"E-eh, jangan dong, Mbak. Kita ... euh ... kita minta maaf." Kirana terbata ketakutan, wajah yang tadinya terlihat sombong sekarang menciut seperti kerupuk disiram air.
"Minta maaf sama kakakku!" pinta Laila dengan ketus, walaupun Laila begitu tetapi dia sangat menyayangiku, menganggapku seperti kakaknya sendiri
Kirana menyeringai paksa lalu menatapku, syukurin emang enak di skak mati.
"Maaf ya, Mbak, tolong maafin aku," ujarnya seperti ketakutan, sementara suaminya nampak gelisah, seperti ingin pergi tapi tidak enak berpamitan.
"Ya sudah saya maafkan, tapi jangan diulangi ya dan jangan pernah lihat orang dari penampilannya, karena penampilan itu bisa menipu."
Kirana mangut-mangut tanda setuju, sangat terlihat sekali jika dia menunjukkan kebodohannya, maklum dia bisa berdandan seperti wanita kelas atas pun hasil dari merebut suami orang.
"Jangan lapor polisi ya, Mbak," pintanya dengan wajah memelas pada Laila, semakin nampak saja kebodohannya itu.
Adik iparku yang terkenal jutek itu mengerlingkan matanya. "Ya ya, pergi sana."
"Ayo ayo, Mas," gumam Kirana sambil menggandeng lengan suaminya.
Kirana dan Mas Hanif akhirnya pulang juga dengan wajah pias, aku yakin malu yang mereka rasakan pasti sudah sampai ke ubun-ubun, menghina orang eh ternyata yang dihina malah lebih unggul darinya, begitulah jika jadi manusia sombong.
"Mereka itu siapa Mbak sih? kok kurang ajar banget?" tanya Laila ketika kami duduk bertiga di sofa, walau pun penampilannya glamour tetapi hatinya tidak sombong, dia masih tetap Laila gadis yang berasal dari desa.
"tetangga baru, udahlah mereka ga penting." Aku mengalihkan pembicaraan jangan sampai kemarahan Laila semakin membesar, sebab dia benci pada orang kota yang merendahkan orang desa.
Tak enak juga jika Mas Lutfi tahu kami tetanggaan dengan mantan suamiku, bagaimana jika ia cemburu?
Sudah satu Minggu sejak kejadian memalukan itu dan selama itu pula baik aku ataupun Mas Lutfi tak pernah lagi bertemu Mas Hanif dan Kirana, entah ke mana mereka, mungkin saja sengaja menyembunyikan diri.
Akan tetapi, hari ini saat acara arisan di rumah salah satu tetangga, aku bertemu lagi dengan Kirana, padahal aku sangat berharap tak pernah bertemu lagi dengannya seumur hidup, melihat wajah wanita itu sama saja membuka luka lama.
Entah bagaimana caranya wanita itu bisa sampai gabung ikut arisan dengan ibu-ibu komplek?
"Eh, Mbak, aku denger dari ibu-ibu arisan katanya suami Mbak ini ga jelas ya kerja apa? emang suamimu kerja apaan?" tanya Kirana, saat kami sudah bubar arisan, ternyata dia masih ingin mencampuri urusanku.
Kami jalan beriringan menuju arah pulang karena kebetulan sekali arahnya sama, sengaja jalan kaki karena jaraknya dekat.
"Bukan urusanmu," jawabku sambil mempercepat langkah.
Tapi perempuan itu tak menyerah, ia berjalan lebih cepat hingga langkah kami kembali bersama, entahlah wanita itu memang menyebalkan, bahkan dia sama sekali tidak merasa bersalah karena dulu sudah pernah menghancurkan rumah tanggaku.
"Kok gitu sih, mencurigakan banget jangan-jangan suami Mbak?" Kirana menatapku penuh selidik, entah apa lagi yang dia pikirkan
Aku terpaksa menghentikan langkah, menatapnya dengan datar.
"Jangan-jangan apa? kenapa sih kamu tuh kepo banget. Urus aja suamimu jangan sampai direbut lagi sama perempuan lain, ga usah urus-urus suamiku!" Aku mendelikkan mata
Kalau begini lebih baik aku berhenti arisan dari pada harus bertemu Kirana di setiap pertemuan, kesehatan mentalku jauh lebih penting.
"Ya tinggal sebutkan aja apa kerjaan suamimu itu apa susahnya sih!" Kirana marah-marah, dasar perempuan nggak ada otak, harusnya aku yang marah.
Tak kupedulikan perempuan itu, bergegas aku mempercepat langkah dan masuk ke rumah, pintu gerbang kukunci rapat-rapat, jangan sampai perempuan itu masuk lagi ke rumahku.
keesokan harinya aku menerima pesan wa dari para tetangga, mereka mempertanyakan soal pekerjaan suamiku, padahal selama ini sudah sering kukatakan jika suamiku memiliki bisnis peternakan di kampungnya, ini pasti ada hubungannya dengan Kirana, entah apa yang dia katakan pad amereka.
Lalu jemariku bergulir ke kanan melihat story teman-teman, mataku membulat saat melihat status Bu Susi.
'Bener-bener ga masuk akal, tinggal di rumah mewah tapi setiap hari duduk manis di rumah, pelihara tuyul kali ye'
Dan di bawahnya ada story Bu Sisca, ia pun sama menuliskan sebuah kalimat-kalimat sindiran.
'Emang zaman sekarang masih musim ya pelihara tuyul? (di tengah-tengah ada emoticon ngakak) tapi kenyataannya masih ada kok yang pelihara'
Setelah Mas Lutfi pulang kuceritakan semua yang dialami hari ini, termasuk pesan dari para tetangga dan story' w******p-nya.
"Kayanya mereka nyindir kita ya, Ris," ucap Mas Lutfi sambil nyeruput kopi cappucino sachet buatanku, wajahnya terlihat santai lain lagi denganku.
"Aku juga kesindir, Mas. Secara kita tinggal di rumah mewah terus hampir tiap hari Mas ada di rumah," sahutku sambil cemberut.
Aku jadi menyesal karena sudah meminta pindah ke perumahan elite ini, tahu begini lebih baik kami tinggal di kampung saja, di sana tetangganya ramah-ramah, tidak ada yang julid karena sehari-hari mereka sama-sama beraktivitas di sawah atau di kebun.
"Apa kita pindah lagi ya ke rumah yang dulu," sahutku lagi, kebetulan kami memiliki satu rumah di kampung, hanya saja jaraknya sangat jauh dan terletak di sebuah desa terpencil, jalannya pun jelek dan berbatu, jika orang kota mungkin tidak akan betah menetap di sana.
Mas Lutfi tersenyum lalu mengelus pipiku, dia memang selalu mengatasi segala masalah dengan tenang.
"Kita baru sebulan di sini, masa iya harus pindah lagi. Sudahlah jangan dengarkan kata orang, yang penting semua yang mereka tuduhkan itu ga terbukti." Mas Lutfi merangkul menenangkanku, ah mana bisa begitu
Tapi tetap saja dadaku panas dituduh macam-macam, walau pun tidak merasa tapi rasanya sangat sakit selalu disindir orang-orang.
"Aku yakin sekali, Mas, selentingan ini pasti ada hubungannya sama Kirana. Soalnya, sebelum ada dia ibu-ibu itu ga ada yang suudzon sama kita," sahutku sambil memandang wajah lelah Mas Lutfi.
Suamiku yang berwajah oval itu diam, dia orangnya memang penyabar tapi sekali marah, seisi rumah biasa hancur dibuatnya, tetapi dia tidak pernah berani marah seperti itu kepadaku.
"Secara sekarang Kirana sudah ikutan arisan sama kita-kita, Mas, dan tadi di jalan dia maksa banget nanya pekerjaanmu apa." Aku menyahut lagi karena Mas Lutfi hanya diam saja, sejatinya dia sedang berpikir.
"Kamu tenang ya, pokoknya tiga hari lagi kita buktikan sama mereka siapa sebenarnya kita, sekaligus sama Kirana dan mantan suamimu yang sombong itu," ujar Mas Lutfi membuatku menelan ludah tiba-tiba.
"Jadi ... Mas sudah tahu kalau suami Kirana itu ...."
.