Chapter 2

1135 Words
Sebelum masuk ke dalam hutan Eyther yang terletak di tengah kota Meriah. Haden menitipkan mobil di rumah paman Ryu. Rumah pria itu terletak lima belas meter dari hutan. Paman Ryu adalah teman ayahnya. Ketiga anak muda itu sekarang tengah berada di tengah hutan. Mereka berjalan di jalan setapak tanah, yang lebarnya kurang lebih tiga meter. "Menurut paman Ryu, tanaman yang kita cari ada di sini," ucap Haden memasang pose berpikir. "Baguslah, kalau begitu jadi kita tidak perlu masuk ke hutan yang lain lagi," sahut Sava seraya menatap ke sekeliling. "Menurutku hutan ini tidak terlalu menyeramkan," ungkap Eisha setelah menyapukan pandangan ke sekitar yang tampak indah dan juga bersahabat, tak ada hal yang menakutkan. ''Kau benar, aku pun berpendapat begitu," timpal Sava yang mengangguk setuju. "Iya, memang dilihat dari luar hutan ini tidak menyeramkan, tetapi sebenarnya hutan ini menyimpan bahaya," sanggah Haden. "Hah? Apa maksudmu? Haden?" tanya Eisha mengernyitkan dahinya dengan ekspresi bingung. Sava juga menatap Haden menuntut penjelasan. Haden menoleh sebelum menjawab. "Kata paman Ryu, di sini ada banyak jebakan." "Jebakan?" beo kedua gadis yang berusia delapan belas tahun itu secara bersamaan. Haden mengangguk mengiakan. "Tetapi apa buktinya? Kita sama sekali tidak terkena jebakan?" tanya Eisha balik. Ya, bila di sini memang ada banyak jebakan. Mengapa tidak terjadi sesuatu? Paling tidak salah satu jebakan mengenai mereka, batin Eisha. "Iya, aku juga sependapat dengannya," ucap Sava menoleh menatap Eisha yang berjalan di sampingnya. Haden pun akhirnya terdiam memikirkan perkataan kedua temannya yang tampak masuk akal. Apa yang dikatakan Sava dan Eisha itu memang ada benarnya. Mana mungkin hutan seindah ini mengandung bahaya? pikir Haden. Keheningan menguasai langkah ketiga anak muda itu. Mereka sibuk berada di dalam pikiran masing-masing. "Apa mungkin paman Ryu hanya mengerjai saja?" ucapnya dengan pelan. "Hah, sudahlah tak usah dipikirkan lagi," ujar Haden mengendikkan bahu tak peduli. Haden mengambil secarik kertas abu abu dari dalam kantong celananya. Berisi nama tanaman yang harus dicari. 1. Orthosiphan Spicatus, 2. Limbago, 3. Loster, 4. Oxlipe, 5. Axlin Balanz Beberapa jam telah berlalu tanpa menemui hal yang membahayakan membuat ketiganya semakin percaya jika perkataan menakutkan itu hanya untuk membuat mereka ketakutan. Empat tanaman telah berhasil ditemukan dan diletakkan di dalam keranjang rotan. Mereka memutuskan istirahat sejenak di bawah pohon yang rimbun dan sejuk. Rasa lelah dan letih sedikit terobati. Eisha sedang mengusap cairan bening yang mengalir di wajahnya. Ternyata mencari tanaman di hutan itu banyak menghabiskan tenaga dan membuat kaki pegal juga. Ketiganya mengambil botol yang dibawa, lalu minum beberapa tegukan menghilangkan dahaga. Sava memberikan cup cake kepada Haden dan Eisha. Mereka makan bersama-sama sambil sesekali minum air. Cuaca tidak terlalu panas cenderung bersahabat, tak lama kemudian terdengar suara kicauan burung bernyanyi yang membuat ketiganya mengantuk. "Kenapa aku merasa mengantuk sekali? Apa mungkin faktor kelelahan?" Eisha berusaha untuk mempertahankan kesadarannya, tapi dia tetap kalah. Dia akhirnya tertidur seperti Sava dan Haden yang sudah lebih dulu tertidur. Ketika mata Eisha terbuka, gadis itu tengah tertidur di bawah pohon. Tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan juga lembut. Mata gadis itu terbelalak melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Hamparan benda putih bernama salju melapisi semua benda yang ada baik itu pohon, bunga, maupun tanah. Eisha sungguh kaget dan juga terkejut dengan apa yang sedang terjadi ini. Dia sampai mencubit lengan kanannya karena tidak percaya. "Astaga, ini sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di tempat yang dipenuhi dengan salju begini? Bukankah tadi cuacanya cerah dan ada banyak kicauan burung?" Eisha seperti orang bodoh yang kebingungan. Apa penyakit berjalan waktu tidurku kumat lagi? batin Eisha. Ya, memang dia ada penyakit tidur suka berjalan. Pernah dia hampir jatuh ke sungai untung saja ada orang yang membangunkannya. "Aneh, seperti ada yang hilang? Tapi apa? Kenapa aku tak mengingatnya?" Eisha memasang posisi berpikir. "Sudahlah mungkin saja itu tidak penting. Karena sudah berada di sini lebih baik aku jalan-jalan." Di depan ada sebuah jembatan yang menghubungkan dua tempat. Gadis itu berjalan melewati jembatan yang berwarna cokelat dan putih. Beberapa kelinci gemuk berwarna putih melompat mendahuluinya. Dia memakai tudung jaket merahnya di kepalanya, lalu melangkah perlahan melewati jembatan menuju ke seberang. Eisha mendongak ke atas tak percaya. Ratusan butiran salju jatuh secara tak beraturan. Dia menengadahkan telapak tangannya membentuk bola salju. Rasanya dingin, ini benar-benar nyata. Dia memegang salju. Eisha melompat girang, raut wajahnya tampak senang. "Hore! Akhirnya aku bisa menyentuh salju!" ujarnya dengan riang. Lama-kelamaan kulitnya terasa beku karena jaket merah yang dipakainya tidak mampu membuat tubuhnya tetap hangat. Gadis itu menggigil kedinginan. Aku harus cepat mencari tempat berteduh, bisa-bisa mati membeku di sini, batin Eisha. Gadis itu terus berjalan sambil mencari rumah terdekat yang ada. Benar saja, ada sebuah rumah sederhana yang dindingnya terbuat dari kayu terletak di arah jam sembilan. Rumah kecil itu dikelilingi pohon cemara. Gadis itu menahan rasa dingin yang terasa seakan menembus tulang. Dia berlari kecil sambil terus mengeratkan jaketnya. Tibalah di depan pintu masuk rumah kayu tersebut. Eisha mengetuk pintu perlahan sampai terdengar sahutan dari dalam. Kriet, pintu berukiran seekor rusa itu terbuka. Seorang nenek bertubuh lumayan gemuk keluar. Wanita tua tersebut mengenakan sweater hangat berwarna hijau gelap terlihat cocok dengan celana abu-abu yang dipakainya. "Siapa?" tanya nenek dengan nada ramah. "Namaku Vaiva, maaf telah menganggu Nenek. Apakah aku boleh menumpang berteduh sebentar," ucapnya dengan sopan. Gadis itu menyebutkan nama tengahnya. "Oh, ya, Cu, silakan masuk," balas nenek itu dengan ramah sambil mempersilakan Vaiva masuk ke dalam. Vaiva melepas sepatu yang dipakainya, meletakkannya di rak sepatu. Dia duduk di kursi dekat dengan perapian yang kebetulan sedang menyala. Melepaskan jaket dan tas meletakkan di sampingnya. Rasa dingin di tubuh perlahan-lahan digantikan dengan rasa hangat. Rumah ini terlihat nyaman walau kecil dan sederhana. Dinding kayunya dihiasi dengan poster bambu. Susunan barang-barang yang ada rapi dan teratur. Di sisi kanan ruangan terdapat sepasang kursi di tengah ada meja kaca berbentuk persegi panjang tiangnya terbuat dari kayu, sedangkan di sisi kanan ruangan terdapat perapian. Di samping kursi ada rak yang berisi buku tebal. Di pinggir dinding terdapat pot bunga kertas yang berjejer rapi. Pot tersebut terbuat dari kertas koran, sedangkan bunga dari kantong. Unik sekali. Wanita tua itu menuangkan secangkir teh hangat untuk Vaiva. Aroma teh hangat menguar menggoda gadis itu untuk meminumnya. Dia mengambil menyesap tehnya dengan nikmat sampai habis tak bersisa. "Cu, apa yang kau lakukan di hutan ini?" tanya nenek dengan nada lembut, dia ikut duduk di depan Vaiva. Vaiva tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak sebelum membalas. "Vaiva tersesat, Nek," ujarnya sambil meletakkan cangkir teh kosong di atas nampan. "Kenapa bisa tersesat, Cu?" tanya nenek dengan penasaran. Gadis itu mengusap kepalanya, lalu tersenyum. "Vaiva sepertinya tidur sambil berjalan. Jadinya, tersesat." "Kasihan sekali kau, Cu. Lalu bagaimana pulangnya nanti?" Vaiva menggeleng, entahlah kenapa dia tidak mengingat alamat rumahnya. "Ya sudah, selama Vaiva lupa. Bisa tinggal di sini dulu," tawar nenek. "Terima kasih, Nek." "Aku pulang Nek!" Suara seorang gadis tiba-tiba terdengar lantas keduanya menoleh ke arah sumber suara. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD