sensitif

1004 Words
Kami pulang naik taxi, sedangkan mobil Pajero sport milik Mas Lutfi diurus anak buahnya. "Siapa ya, Mas, yang ngempesin ban mobil kita?" tanyaku saat sudah sampai di rumah, entah kenapa perasaanku tertuju pada satu orang, sayang sekali tak punya bukti. "Engga tahu, apa mungkin ...." Mas Lutfi tak meneruskan ucapannya. "Kirana." Aku menyahut, rupanya dia juga memikirkan hal yang sama. Siapa lagi kalau bukan mereka, kalau memang kempes tak sengaja tak mungkin semua 'kan. "Tapi kita ga ada bukti." Mas Lutfi membuka kancing baju atas dan melepas dasinya. Aku berdecak kesal, suamiku ini terlalu santai menghadapi Kirana, ia tak tahu saja sejahat dan senekat apa perempuan itu, jika sudah nekat maka apapun bisa dihancurkan oleh tangannya, dia memang perempuan berkepala ular. Aku masih ingat dulu saat masih menjadi istri Mas Hanif, setelah ketahuan ada main di belakang, pasangan luknut itu terang-terangan berzina di rumah kami, membuatku jijik dan tentunya sakit hati, jika perempuan itu normal dan waras tentunya tidak akan berani melakukan hal seperti itu. Luka yang digoreskan mereka membuatku trauma dalam jangka waktu lama, hampir tiga tahun lebih menjanda, hingga akhirnya emak dan bapak menjodohkanku dengan seseorang yang berasal dari desa sebrang. Seorang bujang lapuk yang berusia hampir kepala empat, karena usiaku sudah mendekati kepala tiga, makanya emak dan bapak memaksaku menikah dengannya. Pria itu Mas Lutfi, di awal pernikahan kami tinggal di desa, tinggal di sebuah rumah yang lumayan besar. Awalnya ia memelihara sepuluh lebih sapi perah, untuk makan kami sehari-hari dia mengandalkan hasil perahan s**u sapi, atau menjual kotoran sapi untuk dijadikan pupuk, walaupun sepuluh sapi terbilang banyak tetapi kami hidup sederhana. Tahun demi tahun berjalan, sapi kami beranak Pinak hingga kewalahan mengurusnya. Apalagi jika lebaran idul adha, kami pasti dapat untung banyak, karena kebutuhan masih sedikit untung tersebut tentu saja kami tabung. Hingga suatu hari ada teman Mas Lutfi yang menitip modal dan akhirnya lelakiku itu membangun sebuah pabrik olahan s**u, dan sapi sapi kami diurus orang lain. Ia hanya tamatan SMA, tapi ia mencari karyawan yang bergelar sarjana untuk mengurus pabriknya. Sejak saat itu suamiku benar-benar serius belajar bisnis, tak ingin ditipu orang pintar katanya, berbagai macam seminar bisnis dia ikuti bahkan sampai ke luar kota, pernah juga dia berpikiran untuk melanjutkan pendidikannya tetapi hal itu belum terealisasi sampai sekarang. Tapi Alhamdulillah, semua yang bekerja sama dengannya orangnya jujur dan amanah, hingga omset perusahaan meningkat, penjualan pun meluas hingga ke seluruh Indonesia, membuat suamiku kian sibuk dan semakin banyak berteman dengan orang-orang sukses sehingga da banyak belajar dari temannya tersebut. Kini, kami bisa membuka cabang baru di kota, walau pabrik ini tak besar, tapi suamiku selalu berusaha memajukannya, Itulah alasan kami pindah ke perumahan elite ini, karena ikut memantau pabrik cabang baru di kota ini bukan tanpa alasan kami pindah kemari. "Entah sampai kapan kedua orang itu akan berhenti dengki sama kita ya, Ris." Mas Lutfi meletakkan kepalanya di pahaku. "Engga tahu, mending kita pindah yuk, males tetanggaan sama mereka," ucapku sambil mengelus rambut ikalnya yang lebat nan hitam. "Emmm, gimana ya?" Mas Lutfi nampak kebingungan. "Pindah lagi ribet, Ris. Gini aja kalau misal mereka berbuat jahat lagi baru kita kasih mereka pelajaran, gimana?" Aku mendelikkan mata mendengar idenya. "Jadi Mas nyuruh aku sabar gitu ngadepin mereka?" tanyaku dengan raut wajah kesal. "Sabar itu 'kan dapat pahala, Ris." Ia terkekeh. Aku mengerlingkan mata, awas saja jika Kirana dan Mas Hanif berulah lagi, aku sendiri yang akan turun tangan, ga bakal bilang-bilang Mas Lutfi nanti malah disuruh sabar lagi. "Ris, kalau boleh Mas usul sebaiknya kamu jangan pakai lagi ya daster-daster itu, terus mulai besok kamu ke salon, kalau perlu silakan habiskan saldo ATM Mas, asal kamu cantik dan ...." "Oh jadi Mas mulai bosen ya lihat dandanan aku?! Udah terpengaruh sama ucapan Kirana dan Mas Hanif? atau Mas mau mengikuti jejak lelaki itu?" Seketika aku tersulut emosi, langsung saja menyela ucapannya, bukankah selama tiga tahun ini ia tak pernah protes pada penampilanku? 'Yang penting di kamar harus sexy dan wangi, tak masalah kalau di luar,' begitu katanya tempo hari. Mas Lutfi bangkit dari rebahannya, menatapku penuh rasa bersalah, kalau mau negur bukan gitu caranya, aku tersinggung 'kan. Mana barusan Kirana sudah membuatku jengkel, ia malah nambah-nambah. "Mas bukan bosen apalagi mau ikut jejak mantanmu itu, ih ogah! Mas tuh cuma mau kamu ga dihina terus, dikatain pembantu, dikatain kucel. Mas tuh sakit hati lihat istri tersakiti." Dengan lemah lembut Mas Lutfi menjelaskan. "Selama ini sudah cukup kita hidup ngirit, Mas cuma pengen kamu menikmati hasil kerja keras suami, ngapain ngirit terus, duit kan ga di bawa mati." Benar juga, tapi aku terlanjur tersinggung. Memang begitulah sifatku sekarang, mudah tersinggung dan baperan. Kalau sudah marah sedikit susah diredakan. Ini semua efek dari trauma di masa lalu, saat Mas Hanif masih menjadi suamiku, ia sering berbohong dan berkata yang akan menyakiti perasaanku. "Kalau bosen bilang aja, Mas, ga usah berkelit-kelit." Aku melipat tangan di d**a sambil mencebikkan bibir. "Hadeuhh, salah lagi." Mas Lutfi mendesah. Aku tahu maksudnya memang baik, tapi tetap saja caranya ngasih tahu tadi tidak hati-hati dan tak tepat waktu, sehingga melukai hati ini. "Awas! Aku mau masuk kamar!" Kutepis tubuhnya dengan ketus. "Jangan gitu dong, Yang." Mas Lutfi mencekal lenganku lalu memeluk tubuh ini. Seperti itulah kebiasaannya, kalau aku lagi marah maka ia pasti langsung memelukku. Tapi kali ini aku tak tahan dengan bau keringatnya. Kenapa rasanya kepala ini pening sekali mencium bau tubuhnya, bukankah aku sudah terbiasa tidur di bawah ketiaknya? Hoekk! Hoekk! Aku langsung mual lalu menjauhkan diri "Mas bau ih, mandi sana," titahku sambil memencet hidung. Ia mengendus-ngendus ke ketiaknya. "Wangi kok, biasanya juga gelendotan di ketek, kok sekarang mual-mual gitu, tadi 'kan Mas pakai minyak wangi." Hoek! Aku mual lagi. Karena tak tahan aku langsung masuk kamar, lalu menghirup minyak kayu putih. "Yang! Yang, jangan-jangan kamu ...." Mas Lutfi menyusul ke kamar. "Jangan jangan apa?" "Kamu hamil, orang hamil 'kan gitu sensitif sama bau-bauan." Aku merenung mengingat kapan terakhir datang bulan. Tapi setahuku Kak Rahayu--kakakku--waktu hamil anak pertamanya malah suka nyiumin ketek suaminya? Jika benar aku hamil, maka aku bisa membongkar kebohongan Mas Hanif.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD