante Hilya.” Husna mengangguk dengan semangat, ikut tertawa dengan rencana mereka untuk menyatukan kakak tertuanya dengan kakak sepupunya. Dengan bergandengan tangan, mereka berdua melangkah menuju rumah orang tua Husna. Bersyukur, kedatangan mereka bisa mengalihkan kegalauan Husna tentang keinginan yang sampai sekarang belum mendapatkan izin itu. .... Namun, ternyata pengalihan itu hanya sementara, yaitu di saat dia berada di tengah-tengah keluarga saja, sedang saat dirinya sendirian, rasa gundah itu kembali datang. “Hei!” “Astagfirullah!” Husna menoleh dan seketika mendengus. “Wa’alikumussalam,” sindirnya sambil kembali memalingkan mukanya dari wajah sang kakak yang terlihat sangat ingin digerus itu. Mendengar sindiran adiknya, Fahmi terkekeh. “Kenapa melamun?” tanyanya sambil duduk di samping Husna, menatap gadis itu dengan penuh selidik. “Kepingin nikah, ya?” Husna diam saja, tidak berniat meladeni kakaknya, hanya matanya yang mendelik tajam ke arah pria itu. “Oke, oke! Sekarang Mas serius. Kamu kenapa, Dek?” Mendengar keseriusan dalam nada bicara kakaknya, Husna menoleh dan menatap sang kakak beberapa detik, tetapi di detik selanjutnya dia malah mengembuskan napasnya. “Una tidak yakin Mas bisa membantu.” “Ya Kariim, kamu meremehkan Masmu ini ternyata!” seru Fahmi tidak percaya. “Ya sudah, selamat bergalau ria, Husna—adeknya Mas yang juteknya minta ampun ....” Dengan spontan, Husna berdecak dan kembali mendelik, tidak terima dirinya disebut jutek. Ya, ... walaupun sebenarnya bukan hanya Fahmi yang bilang seperti itu terhadapnya. Bahkan di sekolahnya, terlebih teman-teman prianya, selalu menyebutnya sombong dan judes, karena dia yang tidak bisa beramah-tamah dengan mereka. Bagaimanapun juga ayah juga ketiga kakak—empat bila ditambah Rifan(kakak sepupunya)- selalu mengingatkan tentang dia yang harus memilah pergaulan. Makanya, dia paling tidak bisa berbaur dengan teman laki-laki di sekolahnya, bahkan terkesan selalu menghindar. Fahmi mengendikkan bahunya, lalu beranjak dari sana, mulai berjalan ke dalam rumah. “Mas, tunggu!” Ujung bibir Fahmi menyungging sebelah, dia kembali berbalik dan menatap sang adik dengan sebelah alisnya yang terangkat, seolah menunggu gadis itu meneruskan ucapannya. Husna menatap kakaknya, dan berkata, “Tapi, Mas harus janji buat bantu aku!” pintanya setengah memaksa. Mungkin karena dasarnya Husna seorang anak bungsu, sekaligus anak perempuan satu-satunya, sikapnya memang sedikit manja dan keras kepala—terhadap keluarganya. Fahmi kembali duduk di samping adiknya. “Mas belum bisa memastikan karena Mas tidak tahu apa yang harus Mas bantu. Bisa saja ‘kan, kamu minta Mas buat maling rambutan Mbah Saleh ..., ah, iya—iya! Maaf, Mas becanda agar kamu gak tegang-tegang amat, Dek!” ucapnya sambil terkekeh. Husna membuang napasnya kasar. Merasa ragu untuk meminta bantuan kakaknya yang satu ini, karena pria itu sama sekali tidak bisa bersikap serius. Sudah dikatakan tadi, bukan? Husna adalah perempuan jutek dan judes, tidak suka dibecandain, apalagi di waktu hatinya sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang. “Ayo, Dek, cerita! Sekarang Mas benar-benar serius.” Hufff! Akhirnya Husna menceritakan semuanya, tentang keinginannya juga keputusan sang ayah yang tidak bisa diganggu gugat. “Jadi ... Mas bisa membantu Una untuk membujuk abi, ‘kan?” Bukannya menjawab, Fahmi malah menggaruk tengkuk dan belakang kepalanya yang mendadak panuan juga ketombean. “Dek! Sepertinya Mas juga setuju dengan pendapat abi.” Tuuuh 'kan ...!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD