Chapter 4

1031 Words
Siapa yang tidak kaget dengan perubahan yang tiba-tiba ini? Hampir saja Eisha menjerit ketakutan melihat bayangan cermin tersebut. Di sana terdapat gadis berambut hitam, dengan sepasang mata hijau, dan sepasang telinga runcing. "Telingaku yang normal, di mana dia? Ke-kenapa dia jadi ikutan runcing pula?" ujar Eisha sambil menyentuh telinganya yang runcing bagian ujungnya. "Bagaimana ini? Apa telingaku akan normal kembali?" ucapnya dengan nada takut. "Bagaimana jika dia tidak kembali normal? Aku pasti akan dikira bangsa elf." Eisha bergerak mondar mandir di dalam kamar mandi. "Oke, Oke, aku harus tenang. Ayo tenangkan dirimu." Eisha berkata di depan cermin sambil menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya kembali. Berusaha menghilangkan perasaan cemas di dalam hatinya. "Semuanya akan baik-baik saja, kau harus yakin Eisha." Tak mudah untuk menghilangkan rasa cemas dan takut di dalam dirinya. Dari luar terdengar ketukan pintu. "Vaiva, apakah kau baik-baik saja di dalam?" tanya suara dari luar yang sepertinya Layla yang memanggilnya. "Apakah kau merasa tidak enak badan?" sambung Layla lagi karena Eisha belum menjawab. "Aku baik-baik saja, Layla. Aku akan segera keluar setelah menyelesaikannya," sahut Eisha sedikit berteriak. Ruangan kamar mandi ditutup dengan rapat. "Oh, baiklah, selesaikanlah aku kembali ke ruang tamu menunggumu," jawab Layla. Awalnya dia berpikir jika teman barunya ada sesuatu, karena begitu lama di dalam kamar mandi. Setelah dirasanya Vaiva tidak apa-apa, dia kembali ke ruang tamu untuk makan kacang rebus yang baru saja matang. "Ya," jawab Eisha singkat. Eisha merapikan sekali lagi rambutnya yang sempat berantakan. "Oke, Eisha, anggap saja semua ini terjadi karena tubuhmu beradaptasi dengan lingkungan baru. Dan ambil saja sisi positifnya, jika mereka melihat telingamu yang berbeda maka bisa saja nyawa akan dalam bahaya, dan karena telingamu berubah sama seperti mereka, kau akan aman ke depannya." "Aku pasti bisa melewati hari-hari ke depannya! Semangat Eisha!" Eisha menggenggam tangannya sembari mengucapkan kata semangat. Eisha membuka pintu kamar mandi dan berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Dia duduk di dekat Layla yang tengah mengupas kulit kacang. "Vaiva, kau sudah keluar rupanya?" ujar Layla sambil memasukkan kacang ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan. Layla sudah melepaskan topi wol putih gading dan sepatu bootnya, dia hanya memakai baju wol, celana wol, dan kaos kaki saja. Eisha mengangguk. "Maaf, aku tadi agak lama," ujarnya. Layla tersenyum manis. "Tak masalah." Pandangan gadis itu terarah pada kaos merah muda yang dipakai oleh Eisha. Merasa ditatap begitu Eisha pun bertanya. "Ada apa?" tanyanya. "Apa kaos yang kau pakai bisa membuatmu tak kedinginan lagi?" tanya Layla. "Aku merasa sedikit dingin saja, tapi itu tak masalah bagiku," sahut Eisha tersenyum. Layla meletakkan kacang ke tempatnya, kemudian bangkit dari posisi duduknya, dia mengajak Eisha ke kamarnya. Eisha hanya patuh saja. Setelah mengganti pakaian Eisha dengan pakaian berbahan wol. Mereka berdua kembali ke ruang tamu. "Bukankah ini terasa lebih hangat?" tanya Layla, melanjutkan makan kacang tanah lagi. Tampaknya gadis itu sangat menyukai kacang tanah. "Iya, kau benar, aku merasa lebih hangat. Terima kasih Layla," ucap Eisha. "Oh, ya, maaf lupa menawarkan. Ayo makan kacangnya juga, kacangnya juga masih panas," tawar Layla sambil mempersilakan. Eisha menggeleng. "Maaf, bukannya aku menolak, tapi aku alergi dengan kacang," jelasnya. Layla mengangguk mengerti. "Oh, baiklah, tidak apa-apa. Santai saja." Eisha melihat ke luar melalui jendela yang ditutup dengan rapat agar udara dingin tak masuk ke dalam ruangan. "Kapan saljunya akan berhenti?" Layla melihat ke arah yang sama dengan Eisha. "Di sini sudah memasuki musim dingin, saljunya tiap hari akan turun," ujarnya. "Lalu bagaimana para penduduk beraktivitas?" tanya Eisha yang penasaran. "Maksudmu aktivitas seperti bekerja dan sekolah?" tanya Layla balik. Eisha mengangguk sebagai jawaban. "Musim dingin sudah terjadi selama bertahun-tahun di Kota Quattuor. Tentunya para penduduk sudah memiliki persiapan," jelas Layla. "Hah? Maksud dari bertahun-tahun itu, apakah di kota ini hanya ada musim dingin?" tebak Eisha tepat sasaran. Giliran Layla yang mengangguk. "Ya, kau benar sekali! Di Kota Quattuor hanya ada satu musim yaitu musim dingin saja sepanjang tahun." Wajah Eisha tampak terkejut. "Lalu bagaimana dengan makan dan minum, bukankah akan sangat sulit?" "Walaupun hanya ada musim dingin, tapi masih ada hewan-hewan yang bisa diburu seperti kelinci beyaz," sahut Layla. Eisha mengangguk mengerti. "Oh, begitu, ya," ujarnya. "Vaiva kau berasal dari Kota mana?" tanya Eisha. "Aku... tak ingat berasal dari kota mana," jawab Eisha menggeleng. Dia telah berusaha keras untuk mencari ingatan di dalam memory otaknya, namun tidak menemukannya. Eisha memijat kepalanya yang terasa sakit. "Sudah, tak usah berusaha untuk mengingatnya lagi jika memang telah melupakannya," ucap Layla. "Iya, Layla," jawab Eisha mengangguk. *** Tak ada bedanya antara siang dan malam. Baik siang ataupun malam, keduanya sama-sama dingin. Saat keluar ruangan untuk melakukan aktivitas harus selalu memakai jaket tebal, topi berbahan wol, kaos kaki, dan kaos tangan, jika tak ingin tubuh membeku. Bagi Eisha memakai semua itu sungguh merepotkan. Selama ini dia tinggal seingatnya di kota yang hanya punya dua musim yaitu musim panas dan musim hujan saja. Sungguh menyebalkan sebagian besar ingatannya kabur melarikan diri, dia tak tahu dia sebelumnya tinggal kota mana? Jika di dalam rumah tidak ada perapian, Eisha yakin pasti sudah lama mati kedinginan dan membeku. Dia sungguh tak menyangka ternyata ada Kota yang hanya punya satu musim, setahunya dalam satu tempat minimal ada dua musim, ternyata belum tentu. Mau tak mau selama Eisha belum bisa menemukan jalan untuk pulang, dia harus tinggal di Kota Quattuor. Kota yang sangat dingin. Eisha sedang membantu Layla memotong sayuran berwarna putih. Entahlah bentuknya seperti wortel pada umumnya, hanya warnanya yang berbeda. Kalau tak salah Layla menyebutnya sebagai wortel putih. "Apa sayurannya sudah selesai dipotong?" tanya Layla sambil menghampiri Eisha. "Ya, sudah selesai aku potong." "Kalau sudah tolong cuci sayurannya di sana. Aku sebentar lagi akan selesai motong daging kelinci beyaz," ujar Layla tanpa menoleh, dia terlalu fokus memotong daging berwarna merah muda menjadi bentuk lebih kecil. "Baiklah, aku mengerti!" sahut Eisha. Dia membawa baskom berisi wortel putih untuk dicuci di dekat kamar mandi. Eisha mencucinya sampai bersih. Eisha berpikir dia harus membantu Layla dalam mengerjakan pekerjaan rumah selama dia tinggal bersama Layla dan nenek Jasmine. Eisha bukanlah gadis tipe tak tahu malu. Dia akan mencari tempat tinggal yang baru jika ada kesempatan. Tak ingin memberatkan dan merepotkan orang lain, apalagi Eisha dengan Layla dan nenek Jasmine baru sehari kenal. Tak ada yang menjamin, jika mereka orang baik bukan? Eisha harus tetap waspada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD