bc

White Ink

book_age16+
180
FOLLOW
1K
READ
time-travel
kickass heroine
brave
drama
bxg
humorous
female lead
campus
city
royal
like
intro-logo
Blurb

Mezira Rien, gadis yang melukis menggunakan tinta dan penuh imajinasi aneh. Tidak tahu tinta putih datang dari mana, membawanya masuk ke zaman di mana kotanya masih menjadi kerajaan. Seketika dia menikah dengan pangeran Zaliar Ifaro yang di kenal sebagai pangeran Zaro dan menjadi pelukis legendaris.

Dia harus menyelamatkan kerajaan Rurua dari kerajaan Aru. Membuat kisahnya bersama pangeran Zaro menjadi romansa di tengah peperangan. Bagaimana perjalanan mereka? Sedangkan Rien berada di dunia yang berbeda.

Cover by Aloegreen

Font : Many Weatz by PicsArt, Milasian Circa by PicsArt

chap-preview
Free preview
1. Halusinasi
 Kuas tergeletak di atas lukisan setengah jadi. Gadis berambut cokelat itu ketiduran setelah bergadang. Kamar bernuansa putih yang sangat kotor, berserakan penuh kertas bertinta hitam. Alarm handphone-nya berbunyi tepat di samping telinga. Seketika gadis itu terjingkat. Meraba setiap sisi ranjang mencari handphone dengan bingung sampai semua kertasnya jatuh. Saat berhasil menemukan handphone-nya, dia terbelalak melihat jam digital. Pukul sembilan pagi sudah lewat. Gadis itu segera bangun dan kaget melihat keadaan kamarnya. Meringis menepuk dahinya. Dengan panik dia membereskan semua kertas itu. Tidak sengaja tintanya tersenggol tumpah membasahi setengah lukisannya.   Dia semakin gugup. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Sebuah panggilan dari pihak pameran di Universitas tempatnya kuliah. Gadis itu menggaruk kepalanya frustasi. Dengan senyum pahit menerima telepon dan memulai pembicaraan tanpa mendengarkan orang di panggilan berbicara.  "Halo, Pak panitia. Kejadiannya tidak disengaja. Semua lukisanku berantakan. Ditambah aku kehilangan tinta sekarang. Semalam aku sudah bekerja keras, tapi entah kenapa aku bisa tertidur. Pak panitia, bisa kau beri aku waktu sampai tengah siang? Aku akan buat ulang semuanya."   Menjelaskan dengan sangat tergesa-gesa, gadis itu memasang raut panik.   "Apa? Astaga, kau ceroboh sekali! Bagaimana kau membuat lukisan lagi jika tintamu habis? Dengar, acara akan di mulai lima belas menit lagi. Aku tidak bisa membantumu, Rien. Begini saja, kau punya cat? Lukis saja pakai cat!" ujar pak panitia di telepon.   Gadis bernama Rien itu menganga seperti ikan kekurangan air. "Apa, Pak? Cat? Aku... Aku tidak bisa melukis pakai cat. Aku hanya bisa pakai tinta. Pak, tolong bantu aku untuk mengundur acaranya. Aku akan cari tinta segera dan melukis dengan cepat. Demi nilaiku, Pak!" bujuk Rien sambil mondar-mandir.   Terdengar suara helaan napas berat dari pak panitia.   "Acaranya tidak bisa mundur. Kalau kau ingin nilaimu selamat, maka melukislah segera. Semua temanmu sudah di sini dengan karyanya. Hanya kau, Rien. Aku suka gaya lukisanmu jadi aku memanggilmu. Semangat!" ujarnya terakhir lalu mematikan panggilan.   "Halo? Halo?... Pak panitia, halo? Ck, sial!" decak Rien saat tidak mendengar sahutan dari lawan bicaranya.   Namanya adalah Mezira Rien, gadis penuh imajinasi yang dia tuangkan lewat lukisan. Usianya dua puluh tahun. Cerewet, ceria, dan lincah. Mahasiswa semester tiga di fakultas seni rupa. Tinggal sendirian di kota Rurua yang penuh warna. Sayangnya lukisan Rien hanya memakai tinta.   Dia membanting handphone ke ranjang lalu meremas rambutnya kuat. Merengek dan meracau jika nasibnya hari ini sangat buruk. Memandang semua kertas dengan perasaan kacau. Dalam waktu lima belas menit, tidak memungkinkan untuknya melukis lagi. Rien menarik napas sesegukan seperti orang menangis. Tiba-tiba menepuk tangannya semangat dan tidak frustasi.   "Ayo, Rien! Jangan sedih! Jangan menangis! Hiks, tapi itu semuanya hancur gara-gara bangun tidur! Bawa saja apa yang ada! Hah, aku harus terima apa yang akan mereka katakan nanti." ucap Rien sambil menepuk pipinya kanan-kiri dengan pelan.   Menghembuskan napas kasar lalu tangannya dengan cepat membereskan tinta dan kertas. Memilih beberapa lukisan yang menurutnya tidak terlalu buruk saat tertuang tinta. Dia mengeringkan tinta menggunakan Hair Dryer karena terpaksa sekaligus buru-buru. Mengejar dan dikejar waktu itu adalah hal yang Rien benci. Dia sangat kelagapan, mendadak pergerakannya menjadi sangat cepat.   Mengambil figura kayu untuk memasang semua kertas lukis itu. Demi nilai dan biaya murah, tidak mau menggunakan kanvas, tetapi melukis pakai tinta. Keunikan dan kreatifitas Rien yang menjadi kesan tersendiri. Itu sebabnya lukisan Rien diberi kesempatan masuk pameran untuk tambahan nilai, karena aneh.   Sepuluh menit berlalu dan semua sudah siap. Dia tidak mandi, hanya berganti pakaian dan langsung membawa semua hasil karyanya ke kampus. Sisa waktu lima menit tidak cukup untuk berkendara dengan kecepatan normal. Rien melajukan motornya sangat cepat hingga menerobos lampu merah. Sampai di kampus dia memarkirkan motornya sembarangan. Pameran berada di dekat Fakultas Seni Rupa. Dia berlari seperti orang kesetanan. Beberapa kali menyenggol mahasiswa yang menghalangi jalannya, lalu minta maaf tanpa berhenti berlari.   Sampai di tempat pameran, dia terlambat. Tepat berdiri di depan kata selamat datang untuk pameran, Rien terpaku. Semua karya dari mahasiswa terpilih yang satu fakultas dengannya dipamerkan. Banyak orang yang berjalan-jalan dan melihat dengan rasa kagum para penguji juga menilai satu per-satu. Rien melongo dengan napas memburu. Lukisannya masih ada di tas. Seakan semuanya benar-benar sia-sia. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya, membuat Rien kaget dan menoleh.   "Eh, Pak panitia. Pak, apa aku masih bisa ikut pameran? Aku bawa lukisanku. Izinkan aku masuk, aku mohon!" pinta Rien sangat memohon.   "Huft, kau lihat sendiri. Sudah terlambat, Rien. Oh, ya, bagaimana kau bisa ke sini? Maksudku, bukankah kau bilang lukisanmu ada masalah?" pak panitia justru bertanya.   Rien berdecak frustasi. "Pak, kalau aku tidak ikut, gimana dengan nilaiku? Izinkan aku masuk, ya! Bantu aku sekali ini saja!" Rien masih memohon sambil mengangkupkan tangannya. Tidak menjawab pertanyaan pak panitia.   Orang itu menghela napas pasrah, lalu menggeleng. Membuat Rien kecewa.   "Kalau kau bersikeras, coba tanya ketua pameran. Bujuk dia dan perlihatkan lukisanmu," kata pak panitia memberi saran.  Seketika senyum Rien merekah. "Kau benar!" pekiknya langsung pergi mencari ketua pameran tanpa menghiraukan pak panitia.   Berlari keliling pameran dari dalam sampai luar mencari ketua pameran. Sesekali temannya menyapa tidak Rien hiraukan. Sampai dia tiba di ujung fakultas, dia berhasil menemukannya. Sayangnya ketua pameran itu sedang sibuk bicara dengan rekannya. Rien tidak mungkin menyela. Namun. Jika dia menunggu bisa kehilangan waktu. Gelisah sambil terus menatap ketua pameran dan jam digital di handphone-nya. Karena tidak sabar, Rien memberanikan diri untuk menghadap ketua pameran.  Menceritakan keadaannya dan menunjukkan semua lukisannya. Tidak Rien sangka jika dia masih diperbolehkan ikut pameran. Dengan senang hati Rien memajang karyanya. Sayangnya, pihak penguji menilai buruk lukisan Rien, terlebih keterlambatan waktunya. Semua orang mendengar penghinaan itu.   "Kau melukis atau menuangkan tinta? Sangat bagus! Hampir satu kertas tertutup tinta dan tidak jelas!" ujar sang penguji sambil mencoret-coret kertas.   Hati Rien sangat sesak dan tidak terima. Berulang kali dia menjelaskan jika terjadi kecelakaan kecil dengan lukisannya, tetapi mereka tidak mau dengar. Justru memberi nilai buruk pada Rien. Dia tidak diperbolehkan ikut pameran manapun.   Deg!  "Ini tidak bisa! Aku terima jika nilaiku buruk di sini, tapi tidak di terima di pameran lain? Apa ini sangat parah? Keputusan apa ini?"   Rien sampai berani mempertanyakan keputusan penguji. Itu menambah kesannya semakin buruk. Rien menjadi tontonan hingga para penguji meninggalkannya dengan keputusan tetap. Rien geram. Mengepalkan tangannya kuat sambil menatap punggung para penguji itu yang sudah agak jauh. Kemudian menghela napas sabar, mengemasi lukisannya dengan pasrah.  "Rien?" panggil seseorang dengan suara sedih.   Rien menoleh dan tersenyum kecil. "Tidak masalah. Mungkin ini nasib buruk. Hah, sudahlah. Mereka itu perlu kaca pembesar yang lebih bagus biar tau kalau lukisanku masih layak. Aku membuatnya susah payah dan mereka bilang... Huft, entah bagaimana nasibku selanjutnya." ucap Rien sambil melanjutkan aksi berkemasnya.   Orang itu bernama Marmada Alie. Berada di jurusan yang sama dengan Rien. Jika ada tugas mereka selalu bersama. Sayangnya jarang bertemu karena Alie bekerja paruh waktu di toko penjual alat lukis.   "Astaga! Kau jadi bahan tontonan tadi. Semua orang pasti membicarakanmu!" pekik Alie heboh.  "Haha, biarkan saja. Kalau mereka macam-macam, aku akan lukis wajahnya pakai arang!" ancam Rien sambil tangannya meremas pelan dengan ekspresi serius. Sengaja mengeraskan suaranya agar orang yang ada di dekatnya mendengar. Mereka melirik Rien dan pura-pura cuek.  "Rien... Mereka dengar tau!" pekik Alie lagi.  "Sstt! Ayo pergi! Aku muak di sini. Sakit hati tau nggak!?" Rien sedikit teriak di akhir ucapannya. Alie hanya meringis sambil mengikuti langkah Rien menuju parkiran motornya.   Sampai di tengah jalan, pak panitia menghentikan mereka. "Rien? Bagaimana?" tanyanya.   Rien mendesah lalu meringis. "Bagaimana lagi, Pak? Sudah hancur!" jawabnya sok ceria.   "Ck, berhenti tersenyum! Apa rencanamu selanjutnya?" tanya pak panitia penasaran.   Rien berdecak sok. "Hah! Tentu saja membuat yang lebih baik! Mereka pikir aku sangat buruk apa? Aku Mezira Rien, tidak akan berhenti melukis hanya karena ancaman dan hinaan penguji itu! Masih ada banyak cara untuk nilai bagus, dapat apresiasi, apalagi hal baik yang menguntungkan. Kenapa harus berkecil hati? Hahaha, aku benar, 'kan?" tanya Rien sambil mengangguk menatap pak panitia dan Alie bergantian setelah tertawa.   Mereka mengangguk kompak dengan ekspresi yang berbeda. Rien tersenyum penuh kemenangan meskipun hatinya masih kesal.   "Baguslah kalau kau tidak hilang harapan. Aku senang mendengarnya. Kalau ada waktu kita bisa bertemu lagi. Aku tunggu kau di pameran selanjutnya, Rien. Aku percaya pada bakatmu!" ujar pak panitia lalu melenggang pergi meninggalkan senyuman.  "Bye-bye pak panitia yang baik! Sampai jumpa lagi!" jawab Rien semangat.   Alie menyenggol lengan Rien. "Eh, kau mengenalnya?"   Rien menoleh masih dengan senyum lebar. "Tidak. Dia salah satu panitia. Katanya terkesan sama caraku melukis. Jadi dia baik padaku. Dari awal proses pameran sampai sekarang aku selalu berkomunikasi dengannya. Dia baik, 'kan?" jelas Rien.   Dahi Alie berkerut heran. "Hmm, tapi aku rasa kalian kenal dekat. Dia sangat percaya padamu," ujar Alie.  Rien ikut berkerut dahi. "Apa kelihatan begitu?" tanyanya. Alie mengangguk. "Ah, biarlah. Ayo ke toko tempatmu kerja. Aku mau beli tinta." sambung Rien dan menarik tangan Alie.   Alie hanya menurut sampai mereka berpisah dan naik motornya masing-masing. Sepuluh menit mereka tiba di toko. Penuh perlengkapan lukis membuat Rien berbinar senang. Ini masih siang. Jadwal kerja Alie masih beberapa jam lagi. Mereka hanya singgah sebentar.   Mengitari toko, mengambil beberapa barang yang dia butuhkan. Rien berpikir keras agar dapat mengembalikan nilai lukisannya. Tidak masalah tidak mendapat nilai tambahan, tetapi yang terjadi di pameran membuat namanya buruk. Rien akan melukis lebih bagus dan mencari cara agar lukisannya dipandang.   Suatu hari nanti, kata itu yang selalu membuat Rien berusaha. Entah apa yang akan datang di kemudian hari, Rien yakin akan luar biasa di suatu hari nanti jika saat ini dia bekerja keras. Berbagai cat warna-warni tidak menarik perhatiannya. Jira berdecak karena tidak menemukan tinta. Alie sampai lelah mengikuti Rien berputar-putar toko. Dia terus mengeluh dan memutuskan meninggalkan Rien sendirian. Alie ingin pulang sebelum sore datang dan dia mulai kerja.   Rien tidak masalah, justru menyuruh Alie pergi. Menuju pelayan toko, bertanya apakah tintanya habis. Pelayan itu menyuruh Rien menunggu sementara dia mencari tinta. Tidak lama kemudian, pelayan toko itu datang membawa satu tinta yang tersisa. Rien sedikit kecewa, tetapi tetap menerima tinta itu. Kuas, tinta, kertas, dan kanvas sudah di beli. Semua Rien masukkan ke dalam tas ranselnya. Saat ingin memakai ranselnya, sebuah sinar terang terlihat di celah resleting, membuat Rien penasaran dengan mata menyipit silau. Dia kembali memeriksa tas-nya yang tidak ada cahaya seperti tadi. Rien bingung, menggaruk kepalanya merasa yakin jika dia melihat sinar terang.   "Hei, apa kau lihat sinar? Cahayanya sangat terang, bahkan lebih terang dari lampu. Ada di tasku tadi." tanya Rien pada pelayan toko sambil menganggukan kepalanya seakan meyakinkan.   Pelayan toko itu bingung lalu menggeleng. "Tidak. Tidak ada apa-apa di tasmu," jawabnya.   "Ha? Tidak ada? Kau pasti melihatnya tadi, 'kan? Tidak mungkin kalau hanya aku yang lihat," Rien masih bersikeras dengan pertanyaannya. Pelayan toko itu menggeleng.   Rien menggaruk kepalanya lagi lalu berbalik. Melihat tas-nya dan memakainya perlahan. Berjalan keluar toko sambil berpikir.   'Apa aku salah lihat? Jelas-jelas ada sinar keluar lewat celah resleting, tapi pelayan itu bilang tidak ada apapun. Mungkin aku salah lihat kali, ya?' batin Rien.   Dia menggeleng pelan lalu pulang.   ~~~  Berbagai jenis jus buah berjejer di meja. Kanvas, kertas, dan peralatan lainnya disiapkan dengan cepat. Menggulung rambutnya asal dan mulai beraksi dengan kuas. Senyum terbit kala idenya terus mengalir tanpa halangan. Tidak ada satupun kegagalan, fokus hingga menghabiskan waktu berjam-jam. Matahari sudah berada di barat. Sinarnya memantul lewat jendela. Sesekali matanya mengernyit silau, dia berpindah posisi tanpa melepaskan kuasnya.   Bola matanya bergerak-gerak menyusuri setiap goresan yang dia buat. Jus itu masih utuh tanpa tersentuh sekalipun. Tidak ada niat melakukan hal lain, bahkan lupa untuk makan dan minum. Melukis, melukis, dan melukis sampai menghasilkan beberapa karya unik yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa namanya. Hanya menuangkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan, Rien seperti hilang kendali.   Rien berhenti saat tintanya habis. Dia kecewa masih belum puas mencoret kanvas dan kertas. Masih ada sisa sedikit di kuas, Rien mendesah pasrah dan meletakkan kuasnya. Bangkit merenggangkan badan yang pegal. Lalu, menatap semua lukisannya dengan senyum.   "Sayang sekali, aku kehabisan tinta. Hah, kalau begini terus aku bisa... Ha? Sudah sore?" gumam Rien saat pandangannya tidak sengaja mengarah ke jendela.   Dia menepuk dahinya keras sambil meringis, "Bodohnya aku sampai lupa waktu."   Rien menuju meja kecil di tepi ranjangnya, mengambil handphone dan memanggil seseorang. Lama Rien menunggu akhirnya terjawab juga. "Halo? Alie, kau sudah kerja?" tanya Rien tanpa basa-basi.   "Tentu saja. Ini sudah sore tau!" jawab Alie yang berada di toko tempatnya bekerja.  Rien mendesah bingung. "Aku mau ke kampus menyerahkan tugas yang kemaren. Aku lupa gara-gara sibuk melukis buat pameran semalam. Dosennya pasti sudah mau pergi. Kau temani aku, ya!" pinta Rien.   "Aku tidak bisa. Kalau gajiku dipotong gimana? Kau pergi sendiri saja. Oh, ya, sekalian tolong tanyakan berapa nilaiku, haha. Bye, Rien!"   Alie memutuskan panggilannya. Rien ingin bicara lagi, tetapi sudah tidak sempat. Dia mencebikkan bibirnya. "Alie malah takut gajinya dipotong. Aku minta di temani juga karena takut. Dosennya mengerikan! Kalau aku di tolak sebelum menyerahkan tugas bagaimana? Setidaknya kalau ada teman aku tidak gemetaran, 'kan." gerutu Rien.   Menaruh handphone sembarangan di ranjang. "Oh, ya, aku harus mandi cepat!" pekiknya sadar akan waktu.   Baru beberapa langkah kakinya berhenti. Telinganya berdengung sampai kepalanya pusing. Rien memegang telinganya sambil mendesis, tetapi ada desisan lain seakan berbisik memanggil namanya. Rien terkejut, sinar terang muncul dari resleting tas itu lagi. Dia menoleh dengan takut. Silau membuatnya susah melihat. Karena penasaran, Rien mendekat sembari menutup matanya dengan tangan. Semakin dekat semakin terang, suara itu juga semakin jelas. Dengan gemetar Rien mencoba meraih tas-nya. Namun, Rien berhenti. Dia menggelengkan kepala kuat dan berbalik badan.   "Tidak, tidak, tidak. Ini pasti halusinasi." gumam Rien tidak percaya.   Dia kembali menoleh ke belakang dan sinar itu masih ada. Rien menutup matanya rapat-rapat dan bergegas pergi.   Lukisan dibiarkan berserakan. Kamar berantakan juga tidak dipedulikan. Rien sangat tergesa-gesa. Hanya membawa tugas di tas yang berbeda Rien pergi kembali ke kampus. Pukul empat sore kampus masih terbuka. Tetap saja Rien merasa gelisah.   "Hah, seharian kejar-kejaran sama waktu demi nilai. Kalau tugas ini tidak diterima, akan aku lempar ke wajahnya dosen!" gerutu Rien setelah memarkirkan motor.   Kampus terasa sepi, hanya beberapa mahasiswa yang masih setia duduk di gasebo sambil mengerjakan tugas. Beberapa dari mereka juga menyapa Rien. Rien hanya menanggapinya dengan senyum tanpa berhenti berjalan. Saat tiba di depan ruang dosen, dia merapikan sedikit pakaiannya dan menghembuskan napas tenang. Mengetuk pintu dan membukanya. Memberi salam dan mencari sang dosen. Sayangnya tidak ada. Rien bingung, keluar dari ruangan mencari dosennya hingga ke parkiran. Tepat sesuai dugaannya, sang dosen sedang membuka pintu mobil ingin pergi. Segera Rien menghampiri dan menghentikan dosennya.   Rien mendesah lega saat tugasnya diterima. Namun, mendapat teguran karena kejadian di pameran. Rien pasrah menjadi sorotan sekarang. Berjalan lunglai menuju motornya sambil memegang tali tas selempangnya. Langit sore berubah menjadi gelap. Rien mendongak menatap awan hitam. Sebentar lagi hujan akan turun. Rien memilih tidak jadi pulang dan menunggu di kampus. Duduk di gasebo kayu, menyangga kepalanya tidak tahu tujuan.  Hujan turun dengan derasnya. Gasebo kampus terasa dingin membuat Rien terbawa suasana. Melamun menatap pohon yang bergoyang-goyang tertiup angin. Tidak sadar handphone-nya bergetar. Sampai dua panggilan tidak terjawab, Rien baru sadar untuk ke tiga kalinya. Segera mengambil handphone dalam tas.   Rien mengernyit. "Pak panitia? Kenapa memanggilku?" gumam Rien.   Dia mengangkat teleponnya sembari mengusap hidung. "Halo? Kenapa, Pak?" tanya Rien.   "Rien, ada pasar lukis di dekat taman kota. Waktunya tiga hari lagi. Kesempatan bagus untuk membuat namamu melambung tinggi." ujar Pak panitia di seberang sana.  Rien tersenyum malas. "Pak, kau bicara begitu seakan aku pelukis ternama," gurau Rien.  "Aku tidak bercanda. Kau buat tempat di sana dan tunjukkan lukisanmu. Jika banyak orang yang mengetahui keahlianmu, bukankah itu bagus?" Pak panitia masih membujuk.   Rien tampak berpikir, "Entahlah, Pak. Rasanya aku kehilangan semangat. Iya, tadi memang aku melukis lagi sampai tak ingat waktu, tapi saat bertemu dosen, kejadian di pameran diungkit lagi. Aku merasa payah." Rien melemas.   "Hah, jangan biarkan itu mengusik hatimu. Anggap saja sebagai penyemangat. Aku ingin kau ikut pasar lukis. Aku akan daftarkan namamu agar mendapat tempat." terang Pak panitia.   Rien heran. "Kenapa kau sangat peduli padaku, Pak?" tanya Rien.   Terdengar helaan dari Pak panitia, "Karena kau istimewa. Ah, kau tinggal persiapkan diri dan datang tiga hari lagi. Semoga sukses, Rien." Pak panitia menutup teleponnya.   "Halo? Halo, Pak panitia? Halo?" Rien tidak bisa mendengar suara pak panitia lagi. Dia mendesah dan kembali menatap hujan.   "Alie benar. Pak panitia sangat percaya padaku. Hah, Jangan-jangan dia suka padaku?! Ih, tidak, tidak, tidak! Itu tidak mungkin terjadi dan tidak akan terjadi! Astaga, Rien! Bisakah kau pikirkan hal positif? Tadi berhalusinasi, sekarang berpikir yang bukan-bukan! Huft," gerutu Rien mengusap wajahnya kasar sambil bergidik.   Melamun lagi menunggu hujan yang tak kunjung reda, hingga malam. Rien terjebak dengan beberapa mahasiswa yang tidak mau pulang kehujanan. Dia sendirian di gasebo.   Malam datang membuat suasana semakin dingin. Tiba-tiba Rien merasa terpanggil lagi. Desisan yang sama seperti dalam tas ranselnya. Rien bergemuruh takut. Dia memejamkan matanya kuat sambil menggeleng dan desisan itu hilang. Napasnya tiba-tiba terengah.   "Apa? Apa itu barusan? Aku berhalusinasi lagi? Astaga, Rien kau butuh sesuatu yang membuat pikiranmu segar. Gara-gara lukisan kau jadi stres." Rien mengusap wajahnya kasar berkali-kali agar sadar sepenuhnya.   Dia berdiri, tetapi kembali duduk lagi. "Ah, kapan hujan berhenti? Aku mau jalan-jalan, bukan di kampus terus!" pekik Rien kesal.   Rasa semangat menjadi frustasi dan mempengaruhi perasaan Rien. Terlintas di benaknya tentang sinar dan desisan yang memanggil dirinya lagi. Dahi Rien berkerut. "Kenapa aku berhalusinasi tentang sinar? Apa ini pertanda baik? Ah, mungkin saja aku akan dapat rejeki banyak, haha!" gumam Rien tertawa sendiri.   Dia kembali menyangga kepala, "Terus, suara apa yang seolah-olah memanggilku? Ih, aku jadi takut." Rien bergidik.   Mendesah pelan membayangkan ada seseorang datang dan memberinya kehangatan. Hujan begini setidaknya ada teman yang bersamanya. Sayangnya Rien sendirian. Orang tuanya tiada karena kecelakaan. Tinggal sendirian, sangat kesepian. Hanya punya Alie sebagai teman dekat, tetapi Alie sibuk bekerja. Rien tidak pernah menjalin hubungan asmara hingga sekarang. Usianya sudah dua puluh tahun dan tidak mengenal cinta. Terkadang Rien berpikir bagaimana rasanya jatuh cinta.   "Aku juga ingin jatuh cinta." celetuk Rien tiba-tiba sambil meringis.   Hujan membuat pikirannya melayang kemana-mana. Semua dia pikirkan.   "Apa rasanya asam-manis? Atau pahit-manis? Atau mungkin sangat manis, haha." tawa Rien membayangkan dirinya sendiri yang sedang merasakan cinta.   Dia memukul kepalanya pelan. "Rien, jangan gila! Memangnya ada yang mau denganmu? Berhenti berkhayal!" Rien menasehati dirinya sendiri dengan sisa tawa.  Waktu terus berlalu. Lampu koridor kampus menyala. Rien masih terjebak karena hujan. Pukul tujuh malam, hanya melamun menunggu hujan reda.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.3K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.6K
bc

Mrs. Rivera

read
45.4K
bc

Rujuk

read
911.8K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.1K
bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Everything

read
278.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook