bc

Trauma Gara-Gara Pasang KB

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
stepfather
drama
bxg
soldier
polygamy
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Nilam tak ingin hamil lagi setelah ia melahirkan anak kedua.Pekerjaan yang dilakoninya sebagai PNS juga suaminya yang merupakan seorang Pratu, prajurit satu TNI AD, membuat keduanya sering menjalani LDR.Sayangnya, KB susuk yang Nilam pakai untuk mencegah kehamilan, justru tetap membuat Nilam kebobolan.Setelah anak ketiga lahir, Suami Nilam Meminta Nilam memakai KB IUD, sayangnya Nilam kembali kebobolan setelah dua tahun lebih memakainya.Hubungan Nilam dan suaminya pun semakin renggang.Lantas, setelah ini, akankah Nilam memutuskan untuk mengikat rahimnya agar tidak hamil lagi?Sementara itu, suaminya justru ditugaskan di daerah sebrang laut yang terkenal sebagai sarang kupu-kupu malam.

chap-preview
Free preview
Hamil Lagi
"Apa? Kamu hamil lagi?” “I-iya, Mas,” ucapku seraya menyerahkan sebuah testpack pada suamiku itu. “Astaga!” Aku melihat suamiku menjambak rambutnya sendiri bak orang frustasi. “Kok bisa sih, kebobolan? Jangan-jangan kamu nggak nurutin perintahku buat pasang KB ya?” “Astaghfirullah. Aku pasang, Mas. KB susuk sesuai permintaanmu.” “Ya terus, kenapa masih bisa kebobolan, hah?” Aku melihat pria yang kucintai itu dicengkram amarah. Matanya memerah, khas saat dirinya dipenuhi sedang marah. “Aku juga nggak tahu,” cicitku. Ya, memang benar, aku juga tidak paham kenapa masih bisa kecolongan seperti ini. “Alah! Kamu pasti nggak pasang KB, kan?” Mudah sekali suamiku ini berbicara seperti itu. Tak tahu saja bagaimana rasanya saat KB susuk ini dipasang juga dilepas. “Astaghfirullah. Lihat ini, Mas.” Aku langsung membuka lengan bajuku yang menutupi bagian yang dipasang KB implant. Ada beberapa garis yang membekas di sana sebab ini bukan sekali saja aku memasang KB susuk. “Lain kali, kalau pasang jangan pemasang massal. Langsung pasang ke dokter!” tuturnya. “Ya ‘kan sebelum-sebelumnya aku sudah ajak kamu buat antar ke bidan terdekat atau dokter buat pasang KB. Bukannya kamu sendiri ya, Mas, yang meminta aku ikut pemasangan massal saja? Dengan alasan gratis?” “Alah! Kalau udah kebobolan begini, kamu cari banyak alasan saja buat menyalahkanku!” kilahnya. Amarahnya belum juga menurun. Watak suamiku memang keras. “Loh, nggak gitu, Mas---“ “Sudah, cukup! Daripada aku nggak bisa mengontrol emosi, lebih baik kamu jangan muncul di hadapanku dulu.” Dengan santainya ia mengatakan satu kalimat yang membuat hatiku terluka. Tanpa ia sadari. “Apa? Bagaimana bis---“ “Jadi istri yang nurut! Jangan suka membantah!” Nada bicara suamiku masih belum diturunkan. Bukan seperti ini inginku. Aku juga tidak ingin kehamilan ini, mengingat fisikku yang lemah juga suamiku yang jarang menemaniku di rumah. Ya, bagaimana tidak? Pekerjaan suamiku lah yang membuatnya jarang berada di rumah. Suamiku seorang tentara prajurit satu, di mana saat kehamilanku yang pertama, ia pun tak menemaniku bahkan sampai anak pertamaku lahir dan berusia 2 tahun. Suamiku ditugaskan ke wilayah Indonesia bagian timur, tepatnya di Papua. Menjaga perbatasan di sana. Belum lagi aku seorang PNS guru yang kebetulan mendapatkan tempat pengabdian yang harus membuatku menyebrangi lautan sebab aku ditugaskan di daerah terpencil. Ditugaskan sebelum aku bertemu dengan pria yang kucintai ini dan menikah. Aku menundukkan kepala, meremas kedua jemari tanganku sendiri. Aku ingin menangis, tetapi suamiku benci dengan istri yang cengeng. Alhasil, aku hanya bisa mengigit bibirku dengan kuat bahkan mungkin sampai berdarah. “Aku mau keluar,” ucapnya kemudian. Suamiku berlalu dari hadapanku. Lalu, tak lama kudengar bunyi nyala mesin sepeda motor dan lambat laun terdengar bergerak menjauh, meninggalkan rumah kami. Aku terduduk lantas tak lama kemudian, air mataku kujatuhkan dengan begitu bebas. Aku tak tahu harus bagaimana. Yang jelas, tak mungkin juga aku menggugurkan kandungan ini. Itu sebuah dosa besar. *** “Kamu hamil?” Aku menganggukan kepala pada wanita yang telah melahirkanku itu. “Alhamdulillah. Kamu harusnya bersyukur, Nilam. Di luar sana, masih banyak istri yang mengharapkan kehamilan tapi tak kunjung diberi.” “Bukannya nggak mau bersyukur, Bu. Ibu tahu sendiri Mas Bayu itu jarang ada di rumah. Harusnya dua anak sudah cukup bagi Nilam. Ini malah ….” Nampaknya ibu tak begitu paham dengan kondisiku. “Lam, itu tandanya Allah tahu kamu mampu mengemban satu amanah lagi.” “Bu, Nilam aja tempat kerjanya masih menyebrangi lautan. Itu bukan hanya naik sepeda motor atau mobil lalu sampai. Ini harus melangkah naik kapal, di tengah ombak besar, Bu.” “Kan ada Ibu, Lam. Biar nanti Ibu yang akan mengurus adiknya Irsal.” “Bu, Irsal aja masih rewel. Ibu mau mengurus bayiku lagi?” protesku. Aku yang membayangkannya saja tidak sanggup. Apalagi, ibuku usianya tak lagi muda jelas tenaganya sudah tenaga tua. Seringkali bahkan aku merasa kasihan pada ibuku ini, sebab baik anakku yang pertama maupun kedua, rewelnya minta ampun. Ya, Allah, ingin aku tak mengeluh, tetapi seringkali kondisi membuatku ingin mengeluh. “Lagi pula, Bapak juga kasihan Ibu tinggal terus buat jagain Irsal dan Ulya.” Ya, sejak aku memiliki dua anak, Ibuku lebih fokus mengurus dua anakku daripada diirnya sendiri juga suami tercinta. Sesungguhnya, aku tak ingin membebani ibuku untuk mengurus dua cucunya di masa tua. Bukankah masa tua waktunya istirahat dan hanya memaksimalkan diri untuk memperbanyak amal ibadah? “Walah, wong Bapakmu masih sehat walafiat kok, Lam. Juga ada adek bungsumu. Sudah, ndak perlu pusing-pusing kamu pikirkan, Lam. Lebih baik fokus saja untuk anak ketigamu yang akan lahir nanti.” Masalahnya, aku belum juga mengurus pindah sampai sekarang. Kalau sudah guru diangkat PNS itu lebih sulit pindah. Iya, kalau pindah mash satu kabupaten. Masalahnya, aku dan suamiku ini tempat tinggalnya lain kabupaten. Jadi ya …. Sulit. Dengan mata berkaca-kaca, aku menganggukan kepala lalu kutatap si bungsu yang berada tenang dalam gendongan ibuku sambil menghisap dot s**u yang berisi sufor. Sufor? Ya, dulu waktu anak pertama lahir, aku bertekad kuat untuk memberi ASI Ekslusif. Bagiku, ASI ekslusif itu paling bagus dibanding sufor. Namun, kembali lagi ke realita. Untuk seorang PNS izin cuti melahirkan hanya diberi waktu sekitar 3 bulan saja. Tiga bulan itu, tentu aku memaksimalkan diri untuk memberi ASI ekslusif untuk Ulya. Akan tetapi, setelah izin cuti melahirkanku selesai, ditambah dengan setumpuk tugas administrasi yang harus dipenuhi seorang guru PNS, aku jadi angkat tangan. Beban pikiran juga emosi membuat ASIku jadi kurang lancar. Hingga akhirnya saat aku jatuh sakit, itulah awal anakku pertama kali berhenti kuberi ASI eksklusif. Tahukah kalian? Saat itu, aku sempat menangis tersedu. Bahkan aku masih berjuang meminum berbagai vitamin yang bisa merangsang ASIku banjir. Sayangnya, usahaku tak berhasil sesuai yang kuharapkan. Akhirnya, putriku menjadi bayi yang harus meminum sufor begitu pula nasib dari Irsal, anakku yang kedua. Apalagi, kedua anakku alergi sufor sapi hingga aku memberinya sufor kedelai yang kalian tahu sendiri, harga sufor kedelai itu jauh lebih mahal dibanding sufor sapi. “Nilam? Nilam?” Panggilan Bapak membuatku tersadar dari lamunan. Kuusap cepat sudut mataku yang sudah berair lalu aku pun menoleh ke belakang. “Iya, Pak?” “Anakmu, Ulya, panas tinggi.” “Astaghfirullah.” “Coba telpon suamimu, Lam. Kamu bawa ke bidan atau ke rumah sakit sekalian,” perintah Bapak. “Iya, Pak.” Aku buru-buru lari ke kamar, mencari ponselku yang kuletakkan di sana. Segera kulakukan panggilan keluar pada nomor ponsel suamiku. Panggilan teleponku tersambung, akan tetapi belum juga diangkat. “Ya ampun, Mas, kumohon angkat,” gumamku dengan rasa cemas yang begitu nyata hingga tak lama kemudian, panggilan teleponku diangkat. “Mas, cepat pulang. Ulya panas tinggi. Kita harus bawa ke rumah sakit atau bidan!” ucapku dengan cepat. “Maaf ya, Mas Arsilnya sedang di kamar mandi. Nanti saya sampaikan.” Eh? Kenapa yang mengangkat suara … perempuan? Pakai panggilan Mas lagi. *** BERSAMBUNG

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook