Bab 1

1123 Words
Amelia Pov Aku mengelus puncak kepala putraku yang masih terlelap di alam mimpinya. Tidurnya begitu damai, membuatku tidak tega membangunkannya. Putraku bernama Arkan Putra, ya hanya nama itu yang terpikirkan olehku setelah kelahirannya. Usianya baru menginjak empat tahun, dua minggu yang lalu. Arkan tidak seperti anak kebanyakan, dia terlalu pendiam dan justru lebih suka menyendiri. Terkadang aku takut melihatnya yang seolah enggan berinteraksi dengan orang lain. Di usianya yang masih empat tahun, dia belum bisa berbicara. Dan hal ini membuatku sebagai ibunya merasa sedih. Aku selalu menangis melihatnya yang hendak berbicara, namun selalu kesulitan. Aku ingin memeriksakan kondisinya ke dokter, namun tidak bisa karena kondisi keuanganku yang tidak memungkinkan. Bahkan, dalam beberapa minggu ke depan aku tidak memiliki tempat tinggal lagi. Sebentar lagi, sewa rumah yang kutempati ini akan berakhir dan aku belum memiliki sepeserpun uang untuk membayarnya. Aku bingung mencari uang ke mana, dalam waktu kurang dari satu minggu aku harus mendapatkan uang sebayak 300 ribu, itu saja belum bunganya. "Unda..." itu suara putraku. Rupanya dia sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Aku tersenyum menatapnya yang malu-malu. "Ya Sayang?" Responku lembut. Dia menggeleng dan memelukku, mulutnya meluncurkan tawa riang seolah hidupnya tanpa beban. "Akan au aem aco," ucapnya. Lagi-lagi dengan wajah malu-malunya. Aku tidak tahu, kenapa setiap ia selesai berbicara, putraku itu selalu menampilkan wajah malu-malunya. Apa dia merasa malu karena tidak bisa berbicara dengan baik? Ya Tuhan, jika benar, putraku ini pasti sangat tertekan setiap ingin berbicara dengan orang lain. "Arkan mau makan bakso? Nantinya, kalau Arkan udah mandi dan wangi, nanti Bunda buatin baksonya." Aku mengacak rambutnya gemas, ia hanya membalasku dengan anggukan. Sama sekali tak mengeluarkan suaranya. "Ya udah, Bunda mandiin yuk?" Aku bangkit dari posisiku dan langsung menggendongnya. Aku keluar kamarku dan berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi, itupun kondisinya tidak cukup baik. Tapi, apapun itu aku harus mensyukurinya. Tidak ada waktu untuk mengeluh! **** "Aco na nak, Unda," ucap Arkan yang membuatku tersenyum. "Baksonya enak? Arkan suka kan?" Responnya hanya mengangguk. Aku tersenyum miris, apa yang putraku makan bukanlah bakso yang sebenarnya. Itu hanya adonan tepung dengan bumbu seadanya, yang sengaja aku buat seperti bola-bola bakso. Rasanya pun, jauh dari rasa bakso. Tapi aku bersyukur, putraku masih mau memakannya. Selama ini, Arkan belum pernah memakan bakso. Sekalipun tidak pernah, setiap ia meminta bakso aku selalu membuatkannya bola-bola tepung. Lagi-lagi uang menjadi momok menakutkan untuk kami. Hidup dalam keterbatasan membuatku sadar, uang yang dulu pernah aku bangga-banggakan tidak selamanya mendampingiku. Benar, hidup itu seperti roda, terkadang kita di atas dan terkadang kita di bawah. "Arkan udah selesai makannya?" Arkan mengangguk, aku tersenyum ke arahnya lalu mengelus rambut cepaknya dengan lembut. Kemudian, aku pun memgambil mangkok kecil di hadapannya dan menaruh mangkok itu di dekat kompor. Aku tidak sempat mencucinya, karena aku yang hampir terlambat bekerja. Aku merapikan kaos office girlku, dan langsung membawa Arkan ke gendonganku. Setiap hari aku selalu membawanya ke tempat kerja, aku tidak bisa menitipkan Arkan ke tetangga atau tempat penitipan anak. Di tempatku bekerja pun, tidak menyediakan tempat penitipan anak, dan terpaksa aku selalu menempatkan Arkan di sudut pantry kantor tempatku bekerja, untungnya anakku itu tidak rewel. Aku memang kejam membiarkannya sendirian di tempat asing. Namun aku tidak memiliki cara lain. Tetangga sekitar rumahku, mengatakan jika mereka malas menjaga Arkan karena sulit mencerna ucapan putraku, aku benar-benar merasa sedih dengan perkataan mereka. Yang membuatku sedih, karena mereka mengatakannya di depan Arkan. Mereka tidak memedulikan perasaan Arkan yang mungkin tersakiti, meskipun usianya masih begitu muda, tapi aku tahu jika perasaan anakku begitu sensitif. **** "Arkan, nanti jangan nakal ya? Jangan ke mana-mana, tetap di sini, oke? Nanti, Bunda usahain buat nengokin Arkan," ucapku seraya memandangnya yang tengah duduk di kursi kecil. Tangannya memegang beberapa bentuk origami dari kertas bekas yang sudah tidak terpakai. Mainan sederhana sebagai pengganti mainan canggih terkini. Ia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Arkan tipe anak penurut yang mengerti kondisi dan situasi. Aku bangga dengannya meskipun memiliki kekurangan. Dia hartaku, dia satu-satunya hal berharga yang kumiliki saat ini. "Ya udah, Bunda kerja dulu." Aku mencium puncak kepalanya. Aku hanya bisa menyalurkan rasa sayangku melalui hal-hal sederhana. Aku tidak bisa memberinya barang mahal, tapi bukankah kasih sayang adalah hal termahal? Yang justru tak dapat dibeli oleh uang? Aku mencium pipi kanannya dan berdiri untuk memulai bekerja. "Unda," lirih putraku yang membuatku kembali berjongkok di hadapannya. "Iya, Sayang?" Dia tidak menjawab, namun sedetik kemudian bibir mungilnya mendarat di pipiku. Aku tersenyum, melihatnya yang menatapku malu-malu. Selalu seperti ini. "Anak Bunda udah pinter, bikin Bunda bangga Sayang." Aku kembali mencium pipi kanannya. "Bunda sayang Arkan." Kataku lagi. "Akan ayang Unda." Aku hampir menangis mendengar ucapannya. Meskipun dengan pelafalan yang tidak terlalu jelas, tapi pesan yang tersirat tersampaikan dengan begitu baiknya. Aku merasa ucapannya sangat tulus, lebih tulus daripada perkataan orang yang berbicara normal. Akhirnya, dengan berat hati aku meninggalkan Arkan sendirian. Tadi, sewaktu aku hendak mengantar Arkan ke sudut pantry, aku sempat bertemu dengan Nanda, teman kerjaku yang untungnya memperlakukan aku dan Arkan dengan baik. Katanya, aku disuruh ke ruangan direktur. Aku berjalan cepat menuju ruang direktur, takut-takut jika kena semburan kemarahannya. Di depan ruang kerja Pak Direktur, ada Mbak Laras yang asik dengan tumpukan pekerjaanya tanpa memedulikan orang di sekitarnya. Aku mengetuk pintunya, terdengar orang dari dalam menyahut. Dengan pelan kutarik knop pintu itu, kepalaku menyembul ke dalam. "Bapak panggil saya?" "Ya. Masuklah!" Katanya dengan tegas, aku menutup pintu dan segera berjalan ke dekatnya. "Sudah berapa kali saya bilang? Jangan pernah membawa anak haram itu ke kantor saya!" Mataku memanas mendengar ucapannya. Arkan bukan anak haram! "Mas Damar! Selama ini aku tidak masalah Mas tidak mengakui Arkan sebagai anak Mas. Tapi setidaknya jangan menyebut anak kita sebagai anak haram. Coba lihat wajahnya, dia mirip dengan Mas, tapi kenapa Mas Damar masih berpikir dia bukan anak Mas? Buka mata kamu, Mas!" Aku tidak peduli dengan jabatannya yang merupakan bosku. Laki-laki yang sudah tidak berstatus suamiku, semenjak empat tahun yang lalu itu menatapku dengan pandangan mencelanya. Ya, satu fakta, laki-laki di hadapanku ini menceraikanku setelah Arkan terlahir di dunia ini. "Melihatnya? Cih, aku ingin muntah setiap melihat wajahnya. Jadi, jangan sekalipun menyuruhku untuk melihatnya, meliriknya pun aku tidak berminat!" Katanya lagi, aku tidak dapat menahan air mataku. Seketika tangisku pecah. "Sekali anak haram, tetap anak haram. Statusnya tidak akan berubah. Dan kamu! Beraninya kamu memanggil bosmu dengan sebutan itu. Kamu tidak berhak!" "Mas benar-benar jahat. Apa Mas Damar tidak takut menyesal nantinya?" Aku menghapus air mataku yang terus mengalir. "Aku tidak akan pernah menyesal. Penyesalan terbesarku, karena aku pernah menikahi wanita menjijikan seperti dirimu. Lebih baik kamu pergi dari hadapanku sekarang juga, sebelum aku memecatmu!" Dengan kejinya dia berkata. Kenapa laki-laki yang sialnya masih aku cintai itu, begitu menyakitiku? Tidak adakah seberkas cinta yang tertinggal di hatinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD