"Kamu yakin dengan ucapanmu Anin?"
"Tentu yakin mas. Jika Albanna kamu akui sebagai anak, nanti jika ada yang kesini lagi aku tak perlu menyembunyikan Albanna. Jika dia bersamaku, maka akan aku bilang itu anak angkatmu."
"Sebentar, sebentar. Apa maksudnya ini? aku masih binggung."
"Jadi mas Fajar mengadopsi Albanna, bilang semua orang di sini untuk menjawab jika Albanna adalah anakmu kalau ada orang baru yang bertanya. Biarkan Albanna memanggilmu Abi."
"Jadi kamu ingin aku mengangkat Albanna sebagai putra, bukan menikahimu?"
"Bukanlah mas, aku kan gak bilang gitu."
"Tapi kan kalian satu paket, jika aku menikah denganmu maka Albanna otomatis jadi anakku. Jika Albanna jadi anakku, otomatis kamu jadi istriku. Begitu kan, makanya tadi saat kamu bilang jadilah abi Albanna kupikir kamu sudah mau jadi istriku. Ck kamu PHP Anin."
"Ih kok PHP sih mas, kamu aja yang salah mengartikan."
"Ya sudah gak usah berdebat, aku kasih tahu ya ... di pesantren ini ada ribuan orang. Bagaimana kamu mau menyuruh semua orang mengatakan Albanna adalah anakku pada orang baru. Kamu mau bikin pengumuman di masjid pesantren sana? mau bilang satu persatu ke semua orang?"
Anin menggelengkan kepalanya pertanda jawaban tidak.
"Gak mungkin begitu kan? makanya yang paling benar adalah kita menikah di sini dan otomatis Albanna menjadi anakku."
"Aku tidak bisa mas," lirih Anin.
"Kenapa sih? kamu masih mengharapkan ayah dari Albanna?"
"Enggak."
"Lalu apa?"
"Kamu itu lulusan luar negeri, kuliah di universitas ternama, kamu bisa mendapatkan perempuan baik-baik yang sepadan denganmu, yang masih perawan, ngapain kamu menikahi janda beranak satu mas. Aku yakin orang tuamu tidak setuju!"
"Aku tidak peduli Anin, aku laki-laki."
"Tapi aku peduli mas,"
Fajar menghela nafas panjang, kemudian bangkit dari duduknya. Segala bujuk rayunya pada Anin tidak pernah mempan.
"Aku pulang dulu ya, jika ada apa-apa langsung hubungi aku."
Anin hanya menganggukkan kepalanya, Fajar selalu akan pergi jika sudah membicarakan tentang pernikahan dan dia selalu menolaknya. Menikah dengan Fajar adalah sesuatu yang sangat mustahil, tidak akan pernah terjadi.
Anin melihat benda bulat di pergelangan tangannya, sebentar lagi ashar dia berpikir lebih baik segera beberes rumah setelah itu menjemput Albanna sebelum Maghrib.
***
Waktu terus bergulir, setelah kepergian Ghiban dia tidak pernah datang lagi ke tempat Anin berada. Mungkin laki-laki itu kasian pada Anin atau takut Anin melaksanakan ancamnya, dan itu membuat Anin cukup bahagia dan hidup dengan tenang kembali.
Albanna sudah bisa berjalan diusianya yang ke dua belas bulan. Saat ini usianya menginjak dua puluh bulan, dia sudah pandai berceloteh. Kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah 'Abi'. Sebutan untuk memanggil Fajar, kedekatan mereka dan Fajar yang selalu mengatakan abi jika bersamanya membuat Albanna begitu mudah mengatakan kata itu.
Sedangkan kata bunda mungkin cukup susah dieja olehnya. Suatu hari Anin protes pada Fajar karena putranya malah dengan lancar menyebut Abi pada Fajar.
Seperti sore itu saat mereka tengah main bertiga di halaman rumah Anin, Albanna terus saja memanggil abi pada Fajar dan berteriak-teriak di atas pundaknya. Bahkan dalam ingatan orang-orang, Albanna adalah putra Fajar meskipun mereka bersama saat-saat tertentu saja. Misalnya disore hari seperti itu.
"Mas Fajar dulu sekolahnya di pesantren? kok bisa dapat beasiswa di Kairo?" tanya Anin membuka percakapan.
"Enggak sih, kuliah di SMA biasa. Tapi mas sangat tertarik dengan negeri Cleopatra itu. Jadi meskipun sekolah di SMA biasa mas sudah berniat untuk pergi kesana, jadi diluar sekolah itu mas ikut belajar bahasa Arab dan menghafalkan Al-Qur'an karena itu salah satu syarat untuk bisa mendapatkan beasiswa kesana."
"Kenapa mas mengejar beasiswa, katanya anak orang kaya?" cibir Anin.
"Papa dan mama tidak begitu setuju mas kuliah disana, makanya sejak awal pun tidak dimasukkan ke sekolah yang langsung berbasis agama. Ya mau tidak mau mas cari yang gratis," papar Fajar.
"Emang kenapa pengen banget ke sana?" tanya Anin.
"Pengen ketemu titisan Cleopatra," jawab Fajar sambil terkekeh.
"Ampun deh, jauh-jauh kuliah cuma pengen itu doang, terus ketemu?" tanya Anin polos. Seolah tidak tahu jika Fajar sedang bercanda.
"Ketemu sih, tapi kok malah bukan di sana ya ketemunya."
"Di mana?"
"Di Jakarta." Fajar trus saja menjawab pertanyaan Anin. Seolah-olah obrolan itu adalah hal yang serius.
"Terus kenapa mas Fajar malah disini?"
"Karena dia juga ikutan kesini?"
"Siapa, apa aku mengenalnya?"
"Tentu kamu mengenalnya."
"Siapa namanya?"
"Anindia Diva," jawab Fajar.
"Halah ... gombal banget sih kamu mas, bisa-bisanya aku mengikuti obrolanmu yang gak jelas itu. Sejak kapan titisan Cleopatra model begini."
"Lah ...." Ucapan Fajar terpotong.
"Cukup mas, gak usah diterusin," potong Anin.
"Hemmm," Fajar bergumam.
"Ngomongin soal sekolah, besok aku akan ke Jakarta menjemput temanku SMA dulu. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal?"
"Nggak apa-apa mas, kan udah bisa juga kamu tinggal kami kesana. Misalnya pas idul Fitri, ya kan. Iya lah, kedua orangtua Mas Fajar lebih membutuhkan mas dari pada kami."
"Makanya mendingan kita nikah kan, jadi bisa ikut aku pulang ke rumah deh."
"Mulai deh ...." tukas Anin.
"Mau ngapain dijemput mas?" lanjut Anin bertanya.
"Kamu tahu kan, tanah lapang di samping pesantren ini mau dibikin bangunan kampus dan masjid. Pesantren ini sedang mengembangkan diri untuk mendirikan kampus. Nah temanku ada yang arsitek, dia banyak membangun gedung-gedung pencakar langit, dan perumahan. Desainnya bagus-bagus dan aku memintanya untuk membuat desain. Kubilang padanya jangan bikin gedung perkantoran dan perumahan mulu, sekali-kali bikinlah kampus dan rumah Allah. Biar pahala kebaikannya mengalir, eh dia mau begitu saja. Kemudian saat kutunjukan contoh design temanku pada pimpinan pondok pesantren, beliau tertarik. Jadi besok aku akan menjemputnya kemari," papar Fajar panjang lebar.
"Oh ...."Ucap Anin.
Ingatannya langsung tertuju pada laki-laki yang pernah mengisi hatinya, Nevan William Adiguna. Laki-laki itu juga arsitek terkenal dan terbaik di kota metropolitan. Ah, banyak orang yang berprofesi seperti itu kenapa Anin malah memikirkan pria itu. Anin segera menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran itu dari kepalanya.
"Kenapa?" tanya Fajar.
"Ah, enggak apa-apa. Kapan berangkatnya?" tanya Anin.
"Besok sore, lebih enak berkendara dimalam hari. Kamu mau titip apa?"
"Nggak usah bawa apa-apa, aku tidak menginginkan apapun. Aku sudah senang jika kamu pulang dengan selamat."
"Ehemm, aku seperti sedang berpamitan pada istriku."
"Sepertinya aku salah bicara," sesal Anin.
"Sepertinya kamu sedang sensitif," tukas Fajar.
"Abi ...." Perseteruan mereka di putuskan oleh panggilan Albanna yang berlarian ke arah Fajar dengan tangan penuh lumpur.
Saat kedua orang dewasa itu tengah asyik ngobrol, ternyata si kecil asyik bermain tanah basah yang ada dihalaman rumah.
***