CHAPTER 4 - THE WEDDING

1935 Words
CHAPTER 4 – THE WEDDING N I C K Aku bergelung di balik selimut dengan Julia berada dalam pelukanku. Dadaku merasakan kehangatan yang memancar dari tubuhnya yang melekat di tubuhku tanpa sekat selembar kain pun. Embusan hangat napasnya menggelitik lekuk leherku, membuatku terpancing untuk kembali menggodanya, padahal wanita itu masih setengah tidur. Aku memberikan sebuah ciuman ringan di sepanjang garis rahang pipinya. “Jangan menggodaku, Nick,” gumam Julia. Suaranya serak, tapi aku sangat menyukainya. “Kenapa tidak?” sahutku. “Karena aku mungkin akan menuntutmu untuk melakukan lebih.” Julia menelusurkan jemarinya ke tubuhku dengan gerakan menggoda dan membuatku menggeram, tak bisa menahan godaannya. Aku meraih tangannya dan menciumnya lembut, mengulum jemarinya yang lentik. “Kau melarangku menggodamu, tapi kau malah menggodaku,” tukasku. “Aku suka menggodamu,” balas Julia sambil tersenyum nakal. Aku hanya tersenyum mendengar pengakuannya. Kami berdua terdiam selama beberapa saat selagi aku menciumi ujung-ujung jari tangan Julia dan dia terlihat sangat menikmatinya. “Pernikahanku dan Millie akan segera dilaksanakan kurang lebih satu minggu lagi,” kataku memulai pembicaraan yang sangat sensitif. “Tapi kau harus tahu bahwa pernikahan ini hanya pura-pura—seperti yang sebelumnya sudah kukatakan,  aku tidak mencintainya Julia, aku hanya mencintaimu. Millie sudah aku anggap sebagai saudara perempuanku karena kami tumbuh besar bersama,” ujarku, berusaha meyakinkannya. “Jujur saja, Nick,” desah Julia, “sebenarnya, aku merasa sangat takut.” Aku menatap lekat ke arahnya, tepat di manik mata Julia yang berwarna cokelat pekat. “Aku takut kau akan jatuh cinta padanya,” tutur Julia, gelisah. Ya, aku bisa dan sangat mengerti kegelisahan yang kini dirasakan olehnya. Tapi, jatuh cinta pada Millie? Aku yakin itu tidak mungkin terjadi. Aku hanya menganggap Millie sebagai gadis manis yang lugu. Dia sama sekali bukan tipeku dan jauh dari kriteria wanita yang kuinginkan. “Kau benar-benar tidak mencintainya, kan, Nick?” tanya Julia lagi. “Kau tidak perlu memikirkan hal itu, Sayang,” hiburku lalu mengecup lembut bibirnya dan tersenyum. “Aku hanya mencintaimu dan akan selalu menjadi milikmu.” Aku berguling ke atas tubuh Julia dan kembali mencumbunya. Julia merespons dengan gairah yang sama dan inilah yang aku suka darinya. Menghabiskan waktu bersamanya seakan tak pernah cukup. “Apakah kau juga akan b******a dengannya, Nick?” Aku mendengar keresahan dalam suaranya dan memeluknya, berharap dengan begitu aku bisa membuatnya merasa tenang dan lebih baik. “Aku tidak merencanakan hal itu, Sayang,” bisikku sambil mengerutkan dahiku. Apakah karena aku menikahinya lantas aku harus b******a dengannya? Membayangkannya saja sudah membuatku merasakan hal yang aneh. Julia menatapku. “Aku lega mengetahui kau tetap menjadi milikku. Kau tahu aku tidak bisa menikah denganmu atau dengan siapa pun, tapi aku tenang mengetahui cintamu hanya untukku, Nick.” Aku melumat bibir Julia dengan keras dan dia membalasnya dengan cara yang sama, panas dan b*******h. Aku tidak pernah membayangkan wanita lain berada di dalam pelukanku selain dirinya. Aku meraih pinggangnya. Kupandangi kedua matanya yang kini telah sarat oleh hasrat. “I love you,” bisikku di sela-sela ciuman kami. Dia mengangguk cepat tanpa melepaskan pagutannya di bibirku.“I love you too, Nick,” ujarnya dengan napas tersengal. *** M I L L I E Akhirnya hari itu pun tiba. Hari pernikahanku dengan Nick Darren. Teman-teman sejawatku tampak sangat antusias menghadiri pesta kami dan memberikan ucapan selamat pada kami berdua. Aku tidak terlalu terlibat untuk pesta perrnikahannya, kecuali beberapa hal yang memang membutuhkan pendapatku. Selebihnya Kakek dan Wedding Organizer yang merandang pesta semegah dan seindah ini. Pernikahan di sebuah hotel berbintang lima, sebuah tempat mewah yang bahkan tidak pernah berani kubayangkan untuk menjadi tempat pernikahanku. Hamparan karpet berwarna perak dan hijau menghiasi seluruh lantainya. Nuansa putih perak sangat kental mewarnai interior ruangannya. Bunga-bunga lily putih yang merupakan bunga favoritku menghiasi sepanjang koridor sampai di pintu masuk ballroom. Aku tidak pernah bermimpikan menikah dengan pesta semewah ini. Aku juga merasa familier dengan para tamu undangan yang datang, beberapa bahkan merupakan selebriti yang sering wara-wiri di televisi. Aku merasakan tatapan aneh dari mereka ketika melihatku bersanding dengan Nick Darren. Sampai kemudian, di penghujung acara pesta, seorang wanita cantik berjalan anggun ke arah kami. Senyumnya terpasang sempurna di bibirnya yang dipoles lipstick merah menyala  senada dengan gaunnya. Hampir semua fotographer mengarahkan kameranya kepada wanita itu. Dia memandang ke arah Nick dengan intens dan keduanya saling melempar senyum. Lantas diam-diam aku memperhatikan keduanya secara bergantian. Akankah kedatangannya menjadi berita heboh besok pagi? Dengan tagline berita yang berjudul, ‘Istri Nick Darren merasa tenggelam ketika kekasih sejati Nick Darren yang sesungguhnya datang ke pesta pernikahan mereka’. Wow! Ketika wanita itu sudah berada di hadapan kami, Nick dengan sigap mencondongkan tubuhnya untuk mendekati wanita itu. Dia berusaha berbisik di telinga wanita itu, tetapi aku masih bisa mendengarnya saat dia berkata, “Kenapa kau datang, Sayang?” “Aku ingin mengucapkan selamat padamu dan pada istrimu, Honey,” balas wanita itu dengan suaranya yang manja. Julia mencium pipi Nick dengan mesra, membuat mataku sontak memicing menatapnya tajam. Memang, aku tahu mereka adalah sepasang kekasih, tetapi tetap saja menurutku mereka tidak seharusnya memamerkan kemesraan di pesta pernikahanku ini. Mereka seharusnya menghormatiku sebagai pengantinnya, terutama Nick—dia harusnya berlaku sebagai suamiku saat ini.  Ditambah lagi, mereka malah saling bertatapan sambil membisikkan kata-kata mesra seakan-akan tidak melihat keberadaanku yang saat ini sedang berdiri kaku di samping Nick Darren. Pernikahanku dan Nick memang hanya sandiwara. Tetapi, bukankah setidaknya mereka harus tetap menjaga sikap di hadapan para tamu. Benar, kan? Aku berdeham untuk membuat mereka sadar telah salah memilih tempat untuk bermesraan. “Oh, Millie,” Nick adalah orang pertama yang menyadari keberadaanku di sampingnya. “Ini Julia.” Aku tahu. Aku menoleh pada Julia. Dengan lirikan sinisnya, wanita itu menatapku. Kucoba bersikap ramah terhadapnya dengan tersenyum dan mengulurkan tanganku, akan tetapi wanita itu mengabaikanku. Dia tidak membalas senyumku, apalagi menjabat tanganku. Julia malah mendekati Nick dan membisikkan sesuatu. Namun, suaranya terlalu keras untuk disebut berbisik. Karena aku bisa mendengar dengan jelas ketika dia berkata kepada Nick, “Aku menunggumu di kamar 211.” Lalu dia pergi meninggalkan kami dengan keanggunan yang membuatku iri. Tentu saja momen tadi tidak luput dari Media, kurasa besok benar-benar akan tersiar berita mengenaskan tentang diriku. Dan, Nick... dia tampak b*******h saat menatap lenggak-lenggok langkah Julia dari belakang. Aku sedang berpikir apakah mungkin Nick setega itu meninggalkanku di sini sendirian untuk b******u dengan Julia, ketika kemudian aku mendapatkan jawaban bahkan sebelum aku bertanya. “Aku akan segera ke sana!” katanya dengan seruan tertahan. “Nick?”Aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Aku tahu. Aku akan cepat, oke? Kita masih punya waktu dua jam,” sahut Nick. “Kau tidak perlu khawatir terlambat. Kita hanya butuh waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk sampai di bandara karena kita akan menggunakan helikopter.” Tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, Nick pergi begitu saja setelah mengecup ringan keningku. Aku mengerjap sambil menghela napas, kehidupan penuh drama baru akan kumulai. *** “Hanya ini saja yang akan Anda bawa, Mrs. Darren?” Suara Diana menyentakkanku. Wanita itu tersenyum seolah sedang menggodaku dengan menyebutku Mrs. Darren. Di sinilah aku pada akhirnya, di salah satu kamar hotel ditemani Diana, setelah Nick pergi begitu saja ketika acara pesta selesai, karena dia lebih memilih bersama kekasihnya. Aku berbohong kepada Kakek Ritchie dengan mengatakan bahwa Nick sedang ke kamar mandi saat pria itu menemukanku berjalan sendirian tanpa suamiku menuju kamar. Karena itulah dia meminta Diana—asisten pribadinya, untuk mengantarkanku dan menemaniku di kamar. Sudah satu jam berlalu sejak Nick meninggalkanku dan dia belum kembali. Aku mulai bertanya-tanya tentang apa yang dilakukannya bersama Julia di kamar 211 itu. Ya Tuhan, seharusnya aku tidak memikirkan apa yang sedang mereka lakukan di kamar itu. “Millie?” Aku terkesiap. Diana menatapku penuh tanya dan aku bisa melihat keningnya berkedut. “Ya?” “Apa hanya ini barang-barang yang akan kamu bawa?” Dia mengulang lagi pertanyaan yang tadi belum sempat kujawab. “Oh, ya.” Aku buru-buru mengangguk. “Hanya itu saja yang kuperlukan, Di.” “Kalau begitu kita siap berangkat, Millie,” ucapnya sopan, “Nick sudah menunggumu di atas. Aku akan mengantarmu.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” Jadi Nick langsung ke atas? Dia pasti malas repot-repot menjemputku ke kamar. Dalam perjalanan menuju ke helipad di puncak gedung, aku merasakan sakit pada bagian perutku, entah disebabkan kesadaran bahwa aku akan segera bertemu Nick yang baru saja b******a dengan Julia atau karena aku tahu saat ini sudah ada sebuah helikopter yang sedang menungguku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak memikirkan tentang apa yang mereka berdua sudah lakukan sebelum ini, karena ini menyangkut mentalku ke depannya. Aku kan baru menjalani hidupku sebagai istri Nick Darren selama beberapa jam dan aku harus bisa membuang jauh-jauh pikiranku tentang Nick dan Julia karena perjalananku masih sangat panjang. Jika aku terus-menerus memikirkan hubungan mereka, aku khawatir tidak akan bisa melanjutkan sandiwara ini yang entah mengapa terasa begitu nyata bagiku. Ketika sampai di puncak gedung, aku melihat sebuah helikopter sudah menungguku. Tempat itu begitu bising sampai aku harus menutup kedua telinga dengan tanganku. Angin kencang membuat rambut panjangku yang terurai terkibas tak tentu arah. Aku berjalan mendekat dengan ragu-ragu sementara aku melihat Nick sudah duduk dengan nyaman di tempatnya. Diana memberiku isyarat untuk naik dan duduk di samping Nick. “Kau akan ikut kami, kan, Di?” seruku seraya menahan tangannya saat dia akan pergi. “Mr. Ritchie menyebutnya begitu.” Diana tersenyum. “Tentu saja aku akan mengantar kalian sampai ke bandara.” Aku tersenyum lega. Aku tidak bisa membayangkan hanya duduk berdua bersama Nick yang baru saja... oh, Millie, hentikan! Aku tidak akan memungkiri fakta tentang Nick yang terlihat sangat tampan dengan pakaian kasualnya walau hanya berupa celana jeans dan kaus berlengan panjang, tapi dia benar-benar terlihat sempurna. Rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar rahangnya membuat Nick terlihat semakin maskulin. Aku sedang menikmati pemandangan profilnya saat Nick tiba-tiba menoleh dan pandangan kami bertemu. “Apakah kau suka dengan apa yang sedang kau lihat, Millie?” Nick tersenyum menggoda. “Aku, eh....” Aku tergagap. “Kau boleh menatapku sepuasmu, Millie,” ujarnya tanpa menanggalkan senyumnya  yang terlihat menyebalkan. Aku hanya bisa termangu. Selama beberapa saat, tidak terdengar apa-apa selain suara deru mesin helikopter. Kami tidak saling bicara dan tidak ada yang kulakukan selain memandang keluar. Sampai saat aku merasakan helikopter mulai bergerak melayang di udara dan membuat rasa panik seketika melandaku. Cengkeramanku pada lengan kursi semakin kuat dan tubuhku yang mengeluarkan keringat dingin mulai gemetar. “Millie, kau baik-baik saja?” Aku mendengar nada cemas dalam suaranya. Detik berikutnya, aku merasakan seseorang menyentuh tanganku yang aku yakin adalah Nick. Aku tidak bisa berkutik di kursiku. Saat ini, aku bahkan tidak berani untuk sekadar membuka mata karena aku tahu saat ini aku berada jauh dari permukaan tanah. “Ya Tuhan, kau berkeringat, Millie,” ujarnya cemas. Perutku terasa seperti diaduk-aduk seakan-akan aku akan jatuh terempas dari tempat yang sangat tinggi. “Tidak apa-apa,Millie. Ada aku di sini.” Nick meremas tanganku dan dia sama sekali tidak tahu efek yang ditimbulkan dari sentuhannya itu pada diriku. Darahku mengalir dua kali lebih cepat, begitu juga dengan debaran jantungku. Sentuhan tangannya terasa hangat dan membuatku merasa lebih nyaman. Aku merasa jauh lebih baik dan, oh, aku tidak ingin dia melepaskan tangannya. Nick merapatkan tubuhnya padaku agar aku bisa bersandar dengan nyaman di bahunya. “Merasa lebih baik,  Mrs. Darren?” tanyanya setelah beberapa saat berlalu. Tanpa membuka mata, aku mengangguk pelan dan tersenyum. Tak dapat kupungkiri, hatiku berbunga-bunga mendengarnya memanggilku dengan sebutan Mrs. Darren. Entah bagaimana, aku merasa saat ini Nick sedang tersenyum dan aku merasakan tangannya beranjak ke kepalaku. Lalu dia mengusapnya dengan penuh kelembutan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD