Sambil menikmati segarnya udara pagi bersama secangkir kopi, aku melamun membayangkan pertemuan dengan Kirana di masa silam, masa yang sangat menyakitkan.
Saat itu Kirana melamar kerja di kantor Mas Hanif dan ia diterima sebagai staf biasa. Namun, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba ia bisa menjadi sekretarisnya, padahal Mas Hanif cenderung selektif ketika memilih orang kepercayaan nya.
Sedangkan Lolita, sekretaris Mas Hanif sebelumnya dipecat dengan alasan yang tak masuk akal, perempuan itu mengatakan jika Kirana yang telah berbuat curang dan selalu menggoda Mas Hanif agar naik jabatan.
Awalnya aku tak percaya dan mengira jika ucapan Lolita disebabkan karena dia sakit hati pada Kirana dan itu hal yang wajar aku pun hanya bisa mendengarkannya saja, tetapi setelah mengumpulkan bukti barulah mataku terbuka dan bisa lebih peka membaca gerak-gerik mereka, semakin diselidiki tingkah laku mereka semakin mencurigakan.
Entah sejak kapan mereka memiliki hubungan, yang jelas semua ketahuan saat Mas Hanif pura-pura melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, nyatanya ia pergi liburan bersama Kirana, saat itu aku sengaja meminjam uang pada teman untuk memata-matai Mas Hanif dan membuntutinya ke tempat di mana mereka melakukan pertemuan.
"Kamu tega, Mas. Dan kamu juga Kirana ga punya hati, sudah tahu dia punya istri malah kamu pacari?!" Dengan bersimbah air mata aku mengamuk di hadapan mereka yang sedang berlaku mesra di pantai Bali, ternyata pengorbananku meminjam uang untuk pergi ke kota itu tidak sia-sia, aku bisa membuat anak gokil mereka dan mulai membuka hati dan juga mata jika Mas Hanif bukan suami yang layak untuk hidup mendampingiku.
Kukira saat itu Kirana akan menyesal dan memohon maaf, tapi nyatanya ia malah berkata.
"Sorry, Mbak, tapi kami saling cinta, gimana dong?" ucapnya dengan enteng, ini benar-benar di luar dugaan, karena biasanya wanita yang sudah kepergok jalan bersama suami orang umumnya dia akan merasa malu bahkan tidak berani sekedar untuk mengangkat wajahnya, tetapi Kirana dengan wajah tenangnya dia mengejekku sambil mengucapkan kalimat yang menyakitkan itu.
begitu pula dengan Mas Hanif, dia sama sekali tidak memperlihatkan raut penyesalan ataupun ketakutan ketika aku memergokinya, dia lebih terlihat pasrah atau mungkin memang itu yang diinginkan olehnya.
"Gini aja, Risti. Terima dia jadi yang kedua atau kamu kuceraikan, pilih salah satu," sahut Mas Hanif sambil merangkul Kirana, seperti ditusuk ribuan panah hatiku terasa begitu sakit, Mas Hanif sama sekali tidak menyesali perbuatan buruknya dia malah semakin gila menyuruhku menerima Kirana menjadi yang kedua, walaupun wajahku tidak secantik dia tetapi aku tidak akan Sudi mengorbankan mental dan juga hatiku hanya demi lelaki b***t sepertinya.
"Enak aja kamu ngomong, dipikir aku ini nggak punya hati, kalau kamu mau sama dia ya silakan, tapi ceraikan aku, aku jijik harus berbagi dengan perempuan sepertinya, bagaimana nanti jika aku tertular penyakit kelamin darinya, menjijikkan!" kutatap wajah Kirana dengan hina.
"Eh, aku nggak punya penyakit kelamin ya, jangan sembarangan kalau ngomong!"
aku pun tersenyum sinis sama sekali tidak yakin dengan ucapannya itu.
"perempuan sepertimu bukan hal yang tidak mungkin untuk tidur dengan lelaki manapun, sama suami orang aja berani apalagi sama lelaki lajang, dan kamu, Mas, walaupun aku tidak membalas perbuatanmu tetapi suatu saat nanti Tuhanlah yang akan membalas kelakuanmu itu."
Mas Hanif hanya mengenal nafas lalu memperlihatkan wajah pasrahnya, seolah Dia tidak memiliki rasa takut pada azab atau Karma yang akan menimpanya suatu saat kelak.
Sejak saat itu kuputuskan untuk mengakhiri semuanya, terlebih saat Mas Hanif mengusirku dari rumahnya, aku memutuskan pergi menjauhkan diri, aku sempat trauma mengenal laki-laki, hingga akhirnya datanglah masuk Lutfi, pria sederhana, humoris dan terlihat rajin beribadah.
tidak mudah baginya untuk mendapatkanku, tetapi dia bukan lelaki yang mudah putus asa hingga akhirnya dia berhasil meluluhkan hatiku.
***
_______
"Yang, kita beli baju ya buat acara besok, istri Mas ini harus tampil cantik dan elegan di acara itu," ucap Mas Lutfi.
Dari awal menikah hingga saat ini ia memang selalu memanjakanku, sangat berbeda sekali dengan Mas Hanif.
"Hem ayo. Tapi tunggu bentar aku siap-siap dulu."
Dan dengan senang hati suamiku setia menunggu.
Kata Mas Lutfi ia akan membuat sebuah acara pembukaan pabrik cabang baru di kota ini, entah seperti apa acaranya yang jelas semua tetangga diundang termasuk Kirana.
Tapi di undangan itu sama sekali tak ada yang tahu jika Mas Lutfi adalah pemilik pabrik tersebut, memang begitulah suamiku, tak pernah mau tampil ia lebih senang memperhatikan di belakang layar.
"Kamu pilih gaun yang paling bagus ya, ingat harus menutup aurat dan jangan terlalu mencolok warnanya," ucapnya saat kami sudah sampai di butik.
"Ok."
Mas Lutfi duduk di sofa tunggu sedangkan aku pilih-pilih baju.
Lagi-lagi di tempat ini aku harus bertemu dengan Kirana dan suaminya.
"Ketemu lagi kita di sini, seleramu tinggi juga ya, Mbak," celetuk Kirana dengan tatapan mengejek.
Tak ingin meladeninya aku memutuskan pergi ke kasir sambil membawa beberapa potong baju yang terpilih.
"Eh, Mbak, hati-hati jalannya gendong tuyul itu pasti berat 'kan!" teriaknya mengundang perhatian orang.
Menyadari sang istri dilecehkan Mas Lutfi berdiri sambil berkacak pinggang.
"Jangan macam-macam sama istriku, atau akan kubuat kalian menyesal!" Ancam Mas Hanif lalu melangkah menghampiriku.
Pasangan luknut itu langsung bungkam dan mendelikkan mata ke kiri dan kanan, aku tahu mereka ingin melawan tapi gertakan Mas Lutfi barusan cukup membuat nyalinya menciut.
Acara yang ditunggu telah tiba, akhirnya sebentar lagi tuduhan orang-orang itu akan jadi malapetaka bagi Kirana.
Nampaknya acara itu diadakan saat makan siang, tepat di hadapan pabrik milik Mas Lutfi.
Tempat yang luas ini disulap senyaman mungkin, juga dihias dengan indah sehingga tamu yang hadir bisa makan dengan nyaman.
Yang hadir lumayan banyak, diantaranya para karyawan baru, teman-teman bisnis Mas Lutfi, dan juga tetangga kami.
Saat ini hanya orang-orang tertentu yang mengetahui jika pemilik pabrik ini adalah Mas Lutfi.
Dari kejauhan kulihat Mas Hanif dan Kirana duduk di deretan bangku terdepan, kebetulan sekali supaya mereka bisa melihat dengan jelas siapa sebenarnya kami.
"Baiklah untuk pembukaan acara ini sekaligus pembukaan cabang baru pabrik PT Milky Ways kami persilahkan kepada yang terhormat Bapak Lutfi Dzuhairi, beserta istri untuk tampil ke depan."
Para tamu terdengar bertepuk tangan dengan semringah. Aku dan Mas Lutfi bergandengan tangan lalu maju ke depan
Aku melirik ke arah Kirana dan beberapa tetangga lainnya, mereka menganga tak percaya. Tangan-tangan yang semula bertepuk ria kini seolah kaku sulit digerakkan.