Part 3

1748 Words
“E—eh, kenapa malah pergi?” Fahmi segera menarik tangan Husna. “Gak sopan, kamu, Dek! Mas ‘kan belum selesai bicaranya.” Husna semakin cemberut. “Habisnya sih, Una sudah capek-capek cerita, kirain Mas benaran mau bantu, tak tahunya, lagaknya saja.” “Astaghfirullah ...! Adek ...! Mas ‘kan belum selesai bicaranya.” “Una sudah tahu, pasti Mas mau main-main saja sama Una.” “Allahu Kariim, Ya Ghappar! Kenapa pikiran kamu dari dulu selalu ... saja jelek pada Mas? Kamu punya dendam sama Mas?” Fahmi menatap adiknya lekat. Perasaan dia tidak punya salah sama adik perempuan satu-satunya ini, tetapi entah kenapa gadis itu selalu bersikap jutek padanya. “Una tidak dendam. Mas ‘kan memang suka jahilin orang. Gak ingat saat Una kecil, Mas selalu jahatin Una?” Mendengar penuturan Husna, Fahmi sontak tertawa. Jadi adiknya masih ingat masa-masa kecil mereka? “Itu ‘kan dulu, Dek. Sekarang Mas benar-benar sudah saleh.” Husna mendengus. “Masih tak percaya, Una.” Fahmi mengembuskan napasnya. Ternyata, dendam saat kecil lebih mengerikan dari pada belatung dalam buah petai. (Fahmi phobia semua jenis ulat seperti ibunya—tapi dia paling suka bekerja di kebun atau sawah). “Sudahlah! Sekarang Mas mau tanya sama kamu.” “Tanya apa?” ucap Husna ketus. “Kenapa harus Paris? Bukankah di Indonesia juga banyak tuh universitas yang tak kalah bagus dan berkualitas? Atau jika kamu bersedia, kamu kuliah di Jakarta saja, tinggal di rumah Mas. Itu lebih masuk akal dan Mas bisa bantu mintakan izin sama abi dan umi, nanti.” “Kalau masih di Jakarta, sama aja! Una maunya di kota Paris.” “Memangnya ada apa di kota Paris?” “Ya mau aja di sana. Una berpikir jika di sana, Una pasti banyak inspirasi, lebih dekat dengan para designer favorit Una. Seperti; Yves Saint Laurent, Coco Chanel, dan masih banyak lagi.” “Dek, di Indonesia juga para designer-nya tak kalah hebat seperti mereka yang kamu sebutkan. Malah banyak wanita muslimah yang masuk jajaran designer profesional yang tak kalah berpengaruh, seperti; Dian Pelangi, Qonita Gholib, Jenahara Nasution dan masih banyak lagi. Dan mereka semua lulusan universitas In—do—ne—sia!” “Tahu, ah! Mas memang gak akan pernah ngerti.” Husna kembali untuk bersiap pergi, tetapi lagi-lagi dicekal oleh kakaknya. “Kamu benar-benar kukuh, Dek?” “Ck, Memangnya sedari tadi Una seperti sedang becanda, gitu?” Fahmi menghela napasnya. “Kalau begitu ada satu orang yang mungkin bisa bernegosiasi sama abi.” “Siapa?” tanya Husna bersemangat. “Mas Fatah.” Mendengar jawaban Fahmi, Husna seketika menurunkan bahunya. “Itu sama saja Una mencari mati, Mas. Lebih baik Mas Fatah gak tahu, daripada Una dinasehati sama dia. Aku lebih berani berhadapan sama abi, daripada Mas Fatah.” Fahmi terkekeh. Sepertinya hanya dirinya yang tidak takut sama kakak tertua mereka. Baik Malik, ataupun Husna, di mata kedua adiknya, Ihsan sosok kakak yang paling mereka segani. Mungkin karena sikap pria itu yang selalu dingin, kaku, dan sangat i...rit bicara. “Tentu bukan kamu yang langsung bicara padanya.” “Siapa? Mas?” “Tentu bukan. Tapi ... Sini, Mas bisikin!” Bukannya menurut, Husna malah menatap kakaknya penuh curiga. Sejak kecil dia sering ditipu oleh pria di hadapannya ini, ngakunya mau bisikin sesuatu yang lucu, pas dia menyodorkan telinganya, ternyata kakaknya malah berteriak sekencang mungkin dan menyebabkan telinganya berdengung lama sekali, bahkan pernah sampai kepalanya pusing sakit pengangnya. “Dek, cepat sini! Mau tahu tidak?” “Kenapa harus bisik-bisik, sih? Mas bilang aja langsung!” “Ck, ini ‘kan rahasia. Cepat!” Meskipun masih curiga, Husna tetap mendekatkan telinganya. Fahmi benar-benar menyebutkan sesuatu sambil berbisik, dan seketika mata Husna berbinar cerah. “Ah, iya! Kenapa Una tidak kepikiran sampai ke sana?” “Gimana? Ide Mas brilian, ‘kan?” Husna tersenyum pada kakaknya. “Iya. Untuk yang ini, Una percaya Mas masih punya akal sehat, selain akal bulus.” Setelah berkata seperti itu, dia buru-buru beranjak dan mengambil langkah seribu. “Astaghfirullah, Adek!” tegur Fahmi memelototi kepergian adiknya. Embusan napas terdengar dari bibir juga hidungnya, kepalanya menggeleng, masih tidak percaya, jika adik bungsunya itu masih memiliki uneg-uneg padanya. ....... Sudah hampir setengah jam, Husna duduk dengan gelisah. Di sampingnya ada kakak sepupunya (Hilya) yang terus memegang tangannya untuk menenangkan. Sedang di depan, kakak tertuanya (Ihsan) masih asik dengan laptop dan beberapa berkas di tangannya—padahal pria itu masih belum sembuh dan membutuhkan istirahat, tetapi dasarnya saja manusia gila kerja, dia tidak terpengaruh dengan luka yang belum kering sepenuhnya. “Kak!” Hilya memanggil Ihsan yang sedari hanya fokus pada pekerjaannya, seolah tidak peduli dengan kedatangan mereka berdua. Mendengar panggilan yang bersifat teguran dari Hilya, akhirnya Ihsan menyimpan laptop dan berkasnya, mengembuskan napas, lalu menatap Hilya juga adik bungsunya. “Memangnya kamu tidak mengerti dengan alasan abi tidak mengizinkanmu, Dek?” Husna buru-buru menunduk. Dia benar-benar tidak berani berhadapan dengan kakaknya yang satu ini. Selain irit bicara, raut wajahnya juga kaku dan datar. Sepertinya usaha kali ini juga akan gagal. Kemarin, setelah berbicara dengan kakak keduanya (Fahmi), dia langsung menemui Hilya dan meminta bantuan perempuan itu atas saran Fahmi. Pria itu memberikan saran untuk meminta bantuan kakak tertuanya dengan pelantara Hilya. Karena pria duda anak satu itu (Ihsan), biasanya tidak akan menolak apapun yang dikatakan Hilya. Sebenarnya, Hilya ragu untuk membantunya, tetapi karena Husna terus merengek—disertai wajah memelasnya, akhirnya Hilya bersedia untuk berbicara dengan Ihsan. Namun, .... Tetap saja! Ihsan memang tidak berkata ‘tidak!’ tetapi saat pria itu malah bertanya balik padanya, tentu semua tahu, selain tidak setuju, kakak tertuanya ini bahkan sedikit memprotes kelakuannya yang keras kepala. “Kak!” tegur Hilya atas perlakuan Ihsan pada adiknya, yang dibalas dengan embusan napas—lagi- oleh pria itu. Lihatlah! Jika berhadapan dengan kakak sepupunya ini, pasti kakak dudanya ini tidak bisa berkutik. “Maaf! Mas tidak setuju, bahkan jika abi mengizinkanmu.” “Kak!” “Tidak! Maaf!” Setelah mengucapkan dua patah kata dan tak lupa dengan tanda serunya itu, Ihsan kembali fokus pada pekerjaannya, dan mengabaikan mereka berdua. ...... Hilya menatap kasihan pada Husna yang terlihat terus murung, apalagi setelah menerima penolakan dari Ihsan. Dia juga tidak bisa membantu selain ikut menasehatinya. “Sudahlah, Na! Universitas di sini juga tak kalah bagus dan hebat, kok.” Husna cemberut di balik niqabnya. “Iya, Una tahu. Tapi, Una juga pingin seperti Kak Baby sama umi yang punya pengalaman kuliah di luar negeri. Paris adalah impian Una saat menyukai dunia designer.” “Ya, harus bagaimana lagi? Lagian, dulu Kakak memang ada Kak Juara yang jagain di sana? Sedangkan kamu ...?” “Dulu juga umi tidak ada yang mendampingi ....” Tak! “Awww!” Husna seketika menoleh ke samping seraya memegang jidatnya yang kena jitakan seseorang, matanya langsung memancarkan sinar laser saat tahu Fahmi yang menjadi pelakunya. “Itu beda cerita! Dulu umi belum tahu jika bepergian tanpa mahram/muhrim itu hukumnya gimana? Sedangkan kamu? Sedari orok sudah abi bekali bismillah dan ilmu agama. Gak malu kamu?” Husna mendengus sambil memalingkan wajahnya. “Sudahlah! Dari pada galau, mending kita main petak umpet!” “Dasar! Masa kecil kurang bahagia,” ejek Husna. “Daripada galau gak jelas! Lagian di sini ada Gus Fajar, ya ... itung-itung mengenalkan pada Gus Fajar tentang permainan tahun 90-an. Gimana, Gus?” Fajar mengangguk semangat. “Fajar mau ajak ayah ikutan juga.” Pria kecil itu langsung pergi ke dalam rumah. “Ayo, sekarang kita hompimpah!” ajak Fahmi pada Husna dan Hilya. “Kamu ini apa-apaan sih, Fiq?” “Iya, nih. Sudah bapak-bapak, juga,” timpal Husna sewot. “Ye ...! Pokoknya ikutan dulu!” Fahmi menatap Husna serius. “Dek, sebenarnya Mas sudah punya solusi untuk masalahmu ini. Mau Mas beritahu?” Husna menatap Fahmi ragu, juga penasaran. “Ya sudah, kalau gak percaya.” “Apa, Mas?” “Syaratnya, ikutan dulu main.” “Huh, modus!” ketus Husna sebal. “Ye ...! Justru, Mas sengaja ajak kamu bermain, agar jantung dan hati kamu terlepas dan tidak terkunci di masalah yang sama. Ya sudah kalau gak ....” “Iya! Iya! Cepetan kalau begitu!” “Ck-ck, Dek ...! Dek! Masa gadis bercadar sikapnya barbar?” “Habisnya ..., setiap lihat wajah Mas Syafiq bawaannya hipertensi mulu.” “Astaghfirullah!” Hilya tertawa melihat perdebatan antara kakak beradik ini. “Ini, sebenarnya jadi enggak, mainnya?” “Jadi, dong! Dek, kamu yang pertama jaga!” “Ih, apaan gitu? Gak bisa! Ayo hompimpah!” “Kamu aja! Ingat Mas punya solusi!” “Sudahlah, Fiq! Ayo hompimpah!” Mereka bertiga hompimpah, dan Husna yang berakhir menjadi penjaga, membuat Fahmi tak sabar ingin menggoda adiknya, dan Husna semakin kesal dengan hasilnya. “Sudah Mas bil ....” “Una mulai, gak ada kata ulang!” potong Husna menyerobot ejekan kakaknya sambil membalikkan badannya. “Satu, dua, tiga ..., sepuluh!” Husna mulai mencari mangsa, matanya menyipit saat melihat salah satu tanaman bergoyang seperti terinjak. Baru saja dia akan melangkah seseorang menariknya dan membekap mulutnya. “Sssttt!” Mata Husna melotot. “Mas Syafiq?” Fahmi menempelkan telunjuknya ke depan bibirnya. “Di sana ada Mas Fatah mau melamar si Baby,” bisiknya. “Jadi ...?” “Benar! Ini hanya akal-akalan Mas sama Gus Fajar untuk menjebak mereka berdua. Ayo kita ke sana, tapi, jangan menimbulkan suara sekecil apapun!” “Ck, ngapain juga ngintip orang lain. Gak ah!” “Ssttt! Nurut aja, sih, Dek! Lagian umi, abi, umah, babah, Rifan, bahkan papi sama mami juga lagi ngintip mereka.” “Astaghfirullah!” “Makanya, ayo!” Husna dan Fahmi mendekati tempat di mana ada Ihsan dan Hilya. “Bismillahirrahmanirrahim. Aku bersedia, Kak.” Terdengar suara Hilya berbicara. Apa? Bersedia? Jadi Kakak sepupunya menerima lamaran kakak sulungnya? “Alhamdulillah ....” Hampir semua orang yang bersembunyi mengucapkan hamdalah seraya keluar dari persembunyian. “Ka—kalian?” ucap Hilya terkejut. Semua orang bersukacita dengan kabar baik itu. Akhirnya ... perjalanan cinta Ihsan dan Hilya kini memiliki titik terang. Husna ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar pada retina semua keluarganya. Namun, rasa bahagia itu ternyata tidak bisa sepenuhnya membuat dia teralihkan pada keinginannya tentang kota Paris. Husna menyelinap pergi di saat orang-orang masih bersenda gurau menggoda Hilya dan Ihsan. Sementara di antara mereka, Rifan menyadari kepergian adik sepupunya, matanya terus menatap punggung gadis bercadar itu dengan kening berkerut. Hatinya terus bertanya-tanya, “Ada apa dengannya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD