Nasihat Sang Suami

1001 Words
"Aku ga ngelakuin apapun! Ya sudah aku minta maaf, Mbak. Habisnya kemarin kalian bikin curiga, aku tanya suamimu kerja apa, Mbaknya ga jawab." Kirana bersuara menyela ucapanku, sekarang saja dia bilang begitu Aku tahu betul ia sangat menutup aibnya itu rapat-rapat. "Masa sih aku ga percaya, cerita dong Mbak Risti." Bu Sisca keukeuh ingin mengetahui. "Iya cerita aja," timpal ibu-ibu yang lain, entah apa jadinya jika aku bersuara memberitahukan bagaimana kelakuan Kirana sebenarnya, perempuan mana yang tidak benci dengan pelakor di dunia ini. "Sebenarnya, suaminya itu hasil nger ...." "Cukup ya, Mbak. Kamu jangan ngomong macam-macam! Kenapa sih Mbak fitnah aku?!" Kirana berteriak menyela ucapanku, baru bicara setengah saja da sudah kebakaran jenggot, aku sih tersenyum saja dengan santai. Orang-orang di sekitar sukses memperhatikan kami, bahkan suamiku sampai berlari menghampiri. "Udah udah, yuk ikut Mas, jangan berantem di sini. Ini tempat umum." Mas Lutfi menarik paksa tubuh ini. "Awas ya kalau Mbak berani buka rahasia aku maka aku juga akan buka rahasia Mbak!" Kirana mengancam. Karena geram, aku menepis tangan Mas Lutfi dan balik menyerangnya. "Aku ga takut ya, bongkar saja silakan di depan umum kalau gitu aku juga bakal bongkar kebusukanmu!" teriakku sambil nunjuk-nunjuk wajahnya. "Sudah, Yang, sudah! Ayo pergi! Malu." Mas Lutfi malah terus menarik tubuhku dengan kencang. "Kamu itu mandul! Ga bisa punya anak!" Kirana berteriak. Karena aku kesal, kutepis lagi cekalan Mas Lutfi lalu berlari menghampirinya lagi. "Kamu pelakor! Dulu rumah tanggaku han ...." "Sudah, Risti! Malu dilihat orang." Mas Lutfi menarik tanganku keras sekali, hingga bibir ini tak lagi punya kesempatan untuk berkata-kata lagi. Acara peresmian ini sempat kacau. Namun, beberapa saat kemudian kembali normal karena Mas Lutfi berhasil membawaku ke dalam pabrik. Sepertinya ini kantor para staf, terlihat sekali banyak komputer, juga ruangan yang sejuk karena AC. "Aduh, Yang, kamu itu kok jadi bringas gitu sih? emang kenapa?" Mas Lutfi bertanya dengan suara pelan. Di ruangan yang lumayan luas ini hanya ada kami berdua saja. "Kamu sih pakai narik-narik aku segala, dia itu bilang aku mandul, dia yang fitnah kita pelihara tuyul, harusnya tadi Mas diam ga usah so melerai segala!" Aku mengamuk melampiaskan amarah padanya. Mas Lutfi nampak menghela napas, sementara aku sesenggukan menahan dongkol dalam d**a. "Dia bilang aku mandul, aku juga mau bilang kalau dia udah menghancurkan rumah tangga aku sama Mas Hanif di masa lalu, dia itu pelakor! Semua orang harus tahu dia siapa!" teriakku lagi. Air liur ini sampai muncrat ke wajah Mas Lutfi, entah berapa kali dia menyeka wajahnya karena kecipratan hujan dadakan. "Syutt, tenang, kamu tenang ya, ga boleh gitu." Mas Lutfi merangkul lalu memelukku. Jujur aku kesal sekali padanya, seharusnya tadi ia memberiku kesempatan untuk memaki Kirana, bukan narik-narik maksa, aku 'kan belum puas ingin menghancurkannya. "Lepasin! Sikap kamu tadi sama aja dengan melindungi Kirana tahu ga!" Aku meronta minta dilepaskan dari dekapannya. Tapi bukannya melepas, Mas Lutfi malah semakin kuat mengeratkan pelukannya. "Lepas, Mas, lepas!" teriakku dengan bersimbah air mata. "Engga! Kamu tenang makanya jangan ngamuk!" jawab Mas Lutfi menyebalkan. "Lepasin, Mas!" Aku meronta lagi. "Engga! Kamu tenang makanya!" "Lepasiin!" Aku berteriak sekencang mungkin. "Engga!" Mas Lutfi masih kekeuh. "Aku sesek napas, lepasin!" teriakku lagi sambil meronta. Seketika Mas Lutfi melonggarkan dekapannya, ia terkekeh dan memasang tampang bersalah, sementara aku susah payah menghirup oksigen yang semula kesulitan. "Maaf, Sayang, Mas Kira kamu ga kehabisan napas barusan," ucapnya dengan mimik menyebalkan. Aku mendorong pundaknya dengan sebelah tangan. "Bener-bener kamu ya, Mas mau bunuh aku!" tegasku sambil mendelikkan mata, dekapannya tadi erat sekali hingga membuat dadaku sesak. "Ya engga, masa iya Mas tega bunuh istri sendiri. Abisnya kamu ngamuk gitu, makanya kalau lagi emosi itu sabar." Mas Lutfi mencoba menenangkan. "Sabar sabar! Kamu sih ga ngerasain jadi aku, dihina itu sakit tahu!" "Tapi pahalanya besar kalau kamu sabar, dia udah dzalim sama kita, ingat doa orang terdzalimi itu bakal dikabulkan loh, mending berdoa dari pada membalas perbuatannya." Mas Lutfi menasihati dengan bijak. Kalau lagi marah nasihat sebagus apapun tetap saja tak ngena, aku sih gitu entah kalau kalian. "Dengerin, Mas. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim di dunia, maka Allah makan menutup aibnya di dunia dan akhirat, (H.R Muslim) begitu pun sebaliknya kalau kita membuka aib seseorang di dunia, maka Allah akan perlihatkan aib kita di dunia dan hari kiamat kelak." Keluar lagi dalil dari mulut suamiku, begitulah dia kalau menasihati istri pasti bawa-bawa dalil, aku 'kan jadi tak bisa melawan lagi. "Apa kamu mau seperti itu? di hari kiamat nanti Allah tampakkan aib kita di hadapan manusia? engga 'kan?" "Sudahlah, penilaian orang itu ga penting, yang penting itu Ridha Allah." "Ingat, hinaan dan cacian manusia itu hanya sepanjang lidahnya, artinya kalau mereka puas menghina nanti juga berhenti sendiri, atau mereka bosan memuji maka mereka akan berhenti sendiri, kamu ngerti 'kan?" Aku mencebikkan mulut, semua nasihat itu memang benar, tapi tetap saja hati ini sakit. "Rasa sakitmu akan dibayar pahala oleh Allah, asal kamu sabar." Seolah tahu isi hatiku, Mas Lutfi katakan itu, lalu ia memelukku lagi. Aku diam dan pasrah, marah-marah pun percuma, yang ada dia akan ceramah lagi seperti Mamah Dedeh. "Sudah ya, sabar. Jangan balas kedzaliman dengan kedzaliman, justru kita harus balas dengan kebaikan." Mas Lutfi bersuara lagi, kukira ceramahnya sudah selesai. Ia menggosok-gosok punggungku menenangkan, cukup lama kami terdiam dalam kebisuan. "Udah ah, Mas. Digosok-gosok terus punggungku, emangnya tanganmu ga panas?" Aku menjauhkan diri, ia pun melepas pelukannya secara perlahan. "Ya siapa aja setelah digosok jin nya keluar." Mas Lutfi terkekeh, aku pun ikutan terkekeh tadinya mau ditahan tapi ga bisa. Kami pun berpamitan hendak pulang duluan, para tamu masih ada yang belum pulang, mereka ada yang asyik berbincang, ada juga yang asyik menyantap makanan. Pulang dari sini, semua tamu undangan mendapatkan bingkisan berupa s**u UHT produk Mas Lutfi sendiri, sebagai ajang pengenalan pada masyarakat sekitar, begitu katanya. Tiba di parkiran aku kembali dikagetkan, pasalnya ban mobil depan dan belakang milik kami kempes semua, ini pasti ulah seseorang. "Duh kok kempes semua ya bannya?" Mas Lutfi garuk-garuk kepala kebingungan. Baru saja aku merasa tenang sudah kembali dibuat kesal, entah siapa orang jahil itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD