Chapter 3

1000 Words
Seorang gadis cantik tengah berada di depan pintu masuk. Gadis itu memakai topi wol berwarna putih gading, sweater dan celana panjang yang juga berwarna putih gading. Nenek Jasmine menarik sudut bibirnya membentuk senyuman, lalu mempersilakan gadis bersurai hitam itu untuk duduk di kursi yang kosong. "Ayo kenalan dulu," ujar sang nenek seraya melihat dua orang gadis yang hampir seumuran secara bergantian. Kedua anak gadis itu sama-sama diam dan memandang satu sama lain. Gadis berlesung pipit itu memulai duluan. "Perkenalkan namaku Layla, seorang gadis manis dan ini nenekku yang cerewet Jasmine," ucap gadis itu tersenyum ceria. Nenek yang diketahui bernama Jasmine menggelengkan kepala mendengar penuturan cucu kesayangannya yang mengatakan dia cerewet. "Dasar cucu nakal!" Nenek Jasmine menepuk pelan kepala cucunya. "Itu fakta, Nenek memang cerewet melebihi Bibi Zao." Vaiva tak kuasa menahan senyumnya menatap dua orang di hadapannya yang terbilang lucu dan juga akrab. "Aku Vaiva," ucap Vaiva seraya menjabat tangan gadis manis bernama Layla itu. "Apa kau tersesat?" tanya Layla memperhatikan tas merah yang terletak di samping gadis bermata hijau. "Bisa dibilang begitu," sahut Vaiva dengan jujur. "Nenek istirahat dulu ya kalian bisa berbicara berdua." Sekian beberapa detik diam memperhatikan, Nenek Jasmine memilih untuk membiarkan dua orang yang baru kenal itu agar lebih dekat. Dia berharap agar Layla, cucunya mempunyai teman yang sebaya. Jasmine berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Baik, Nek." "Jangan sedih, kau bisa tinggal di sini bersama aku dan nenek," ujar Layla menawarkan. "Terima kasih, sudah mau menerimaku di sini," jawab Vaiva tersenyum dengan tulus. "Oh, ya, kau berasal dari ras mana? Kalau aku dari ras elf, " ujar Layla dengan raut wajah yang ramah. "Ha, elf?" ulang Vaiva dengan ekspresi kaget dan juga bingung. Bukankah elf itu hanya dongeng anak-anak? Rupanya elf itu memang ada. Dan lagipula telinga Layla tidak runcing? batin Vaiva bertanya-tanya. "Tak usah kaget begitu," ujar Layla dengan tersenyum. "Aku menyembunyikan telinga runcingku." Gadis berambut hitam pendek itu mengusap kedua telinganya secara bersamaan. Apa, bagaimana mungkin telinga gadis itu berubah menjadi runcing dalam hitungan detik? batin Vaiva. Lagi-lagi Layla tertawa karena ekspresi lucu Vaiva. "Ini namanya sihir, Vaiva. Kau belum pernah belajar sihir, ya?" tanyanya. Vaiva dengan polosnya menggeleng. "Tidak pernah," jawabnya. Ya, bagaimana aku bisa mempelajari sihir? 'Kan aku hanya manusia biasa, tapi kenapa Layla dan neneknya terhadapku biasa saja? Padahal jika dipikir aku berbeda dengan mereka, batin Vaiva bertanya-tanya. Layla mengangguk mengerti. "Oh, wajar saja kau kaget ketika melihatnya. Padahal 'kan mempelajari sihir itu hal yang menyenangkan." Vaiva teringat dengan apa yang ingin ditanyakannya tadi. "Layla, apa elf berteman baik dengan manusia?" "Manusia yang tidak punya kekuatan itu? Dan tergolong makhluk yang serakah dan suka merusak hutan?" tanya Layla. Kenapa Layla berkata buruk tentang manusia? Apa memang benar manusia seperti itu? pikir Vaiva. "Sepertinya begitu," jawab Vaiva mengangguk. "Dulu suku elf berteman dengan manusia, tapi tidak lagi sekarang," balas Layla. "Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur saja dari bibir Vaiva. "Kau tahu tidak? Jika suku manusia melakukan hal yang kejam dan juga jahat. Mereka menangkap suku elf untuk dijadikan bahan penelitian dan menjadikannya pelayan secara gratis dan banyak hal yang buruk juga yang dilakukan oleh suku manusia," jelas Layla dengan menggebu-gebu. Vaiva bisa menangkap nada amarah dan juga kesal di dalam nada suaranya itu. "Oh, begitu rupanya, ya. Aku tak tahu soal itu," jawab Vaiva dengan jujur. "Aku sangat benci dengan suku manusia, mereka semuanya jahat!" sambung Layla. Rasanya perkataan tidak suka itu langsung menghujam ke jantungnya, karena Vaiva merasa dia juga suku manusia. Hanya saja menurutnya, tak semua manusia itu jahat, contohnya dia sendiri. Tapi jika aku menjelaskannya sekarang, takutnya malah aku dikira suku manusia dan Layla akan membenciku juga. Lebih parah lagi jika dia menyuruh suku elf yang lain menangkapku 'kan gawat, pikir Vaiva panjang lebar. "Layla, apa boleh bisa ke kamar mandi?" tanya Vaiva untuk mengubah ke topik yang lain. "Oh, kamar mandinya ada di sana," sahut Layla sambil menunjuk ke arah pintu berwarna kuning cerah di sebelah kiri. "Aku permisi ke kamar mandi dulu," ujar Vaiva. "Oh, silakan." Vaiva segera berjalan ke dalam kamar mandi tak lupa menutup pintu. Gadis itu mengembuskan napas pelan. Aku harus berhati-hati dengan suku elf. Kaum itu punya dendam dengan suku manusia, batin Vaiva. Identitas aku sebagai manusia jangan sampai ketahuan, pikirnya lagi. Tak lama kemudian Vaiva meringis kesakitan. Dia membuka lengan kaos yang dipakainya tepatnya di sumber rasa sakit. Betapa terkejutnya dia saat melihat ada yang berbeda dengan bahu kanannnya itu. Ada tanda berbentuk seperti tato atau mungkin lambang di sana, lambangnya berbentuk bunga salju berwarna biru. Kini bahu kanannya tidak sakit lagi. "Ada apa denganku hari ini? Dan juga kenapa tato ini muncul secara tiba-tiba?" tanya Vaiva dengan heran. Jujur dia merasa takut. Sementara itu di tempat lain tepatnya di dalam sebuah ruangan yang mewah yang diterangi beberapa lampion yang digantung. Satu sosok sedang terbaring di atas ranjang berhias emas. Sosok Pangeran Kenzie yang begitu pucat dan tak bergerak sama sekali. Hanya detak jantung yang lemah dan napas beraturan yang menandakan sosok itu masih hidup. Di samping ranjang Ratu Celia sedang duduk memperhatikannya, sebelah tangannya mengusap pipi Kenzie yang dingin, kemudian beralih mengusap rambut hitam putranya. "Kapan dirimu akan bangun, Nak?" bisik Ratu Celia parau. Tetesan arus bening tanpa bisa dicegah turun beraturan bagai air hujan. Wanita paling nomor satu di kerajaan Nousha kembali menangis dalam diam. Walau dia berusaha keras untuk tidak menangis, tetapi dia tak bisa. Seseorang mengetuk pintu pelan. Dengan kasar permaisuri menghapus air mata yang tersisa sebelum bangun berbalik menatap pelayan. Dayang pribadi permaisuri Nousha membungkuk hormat. "Silakan berdiri." Suara Ratu Nousha terdengar berwibawa saat mengatakannya. "Maafkan hamba, Permaisuri. Yang Mulia Raja meminta Yang Mulia Permaisuri untuk segera berkumpul di ruang raja," ucap Lia dengan wajah yang menunduk. "Katakan kepadanya aku akan segera ke sana." "Baik, Yang Mulia Permaisuri." Setelah itu, pelayan bernama Lia izin undur diri sebelum keluar dari ruangan tersebut untuk menyampaikan pada prajurit yang menyampaikan pesan tadi. "Bunda akan datang mengunjungimu lagi, Nak." Diciumnya dahi putranya yang terasa dingin dan beku. Permaisuri Kerajaan Nousha bangkit dari posisinya, dia berjalan keluar setelah menutup dan mengunci ruangan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD