CHAPTER 5 - HONEYMOON
N I C K
Tangan Millie masih berada dalam genggamanku. Aku tak pernah menduga ketakutan Millie akan ketinggian ternyata membuatnya menjadi tidak nyaman. Dan entah mengapa, aku malah merasa terdorong untuk melindunginya saat melihatnya ketakutan seperti sekarang ini. Aku memerhatikan Millie yang sedang bersandar di bahuku dengan mata terpejam sambil menggenggam erat tanganku. Tangannya terasa basah dan dingin. Selanjutnya tak sepatah kata pun terdengar darinya sejak helikoper bergerak meninggalkan permukaan tanah dan melayang di udara.
Dia terlihat jauh lebih tenang dibandingkan beberapa saat lalu. Perjalanan udara kami menuju bandara begitu sunyi. Ketika beberapa menit kemudian kami sampai di bandara dan helikopter telah mendarat, aku baru membangunkan Millie.
“Hei, kita sudah sampai,” bisikku, lembut.
Millie membuka matanya dan aku tersenyum. Dia mengedarkan pandangannya keluar, memastikan bahwa helikopter telah benar-benar mendarat. Millie menoleh dan tersenyum padaku. Aku melepaskan tangannya dan membantunya berdiri sementara Diana sudah menunggu di pintu untuk membantunya turun.
Aku berusaha menenangkannya dengan menggandeng lagi tangannya. Kami berjalan menuju pesawat pribadiku. Ryan, sahabat sekaligus pilot pribadiku, sudah menanti kami di pintu pesawat.
“Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk sampai di Dubai, Nick?” tanyanya setelah kami memasuki pesawat. Aku mendengar keresahan di dalam suaranya.
“Butuh waktu kira-kira delapan jam, Millie,” jawabku. Aku tidak bermaksud untuk menakut-nakutinya, tetapi kulihat raut wajahnya berubah. Dia benar-benar tampak tegang. “Aku akan berada di dekatmu selama perjalanan, jadi kau tidak perlu takut. Oke?”
Pesawat mulai bergerak dan lagi-lagi genggaman tangan Millie terasa mengencang di tanganku. Telapak tangannya mulai berkeringat. Aku mengusap-usap punggung tangannya dengan tanganku yang bebas, berharap dengan begitu aku bisa membuat perasaannya menjadi lebih tenang.
Dan sial, aku baru saja menyadari kalau Millie ternyata memiliki senyum yang sangat cantik.
Sejak saat pesawat mulai bergerak dan take off, Millie terlihat sangat takut dan tegang. Tetapi, begitu laju pesawat stabil di udara, kami tidak lagi merasakan guncangan seperti saat pesawat akan lepas landas, dan dia mulai berani membuka mata walaupun tangannya masih berada dalam genggamanku.
“Kau pasti sudah terbiasa naik pesawat kan, Nick?” tanyanya.
Aku mengangguk membenarkan, "Ya, kalau kau ingat aku sering mengunjungi pamanku di Amerika. Bahkan mungkin sejak aku masih dalam perut ibuku—aku sudah terbiasa naik pesawat."
Aku melihatnya menguap, tapi dia menjawab, “Ya tentu saja.”
“Tidurlah di sini,” kataku sambil menepuk-nepuk pahaku lalu membantunya melepaskan sabuk pengaman.
“Hah? Apa maksudmu?” Millie menatapku bingung.
Aku tersenyum menggoda. “Aku hanya berusaha untuk membuatmu bisa tidur dengan nyaman,” balasku.
“Terima kasih, tetapi itu tidak perlu,” sahutnya.
Millie segera berbaring di kursinya yang sudah direbahkan. Aku sempat memperhatikannya sedang memejamkan mata dan seketika aku menyadari tentang satu hal yang selama ini luput dari perhatianku.
Millie sangat cantik.
Aku tahu dia menerima pernikahan ini hanya karena ingin membahagiakan Kakek Ritchie yang sudah dia anggap sebagai malaikatnya. Dan kurasa Millie tidak menginginkan aku. Buktinya, dia tidak keberatan sama sekali aku masih berhubungan dengan Julia, bahkan dia tadi tidak melarangku untuk pergi menemui Julia ke kamarnya. Dia juga tidak bertanya apa pun tentang kepergianku tadi. Mengenai Julia, dia adalah wanita yang memang merupakan impian semua pria. Aku bangga menjadi kekasihnya dan dia menjadi kekasihku. Julia adalah wanita yang penuh daya tarik dan tubuhnya adalah kelemahanku. Aku tidak pernah bisa menolak gairah atau pesona s*****l gadis itu—sampai tadi, saat aku menemuinya di kamar 211. Itu adalah pertama kalinya aku tidak b*******h melihat Julia tanpa busana. Wajah Millie yang kutinggalkan di pesta tadi terbayang selalu di kepalaku. Aku sudah menyakitinya bahkan di saat pernikahan kami baru saja dimulai.
Julia tentu saja marah kepadaku karena sikapku yang aneh tadi, Kemudian aku berjanji padanya bahwa aku akan mengganti waktuku dengannya lain kesempatan. Marahnya mereda dan kami bermesraan seperti biasa lagi.
Dan saat ini aku sedang menikmati pemandangan kecantikan wajah istriku yang sah—Millie Victoria. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi dan foto Julia muncul memenuhi layarnya. Dengan berat hati aku berhenti mengagumi paras cantik istriku itu dan segera menjawab telepon.
“Hai, Darling.”
Millie menoleh, tapi dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sedetik kemudian.
“Honey, dalam beberapa menit lagi aku tiba akan di bandara dan segera menyusulmu ke Dubai,” sahut Julia.“Sampai bertemu di sana.”
Aku memandang Millie dan dalam sekejap dadaku dipenuhi perasaan bersalah karena mengundang Julia ke acara bulan madu kami.
“I love you, Nick,” ucap Julia, membuatku yang tengah melamun memandangi paras Millie seketika tersentak.
Entah mengapa aku merasa tidak bisa membalas ungkapan cintanya itu hanya karena saat ini Millie berada di sampingku. Terdapat jeda cukup panjang sampai suara Julia kembali terdengar.
“I love you, Honey…,” ulangnya. “Nick?”
“Yeah….” Aku melirik Millie dan berbisik, “I love you too, Darling.”
Setelah percakapanku dengan Julia berakhir, aku menutup telepon genggamku lalu berpaling pada Millie dan menyentuh tangannya dengan hati-hati.
“Millie, ada yang ingin kukatakan.”
Wanita di depanku itu membuka matanya lalu menarik tangannya perlahan menghindari sentuhanku dan melipatnya di depan dad@. Dia tersenyum, tetapi aku tahu ada sesuatu yang tidak biasa di dalam senyumannya.
“Aku tahu, Nick. Dan aku mengerti. Sudah tertulis dengan jelas di dalam kontrak bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan satu sama lain. Bukankah begitu perjanjiannya?”
Kepalaku mengangguk sambil menunduk merasa bersalah. “Ya, itu benar. Untuk saat ini aku minta maaf karena telah meminta Julia untuk menyusulku ke Dubai.”
"Aku mengerti Nick," ulangnya tanpa melihatku. Aku menyakitinya, maafkan aku Millie.
"Aku tahu kalau hal ini terdengar sangat tidak pantas, Millie. Tapi… Julia beberapa hari ke depan memang ada Photoshoot di Dubai, jadi—”
"Tidak perlu menjelaskan apa pun atau minta maaf, Nick.” Kali ini matanya menatapku dalam, dan aku melihat kesedihan di sana. Wanita itu mengangguk pelan sambil melemparkan pandangannya ke arah jendela. “Aku mengerti, Nick,” tambahnya tanpa menatapku.
Aku merasakan kepalaku baru saja mengangguk tanpa alasan yang jelas. “Aku berharap kita tidak akan melibatkan hati dalam sandiwara ini, Millie. Kau mengerti maksudku, kan?”
Millie menganggukkan lagi kepalanya. “Aku tahu itu, kita hanya sedang pura-pura berbulan madu. Aku pun berharap tidak ada yang akan tersakiti karena sandiwara ini, Nick, termasuk Julia.” Kali ini, matanya menatapku dalam dan aku tahu ada kesedihan yang sedang berusaha disembunyikannya.
“Terima kasih, Millie.”
Mungkin, akan berbeda seandainya tidak ada Julia di antara kami. Mungkin. Ya mungkin saja aku bisa jatuh cinta kepadanya setelah beberapa hari menghabiskan waktuku bersama dengannya. Tapi sekarang ada Julia, dialah wanita yang kucintai.
***
Kami tiba di Bandar Udara International Dubai saat masih pukul enam pagi waktu Dubai dan pukul sembilan pagi waktu Indonesia. Aku melihat Millie menguap ketika kami sudah masuk ke dalam ruang tunggu bandara, sepertinya dia masih mengantuk.
“Bersandarlah di sini,” kataku sambil menepuk bahu. “Kita masih harus menunggu beberapa menit lagi untuk melanjutkan perjalanan dengan helikopter menuju hotel.
“Tidak perlu terima kasih,” katanya seraya menarik syal di lehernya lebih rapat dan memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian kepalanya hampir jatuh karena tertidur.
Aku berdecak sambil mendekatinya dan menarik kepalanya ke bahuku. Dia terlihat kaget tapi aku memasang wajah 'nothing is wrong with it' (tidak ada yang salah dengan tindakanku) dan dia pun pasrah.
***