Bab 3

1544 Words
Malam harinya, suhu tubuh Arkan terasa hangat. Hatiku terus was-was, takut jika demamnya itu akan berlangsung lama. Aku tidak kuat melihat putraku yang selalu merintih kesakitan, ketika penyakit itu menyerangnya. Air mataku tiba-tiba menetes saat bayang-bayang menyedihkan itu menghampiriku. Hatiku seperti ditohok saat melihat tubuh kecil ringkihnya yang menggigil. Aku memeluknya dengan erat, menyalurkan rasa hangat dari tubuhku. "Ingin ... Unda," ucapnya dengan nada tersedat. Aku mengusap sudut matanya yang berair, juga sudut mataku yang sudah basah akibat tangisku yang tak terbendung lagi. Aku menghangatkan tubuhnya dengan seluruh selimut yang kumiliki. Di rumahku, hanya terdapat dua selimut, itupun sebenarnya tidak pantas untuk disebut selimut karena memang hanya kain tipis bekas baju lama kami, yang aku jahit menjadi satu. Dua selimut itu sudah membalut tubuhnya, tapi tetap saja tidak berpengaruh. Terdengar mendramatisir memang, mana ada orang yang tidak memiliki sepeser uang pun untuk membeli selimut? Tapi itu kenyataanya. Aku memang tidak memiliki uang untuk membeli selimut. "Ingin..." Dingin, katanya dingin. Dia masih merintih, jujur saja, sebenarnya suhu malam ini sangat panas. Maklum saja, kami tinggal di daerah pemukiman padat penduduk, yang jarak antar satu rumah dengan rumah lainnya tidak sampai setengah meter. Dan terlalu rapatnya jarak antar rumah, membuat lingkungan sekitar kami terasa panas. Aku menempelkan kompresan air hangat di kepalanya. Menurut informasi yang kudapat, air hangat lebih berpengaruh untuk menurunkan suhu tubuhnya dibanding air dingin, dalam proses pengompresan. Aku menempelkan punggung tanganku pada dahinya, suhu tubuhnya masih sama. Justru aku merasa suhu tubuhnya semakin panas saja. Rasa takutku semakin menjadi, aku tidak memiliki cukup uang untuk membawanya berobat. Bahkan, untuk transportasi ke rumah sakit terdekat pun aku belum memilikinya. Uang gajianku baru cair esok lusa. "Sayang, Sayangnya Bunda." Aku seperti tak mampu berkata-kata. Ini hal yang selalu membuatku takut. Lingkungan tempat kami tinggal, bukanlah lingkungan sehat, di mana kebersihan menjadi hal utama. Tumpukan sampah menyebabkan nyamuk demam berdarah bersarang di sana, ditambah lagi genangan air selokan yang jarang dibersihkan semakin memperburuk kebersihan lingkungan kami. Orang-orang tampak tak acuh, mereka seperti tidak peduli dengan kesehatan diri mereka sendiri. Aku pun ingin bertindak, namun waktu yang kumiliki tak memberiku kesempatan untuk bertindak lebih, membuatku harus mengurungkan niatan itu. Andai saja dulu sewaktu aku pergi aku membawa ijasahku. Mungkin saja aku mendapat pekerjaan yang lebih baik, dan bisa memberi tempat tinggal yang layak untuk putraku. Menurut orang lain, aku ini sosok yang cerdas dengan pemikiran kritis yang pastinya dapat membuatku maju. Saat umurku 21 tahun, aku sudah dapat lulus dari study S1-ku, dengan gelar Sarjana Pendidikan. Menjadi seorang guru, sudah menjadi cita-citaku sejak kecil. Aku senang sekali, jika aku bisa menyalurkan ilmuku pada banyak orang. Tapi, sayangnya cita-citaku itu harus kandas karena sebuah fitnah yang sejatinya tidak pernah aku lakukan. Aku masih mencintai Mas Damar, meskipun luka yang ia torehkan cukup dalam pada hatiku. Aku tidak bisa menghilangkan cintaku, meskipun aku sudah berusaha. Seperti perasaan itu memang sudah tercipta untukku. Aku berharap, suatu saat nanti kami bisa hidup bersama, menjadi pasangan bahagia sampai ajal menjemput kami. Aamiin. Aku mengeratkan pelukanku pada Arkan. Rintihannya terdengar semakin keras di indera pendengaranku. Aku menatap bibirnya, bibir mungil itu terlihat pucat. Sepertinya, aku memang harus membawanya ke rumah sakit. Tapi bagaimana? Aku tidak memiliki uang. Tidak ada cara lain, aku harus menggendongnya. Jika aku tak segera melakukan tindakan, bisa dipastikan aku akan kehilangan satu-satunya harta berhargaku. Demam tidak bisa diremehkan begitu saja, meskipun itu hanya demam ringan. Di Indonesia, sudah banyak kasus kematian yang diakibatkan oleh penyakit satu itu. Aku melilitkan selimut-selimut lusuh itu ke tubuh putraku. Aku langsung menggendongnya. Tidak lupa aku mengunci pintu rumah kami, yang sebenarnya tidak ada satupun barang berharga di dalamnya. Aku sudah tidak memedulikan air mataku yang terus-terusan mengucur. Aku berjalan cepat, tidak kupedulikan kakiku yang terasa sakit karena meminjak kerikil-kerikil kecil. Saking kalutnya, aku sampai lupa memakai alas kaki. *** Aku bersyukur, ternyata pihak rumah sakit masih mau memberiku keringanan. Mereka mau mengambil tindakan untuk menangani Arkan, meskipun aku belum melunasi biaya administrasinya. Dengan catatan, paling lambat aku membayar biaya administrasinya besok siang. Jika sampai terlambat, mereka tidak akan memberi tindakan pada Arkan. Tentu saja aku tidak mau, demam putraku itu semakin parah. Aku memandangi Arkan yang tampak tertidur nyenyak, cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya sepertinya tengah bekerja. Aku memejamkan mataku, kepala terasa sangat berat. Ditambah lagi migrain ku yang mulai kambuh. Bagaimana aku bisa mendapat uang dalam waktu sesingkat itu? Aku yakin, seluruh biaya pengobatan Arkan beserta biaya administrasinya lebih dari lima ratus ribu. Sepertinya, besok aku harus mencari pinjaman pada orang kantor. Aku tahu hutangku sudah semakin menumpuk, tapi itu bukan menjadi masalah untukku. Aku tidak peduli dengan apapun, sekalipun aku harus terluka, anakku adalah segalanya, dia cahayaku, surgaku. Bagi seorang ibu, surganya terletak pada kebahagiaan anak-anaknya, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding melihat anak-anaknya hidup dalam kedamaian. Aku mengusap sudut mataku, yang lagi-lagi basah. Sepertinya, air mataku ini enggan untuk berhenti membasahi pipiku. Aku melirik telapak kakiku yang tampak memerah, dengan pelan aku mengusapnya. Rasanya perih dan sedikit panas. Beruntungnya, saat di tengah perjalanan aku bertemu dengan Wanti. Salah satu rekan Office Girl-ku. Dengan suka rela ia meminjamkan sandalnya untuk kupakai, dan memberiku tumpangan untuk membawa Arkan ke rumah sakit dengan motor matiknya. Aku tidak tahu lagi harus berterima kasih dengan cara bagaimana pada Wanti. Dia sangat baik. Mungkin, hanya dia satu-satunya orang yang sampai saat ini berlaku baik padaku. Beberapa orang di sekitarku, malah mencemoohku, mengatakan jika aku wanita kotor yang menjijikan. Mirisnya, sebagian orang itu, adalah orang yang mengenalku. Aku tidak akan marah jika mereka menghinaku, bahkan melakukan kekerasan fisik padaku. Aku tidak akan bertindak apa-apa, selama mereka tidak melukai putraku. Aku paling benci, ketika mereka sudah membawa-bawa nama Arkan. Apalagi, ketika mereka menyebut Arkan sebagai anak haram. Mereka tidak pernah membuka mata hati mereka, mereka hanya menerka dari apa yang sudah beredar di masyarakat umum, tanpa berniat mencari kebenarannya. Aku sangat menyayangkan sikap mereka, sebagain orang yang rela menggetarkan pita suaranya untuk mengolok-olokku adalah orang yang berpindikan. Gelar sarjana, gelar master telah melekat pada nama mereka, tapi tidak dengan hati mereka yang sama sekali tidak pantas mendapat gelar. Sampai saat ini, aku masih bertanya-tanya. Kapan kami bahagia? Oh, atau lebih sederhananya. Kapan putraku bahagia? Yang saat ini menjadi orientasiku, ialah kebahagiaan Arkan. Aku tidak memiliki tujuan lain di hidupku, selain membuat darah dagingku itu merasakan manisnya dunia. *** Aku berjalan cepat melewati lobi kantor. Banyak pasang mata yang menatapku dengan pandangan mencela mereka. Terlebih lagi, aku masih mengenakan pakaianku yang semalam. Pakaian rumahan sederhana yang sudah terlihat kusam dan mungkin tidak enak dipandang bagi mereka yang berdompet tebal. Tapi, dibanding dengan baju-baju mewah yang mereka kenakan, aku lebih menyukai baju ini. Baju-baju mewah mereka seperti kekurangan bahan, mereka mempertontonkan paha mereka, pundak mereka, tanpa rasa malu. Aku memang belum berhijab, aku belum menjadi seorang muslimah yang baik, namun itu karena aku belum memantapkan hatiku. Percuma jika sekarang aku mengenakan hijab, namun beberapa minggu kemudian, aku melepas hijabku. Aku ingin benar-benar yakin saat memutuskan untuk menutup auratku. Semoga saja, Allah memantapkan niat baikku ini. "Mbak Ajeng!" Aku memanggil sosok wanita cantik yang berusia tiga tahun lebih tua dariku itu. Mbak Ajeng merupakan karyawan yang menjabat sebagai staf administrasi di kantor ini. Mbak Ajeng menoleh padaku, dan dia menatapku dengan tatapan tak bersahabatnya. "Kenapa?" Tanyanya terdengar ketus di indera pendengaranku. "I-ini Mbak, bisa kita bicara di tempat yang lebih sepi?" "Tidak perlu, kalau mau bicara di sini saja. Kamu mau pinjam uang, ya? Berapa yang kamu butuhin?" Tanyanya langsung. Mbak Ajeng memang sosok yang lebih suka berbicara langsung ke intinya. "Saya butuh tujuh ratus ribu, Mbak." Tanpa banyak bicara, Mbak Ajeng mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang yang langsung diserahkannya padaku. "Ini, tapi ingat seperti yang sudah-sudah, kamu harus membayar lima persen bunganya. Aku tahu kamu kesusahan, tapi itu bukan urusanku," katanya yang langsung berlalu pergi. Aku menghela napasku. Hutangku dengannya baru lunas minggu lalu, dan sekarang aku kembali berhutang pada lintah darat itu. Aku tidak mau berpikir lebih panjang lagi, semakin cepat aku membayar biaya administrasinya, semakin cepat Arkan ditangani dengan baik. Aku segera berjalan keluar area lobi, aku berusaha memasukkan uang itu ke dalam sakuku. Menyembunyikan uang itu, agar tidak diambil orang-orang jahat, seperti adegan yang sering disetting dalam sinetron. Biasanya, tokoh utamanya menghitung uang di muka umum, kemudian datang tokoh jahat yang berniat mengambil uang itu. Akhirnya uang itu hangus, padahal tokoh utamanya sangat membutuhkan uang itu. Kalau menurutku, tindakan tokoh utamanya memang terlalu bodoh. Kenapa mereka menghitung uang di tempat ramai? "Sekarang kamu sudah berpindah profesi dari p*****r jadi gembel, ya Mel." Suara itu membuat langkahku terhenti. Aku membalikkan badanku. Kurang dari jarak lima langkah dari hadapanku, berdiri Mas Damar dengan tangan bersedekapnya. Matanya memandangku dengan tatapan mencela. "Mas, aku tidak ingin membahas masalah pribadi kita di sini. Aku tidak ingin, ada orang lain yang mengetahui privasi kita. Sudahlah Mas, kalau Mas Damar hanya ingin mengolok-olokku, jangan sekarang, aku sedang buru-buru." Aku tidak tahu, dapat kekuatan dari mana sampai aku berani berbicara seperti itu padanya. "Buru-buru? Buru-buru menemui laki-laki yang sudah menyewa kamu?" Nadanya terdengar mengolokku, namun aku juga dapat mendengar nada marah di dalamnya. "Aku tidak pernah melakukan hal sehina itu." Aku langsung berlalu pergi, tidak memedulikannya yang semakin berpikir buruk tentangku. Bukankah sudah aku bilang, jika aku akan memprioritaskan putraku, Arkan Putra? Aku tidak akan meladeni hinaannya untuk saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD