bc

Sita Permata Surga

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
BE
family
heir/heiress
tragedy
scary
loser
lucky dog
like
intro-logo
Blurb

Tahun 2012 warga kota digegerkan oleh sebuah kejadian tragis salah seorang siswi kelas 3 SMA yang sebentar lagi mengikuti Ujian Nasional!

Sebelum aku pergi, tak seorang pun dari anggota keluargaku yang memahami sinyal alam yang sudah diberikan Tuhan. Kasus penipuan mengatasnamakan sebuah rumah sakit mengabarkan, bahwa aku mengalami kecelakaan. Mereka meminta dikirimkan uang dengan dalih untuk mendapatkan beberapa alat yang masih serba terbatas di rumah sakit tersebut.

Semakin waktu mendekat, aku semakin rindu pada Tuhan. Dan tepat menjelang Ujian Nasional, Tuhan benar-benar memanggilku kembali kepada-Nya. Motor yang baru saja ke luar dari bengkel sehari sebelumnya, kukendarai sendiri menuju sekolah.

Bunyi tabrakan begitu hebat terdengar. Suara derit mobil truk yang dipaksa berhenti bermuatan semen berkwintal-kwintal memekakkan telinga semua orang yang ada di sekitar jalan utama tersebut.

Mushaf Al-Qur'an yang biasa k****a saat waktu senggang di sekolah jadi mengempis dan mukena yang senantiasa kukenakan ketika salat duha dan duhur di sekolah terkena bercakan darah, keduanya berada di dalam tas yang tengah kupakai, aku yakin mereka akan menjadi saksi saat aku berjumpa dengan Tuhan.

Selamat jalan ayah, ibu, semua kakak-kakakku. Jangan kalian menangisi kepergianku, karena sesungguhnya aku tidaklah pergi.

Aku hanya kembali kepada Tuhan. Pemilikku yang sesungguhnya.

Diangkat dari kisah nyata dan apa yang membuat cerita ini menjadi menarik?

Ini mengingatkan pada cerita sekaligus Film Surat Kecil untuk Tuhan. Ada bedanya, namun sama-sama memiliki keistimewaan.

Selamat membaca dan mari sama-sama memetik hikmah di dalamnya.

chap-preview
Free preview
1. Perkenalan
Di sini, di tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Ditikam sunyi. Waktu seolah terhenti. Tidak ada yang dikembalikan selain kenangan yang penuh dengan cinta dan rindu. Hari ini tidak panas juga tidak hujan. Awan kelabu menggantung. Sekumpulan burung layang-layang terbang bersama membentuk formasi ‘V’. Entah darimana dan mau ke mana, tapi yang jelas mereka bersama dan saling melindungi. Dedaunan jatuh dari ranting dan beberapa tersapu angin. Menelisik daun telinga. Udara terasa dingin. Di atas tanah merah, di depan tempat peristirahatanmu, masa lalu yang indah itu kembali menguar. Memenuhi relung hati yang terdalam. Membenak. Beberapa hari belakangan tidak ada yang dikuburkan atau memang lokasinya penuh, entahlah. Bukan persoalan. Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana menata hati agar tidak terus-menerus rapuh. Berlarut dibayangi dia. Bukan! Bukan dibayangi, tetapi membayangi. Ya, pikiran ini masih saja membayangi dia. Sita. Gadis belia yang nyaris tanpa cela. Padahal sudah bertahun-tahun kami berpisah. Bukan hanya saya atau kamu yang masih dirundung luka, tapi juga mereka. Kita. Ya, kita semua. Ingatan kita masih belum luput darinya. Dan kehilangan adalah sebuah pelajaran berharga yang membuat kita menyadari bahwa waktu dapat seketika merenggut orang-orang yang kita cintai. Belajar dari situ. Saat-saat terpenting dalam hidup adalah bagaimana menjalani waktu agar bisa semaksimal mungkin membahagiakan orang-orang yang kita cintai, karena waktu mustahil berulang dan ketika waktu berhasil merenggut orang-orang yang baru kemarin kita bertemu atau pagi tadi bahkan sejam lalu kita bertegur sapa, saling memeluk layaknya adik dan kakak yang sedang berbahagia merayakan ulang tahun salah satunya, sepasang suami istri yang baru dikaruniai anak setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, orang tua yang tengah memberi kejutan pada anaknya yang berhasil meraih prestasi di sekolah, dan sebagainya, kita baru menyadari bahwa kita amat menyayanginya dan belum sempat mengatakannya. Kebersamaan dalam sekejap lenyap bak dihantam ombak besar. Memisahkan. Tidak ada yang tahu ketetapan Allah Azza Wa Jalla. Semua terbungkus rahasia dalam sebuah catatan yang mulia dan telah tersimpan di Lauh Mahfuz sejak 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Lahir, rejeki, amal, dan kematian, semua telah Allah SWT tetapkan dan tak satu pun dapat mengelak. Allahlah yang menghidupkan dan Allah jugalah yang mematikan. Maka pertanyaan yang paling tepat untuk diri sendiri adalah sudah siapkah kita dengan semua perbekalan yang telah kita kumpulkan selama hidup di dunia dan sanggupkah kita menjalani proses hisab kelak di akhirat lantas menuai buah yang bibitnya telah kita tanam selama di dunia? Pilih buah manis atau pahit? Pilih syurga atau neraka? Semua bergantung pada usaha kita. *** Delapan belas tahun lalu lahir bakal calon pemakai sutera. Duduk di atas dipan-dipan yang terbuat dari emas. Matanya sejuk. Wajahnya jelita. Tubuhnya harum semerbak. Bak permaisuri. Tidak! Lebih dari itu, karena ia akan tetap perawan. Meski dilayani oleh para perjaka, tapi Allah SWT senantiasa menjaga kesuciannya. Inilah hadiah dari Allah untuk para wanita yang selalu menutup pandangan dan menjaga kehormatan dirinya. Hadiah untuk bidadari-bidadari syurga. Sita. Bungsu dari lima bersaudara. Anak dari pasangan berbahagia yang terpaut usia cukup jauh. Sepuluh tahun. Ayah ibunya berasal dari daerah yang sama, kabupaten yang sama, kecamatan dan desa yang sama. Desa Cicalung Kec. Maja Kab. Majalengka. Pernah dengar dari cerita ibu bahwa satu desa adalah keluarga. Meski begitu, namun anak-anak ibu terutama Sita tidak begitu mengenal seluruh anggota keluarga yang berada di kampung halaman kedua orang tuanya itu. Hal ini dikarenakan sejak ibu dan ayah menikah, mereka pindah ke Cirebon dan jarang sekali pulang kampung. Hanya saat idul fitri yang dijadikan moment kebersamaan berkumpul dengan saudara-saudara yang juga sudah berdomisili di kota lain. Itu pun tidak lama. Terhitung antara dua atau tiga hari. Selebihnya bikin acara sendiri, jalan-jalan atau piknik ke tempat wisata. Maka wajarlah yang dikenal hanya keluarga terdekat. Cukup ironis. Padahal jelas tertuang dalam QS. An-Nisa : 36 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” Teranglah sudah. Seharusnya kita senantiasa menjaga silaturahim dengan keluarga dan bukan hanya yang terdekat saja. Semoga Allah SWT mengampuni. Hanya berjarak 200 meter dengan posisi rumah mimi dan mama (sebutan nenek dan kakek, tepatnya orang tua dari ibu) yang terletak di jalan atas berseberangan dengan rumah emak (sebutan ibu dari ayah) yang harus melewati jalan lurus menukik 160 derajat dengan kanan kiri ditumbuhi pepohonan lebat. Bukan hutan. Hanya kebun-kebun yang satu diantaranya dimiliki oleh mama. Terlihat pohon rambutan, durian, alpukat, mangga, dan peuteuy yang belum berbuah, tanaman tomat yang mulai memerah, cabai, bawang merah, sereh, dan masih banyak lagi tumbuh subur di kebun mama. Di luar pekerjaan mama sebagai seorang guru sembari mengisi waktu senggang di rumah, mama lebih senang berkebun. Menanam bibit buah-buahan dan sayur-sayuran. Makanya kalau mudik, tidak perlu repot membeli bahan masakan ke pasar, cukup mencarinya di kebun. Hemat biaya. Bagi pengendara pemula, melalui rute jalan ini terbilang cukup sulit. Jangan pernah berani melaluinya tanpa didampingi pengendara yang lebih mahir. Pernah Diah, kakak Sita yang tertua, meski usianya belum terbilang tua dan lebih-lebih menolak dianggap tua, karena memang usianya tiga puluh tahun, enggan melewati jalan ini dan lebih memilih memarkir mobil dekat rumah mimi. Selebihnya berjalan kaki menuju rumah emak. Padahal sudah sering sekali Diah pergi pulang ke luar kota dengan mengendarai mobil sendiri. Jangankan pengendara sepeda motor atau mobil yang harus berhati-hati setiap kali melewati jalan ini, para pesepeda pun harus waspada. Meski tidak pernah terlihat pesepeda lewat sini. Mungkin karena terlalu beresiko (menuruni jalan lebih mudah sepeda dituntun daripada dinaiki, khawatir sepeda berlari kencang biarpun tanpa dikayuh. Dan menaiki jalan ini dengan bersepeda tentu terlalu payah dan lagi-lagi sepeda harus dituntun. Ya, kecuali ada atlet sepeda lewat sini barangkali menaiki sepeda lebih berani saat menuruni jalan dan lebih kuat saat menaiki jalan) atau memang jumlah pesepeda yang tak hanya di kota yang mulai berkurang, tapi juga di desa-desa. Mereka lebih memilih kecepatan motor. Belum selesai sampai di situ. Melewati jalan berikutnya pun akan dilalui lagi jalan menukik, tapi tak setajam jalan pertama. Hanya seratus derajat dan tak sepanjang jalan pertama. Disitulah untungnya. Lalu belok kanan tepat 90 derajat. Terdapat beberapa rumah di kanan kirinya, kolam ikan atau balong biasanya disebut oleh penduduk di sini. Dan tepat di ujung sana. Rumah paling pojok berhadapan dengan masjid kecil atau mushola. Itulah rumah emak. Itulah masjid yang dibangun emak sebagai tabungan di akhirat kelak. Sejak ditinggal suaminya meninggal dunia, saat ayah masih dalam kandungan, emak tinggal sendiri sambil mengurus mushola yang sering digunakan masyarakat sekitar untuk sholat berjamaah atau belajar mengaji bagi anak-anak kecil. Itulah karenanya ayah tak pernah tahu wajah bapaknya. Hanya melalui foto yang masih disimpan emak, ia mengenalnya. Ibu dan ayah akhir-akhir ini sering menceritakan masa kanak-kanak mereka yang banyak dihabiskan di sana. Tentang ibu dan beberapa temannya yang senang bersepeda mengelilingi pematang sawah. Tentang ayah yang diam-diam sejak kecil sudah sering memperhatikan ibu saat sedang bermain karet atau congklak, gobak sodor, petak umpet, engklek atau lain sebagainya bersama teman sebayanya. Ah, masa-masa bau kencur. Manis dan lucu. Dan ketika mereka tumbuh dewasa, saat itulah tumbuh benih cinta yang mulai mengembang di hati ayah. Kalau ibu sih cuek bebek. Tidak tahu atau tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu tentang apa itu cinta. Ibu tidak pernah sekalipun pacaran, karena mama dan mimi sepakat mendidik kelima anaknya dengan pengetahuan agama dan dalam Islam tidak dihalalkan pacaran, kecuali ta’aruf. Jaman sekarang, taaruf juga sering disalah-artikan atau sengaja disalahgunakan. Mama juga dulu membangun mushola di depan rumahnya dan sekarang diteruskan oleh adik keempat ibu, Mang o***g (hanya nama panggilan dan nama aslinya jauh lebih keren dan kece, Rahman Hakim). Mang o***g dan istrinya sepakat akan terus mengurus mushola sambil mengajar ngaji pada anak-anak sekitar yang dijadwalkan selepas sholat ashar berjamaah. Kini mama dan mimi juga emak telah tiada. Hanya kenangan demi kenangan yang masih tersimpan sering menguap menghiasi kerinduan yang tak pernah padam di hati ibu dan ayah. Sepeninggal mereka, ibu dituakan oleh keempat adik lelakinya, sedangkan ayah paling disayang oleh kedua kakaknya yang laki dan perempuan. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook