2. Kembali dari Pesantren

1033 Words
Gadis belia itu duduk tepekur. Pandangannya terlempar jauh ke depan. Menatap langit jingga. Ada sedikit rasa was-was menghinggapi, tapi rasa bahagianya jauh lebih buncah. Rekaman beberapa kejadian dalam seminggu terakhir membuatnya mengerti mengapa dua bulan lalu ibu begitu khawatir bila ia tetap memaksa melanjutkan ke sekolah umum. Dunia remaja di luar pesantren jauh dari dugaannya. Banyak sekali yang berbeda. Entah karena beberapa temannya melanjutkan ke sekolah umum meski ada juga yang konsisten untuk tetap di pesantren hingga lulus, bahkan ada yang sampai berkeinginan keras agar bisa terbang ke negara timur tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Yaman, Libya, atau lain sebagainya untuk menuntut ilmu mewujudkan cita-cita menjadi hafidzah, ustadzah, dan ada juga yang memasrahkan segalanya pada Tuhan akan menjadi apa kelak yang penting bisa belajar di salah satu negara di timur tengah. Atau karena merasa bosan dengan pola kehidupan di dalam pesantren dan akhirnya memutuskan melanjutkan ke sekolah umum. Hanya Sita dan Allah yang tahu pastinya. Sita tidak pernah mengeluhkan hidupnya selama di pesantren. Tak pernah sekalipun menceritakan kedukaan. Justru kesenangan dan keceriaanlah yang senantiasa terpancar setiap kali ibu dan ayah menjenguknya. Sekali dua kali, ia menceritakan hal-hal lucu tentang teman-temannya, kebersamaan dengan para ustadzah, dan berbagai pengalaman yang sebenarnya tidak baru tapi tetap asyik untuk diceritakan. Dengan wajah sumringah penuh semangat sekata, satu kalimat sampai berpuluh kalimat meluncur mulus nyaris tanpa hambatan. Sita bukan gadis cerewet yang banyak bicara. Ia hanya hobby bercerita memakan banyak paragraf. Lantas bedanya apa cerewet dan doyan ngomong? Gurat bahagia terpancar dari wajahnya setiap kali bercerita. Namun seolah tak percaya, saat ayah dan ibu menjenguknya selepas ujian, tiba-tiba Sita mengatakan tak ingin meneruskan sekolah di pesantren. Ia ingin kembali ke rumah dan melanjutkan ke sekolah umum. Sekali dua kali keinginannya tidak digubris sampai akhirnya terpenuhi. Mungkin ayah dan ibu juga sudah rindu bisa berkumpul dengannya. Sebetulnya ibu khawatir jika nanti Sita pindah ke sekolah umum, maka kebiasaan yang sudah diterapkan di pesantren akan hilang dan hafalan dari juz ke juz yang telah diperjuangkan selama ini pelan-pelan memudar. Inilah kekhawatiran besar. Menjadi alasan ibu yang sulit sekali menyetujui keputusan Sita. Dan kini setelah rasa was-was ibu hilang lantaran Sita tetap konsisten melaksanakan kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas selama tiga tahun di pondok pesantren dibawanya pulang ke rumah. Malah gantian sekarang Sitalah yang was-was. Sama halnya dengan ibu, perasaan was-wasnya itu dipendam sendiri. Hanya faktornyalah yang menjadi pembeda. Banyak ketimpangan terjadi. Hal-hal yang bertolak belakang dengan kehidupannya selama di pesantren. Di luar, perempuan dan lelaki bukan mahram biasa duduk berdua, jalan, dan itu bukanlah hal yang dilarang oleh negara, kecuali dalam Islam. Di pesantren mana ada. Akhwat (perempuan) dan ikhwan (lelaki) tidak boleh berduaan. Di luar, perempuan pulang hingga larut malam adalah hal lumrah. Di pesantren mana ada. Tak jarang juga setiap jam pulang sekolah nampak berseliweran para siswi yang mengenakan pakaian muslim seragam sekolah, tapi anehnya baju bagian lengan dilipat hingga siku. Terbukalah auratnya. Ada juga siswi yang jelas-jelas memakai jilbab menjuntai panjang hingga bisa menutupi d**a, malah diangkat lebar-lebar, bagian depan jilbab dijuntai ke belakang lalu dibros di bahu kanan dan kiri, katanya sih biar agak bergaya sedikit. Subhanallah. Pernah juga Sita melihat satu dua siswi yang dibonceng lelaki pakai motor, entah siapa dan apa hubungan mereka, mudah-mudahan mahram (adik kakak mungkin, tapi kenapa perempuannya memeluk pinggang si pria? Ah, barangkali takut jatuh dari motor). Syaiton, janganlah menggoda pikiran Sita untuk bersuudzon terhadap orang lain. Pergi jauh-jauh dari gadis muslimah ini. Ternyata dunia di pesantren dengan dunia di luar pesantren benar-benar jauh berbeda. Islam mengajarkan agar perempuan senantiasa menjaga kehormatan, seperti diterangkan dalam QS. Al-Ahzab : 35 “Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.” QS. An-Nur : 31 “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara k*********a dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” QS. Al-Ahzab : 33 “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu…” Maka tak satu pun alasan dapat dibenarkan jika wanita pulang tengah malam terlebih tanpa mahram dan diharamkan pula ikhtilath (bercampur-baur wanita dan lelaki yang bukan mahram). Islam secara tegas telah memberikan batasan-batasannya. QS. Al-Ahzab : 53 “…Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…” Dan di pesantrenlah yang bukan hanya diajarkan, tapi juga diterapkan secara disiplin nilai-nilai tersebut. Di luar sana, banyak siswi dan perempuan dewasa lain bahkan ada pula ibu-ibu yang justru menyalahgunakan jilbab yang mereka gunakan, katanya ikut trend kekinian. Pantas saja satu dua pelajar hamil duluan sebelum menikah. Padahal di sekolah dan di rumah jelas-jelas ia berhijab. Jangan salahkan hijabnya, tapi salahkan pemahamannya yang masih begitu dangkal tentang pentingnya hijab. Orang tua memiliki peran penting dalam penanaman nilai-nilai agama dan pembentukan kepribadian anak. Banyak sekali peristiwa negative yang terjadi di kalangan remaja dijadikan bahan perenungan sekaligus pembelajaran berharga bagi Sita. Sita lebih kuat lagi membentengi diri dengan tetap mencintai Al-Qur’an dan melaksanakan sunah-sunah lainnya. Ia tidak mau terpeleset dalam jurang kehinaan dunia yang pada akhirnya menyeretnya masuk ke neraka. Kekhawatiran ibu tidak terbukti sama sekali. Sita tak sekalipun melalaikan kewajibannya sebagai orang beriman. Malah sekarang ibu belajar banyak dari Sita. Tahajud dengan penuh kekhusyukan, duha biarpun dalam kepadatan aktifitas, mengaji meski lelah penuh mencerabut badan dan pikiran, puasa Senin Kamis, dan bersedekah tanpa diketahui orang lain (Sita menyebutnya dengan tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu). QS. Al-Baqarah : 271 “Jika kamu menampakan sedekah(mu), maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” Itulah rutinitas yang tidak pernah hilang dari Sita. Sekarang ibu yakin bahwa putri bungsunya sudah lebih dewasa malah melebihi kedewasaan tiga kakak perempuan dan satu kakak lelakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD