Bab 2

833 Words
Aku masih terbayang dengan apa yang Mas Damar tadi ucapkan. Aku tidak menyangka, jika laki-laki yang selama ini aku kenal memiliki kepribadian baik itu, dengan teganya menyebut putranya sendiri sebagai anak haram. Padahal, jika dia mau menolehkan kepalanya sedetik saja, untuk melihat Arkan. Pastinya dia menyadari jika selama ini ia sudah salah besar. Wajah Arkan jelas duplikat dari wajah Mas Damar. Bibirnya, hidungnya, matanya, semua menurun dari Mas Damar. Tapi Mas Damar seolah tutup mata dengan kenyataan yang ada. "Unda, Akan au iis." Lamunanku terhenti saat mendengar suara Arkan. "Iya Sayang, tadi Arkan bilang apa?" Aku memintanya mengulangi kalimat yang sudah ia ucapkan. Putraku itu tampak menunduk, aku tidak mengerti apa yang membuat wajahnya murung. Aku menatap jalanan, di mana saat ini kami berada, tidak ada yang aneh. Lalu, kenapa putraku sedih seperti ini? Perhatianku kemudian tertuju pada langit yang tampak menggelap, karena memang sudah memasuki waktu malam. Jika aku perkirakan, mungkin saat ini sudah pukul setengah enam lebih. Atau mungkin, yang membuat Arkan terlihat sedih karena putraku itu, merasa kelelahan karena terlalu lama berjalan? Wajar saja, kurang lebih sudah tiga puluh menit kami berjalan. Dan hanya sesekali kami berhenti untuk beristirahat. Ya, tidak ada alasan lain. Seandainya aku memiliki cukup uang untuk menaiki kendaraan umum, putraku itu tidak akan kelelahan seperti ini. Apalagi, Arkan selalu menolak untuk aku gendong. Ketika aku bertanya, apa alasannya menolak untuk aku gendong, dengan mulianya putraku itu menjawab, kalau ia tidak ingin bundanya kelelahan. Putraku itu bilang, ia lebih suka aku tuntun. Aku menangis mendengar jawabannya. Satu-satunya harta berharga yang kumiliki, adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa bernilai. "Arkan, kok Arkan sedih? Arkan capek ya? Atau, Bunda udah buat salah sama Arkan?" Tanyaku setelah berjongkok di hadapannya. Dia masih menunduk. Sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. "Arkan, kok pertanyaan Bunda nggak dijawab? Kalau Arkan memang kecapekan, Arkan boleh kok minta gendong ke Bunda." Aku mengelus surai hitamnya yang tertiup angin. "Unda ak aah, Akan ang aah. Unda ak eti oongan Akan. Akan odoh, alna ak ica oong," katanya yang kali ini dapat aku pahami. Aku merasa mataku semakin panas, rasanya air mataku ini ingin menyembur dari mataku. Bunda nggak salah, Arkan yang salah. Bunda nggak ngerti omongan Arkan. Arkan bodoh, karena nggak bisa ngomong. Itu yang Arkan katakan. Rasanya lebih sedih dibanding saat aku menerima hinaan. Aku merasa ada yang menghunus jantungku, rasanya sangat sakit. Seakan mati adalah pilihan terakhirku. Bagaimana bisa, putraku berbicara seperti itu? Aku Ibu yang bodoh, yang tidak peka terhadap anaknya, yang bahkan tidak mengerti apa yang sudah diucapkan anaknya sendiri. Aku bukan ibu yang baik, yang bisa membahagiakan anaknya. Aku menghapus sudut matanya yang berair, lalu memgecup pipinya yang juga basah. "Arkan nggak bodoh, Arkan pinter banget. Arkan bisa makan sendiri, Arkan bisa pakai baju sendiri, Arkan bisa membuat pesawat-pesawatan, Arkan bisa buat Bunda tersenyum. Arkan itu pinter banget, anak lain nggak bakal bikin Bunda tersenyum lebar kayak gini," kataku. Aku mengusap air mataku yang terus-terusan menjatuhi pipiku. "Ai, Akan ak ica oong, Unda. Aak ain ica oong." Aku semakin terisak mendengar ucapannya. Tapi, Arkan nggak bisa ngomong Bunda. Anak lain bisa ngomong. Ucapan seperti itulah yang kembali keluar dari mulut putraku. Kenapa rasanya sesakit ini mendengar ucapannya? Sakit yang dirasakan hatiku seakan menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku seakan mati rasa. "Arkan, terkadang Allah memberi kita ujian, untuk melihat seberapa kuat kita. Allah belum ngizinin Arkan bicara, itu karena Allah nggak mau denger Arkan berbicara yang nggak baik. Suatu saat nanti, Allah pasti ngasih izin Arkan untuk bicara. Arkan harus berdo'a sama Allah, minta Allah supaya mengizinkan Arkan bicara," ucapku yang membuat sudut bibirnya perlahan terangkat. "Allah enelan au abulin?" Tanyanya antusias. Satu hal yang membuatku terus-terusan memanjatkan syukur pada Allah. Ajaibnya, Arkan selalu bisa melafalkan nama 'Allah' dengan fasih, seakan dengan mengucapkan nama-Nya, Arkan terlihat seperti anak usia 4 tahun kebanyakan. Sungguh besar kuasa Tuhan. "Elalti Unda, Akan alus ajin olat, ial Allah abulin o'a Akan. Alo Akan ajin olat, Allah ain inta ama Akan, Allah akal alu alo ak abulin o'a Alkan." Berarti Bunda, Arkan harus rajin solat, biar Allah kabulin do'a Arkan. Kalau Arkan rajin solat, Allah makin cinta sama Arkan, Allah bakal malu kalo nggak kabulin do'a Arkan. Seperti itulah ucapannya kali ini. "Bener Sayang, tapi kita harus ikhlas ngelakuinnya, kalo nggak ikhlas, Allah nggak bakal ngabulin." Aku mengelus pucak kepalanya, putraku itu tampak tersenyum. "Oh iya, tadi Arkan bilang apa?" "Akan au uang ail." Sekarang aku mengerti apa yang ingin Arkan ucapkan sedari tadi, putraku itu ternyata ingin buang air dan bodohnya aku tidak memahami apa yang dia ucapkan. "Ya udah, nanti kita cari kamar mandi ya?" Kataku lagi, ia tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Daripada Arkan capek, mending Bunda gendong aja ya? Bunda nangis loh, kalau Arkan nggak mau Bunda gendong. Arkan mau Bunda nangis?" Aku menampilkan ekspresi sedihku, sontak Arkan menggelengkan kepalanya dan langsung merentangkan tangannya meminta digendong. "Gitu dong, Sayang. Bunda tuh, seneng banget bisa gendong Arkan. Bunda Sayang Arkan." Aku membawa Arkan ke dalam gendonganku, dan memgecup pipinya yang lumayan tembam. "Akan, uga ayang Unda."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD