CHAPTER 8 - THE CONSEQUENCES

3403 Words
CHAPTER 8 – THE CONSEQUENCES M I L L I E Wajah Nick terlalu dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan embusan napasnya yang beraroma mint kental dan juga wangi tubuhnya yang maskulin dan nyaris membuatku lupa diri. Ciuman Nick pernah menjadi khayalanku sebelumnya, dan apa yang dia lakukan tadi benar-benar membuyarkan khayalanku tentang rasanya ciuman pertama. Nick masih tertegun setelah mendengar ucapanku. Ketika dia beranjak dari tempatnya di sampingku, aku menelan ludah. Aku sangat ingin disentuh olehnya. Begitu mendamba sentuhannya. Namun, bayang-bayang Julia masih mengikuti kami. Aku akan bertahan selama kubisa dan akan menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Aku bangkit dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi, mengunci pintunya rapat-rapat kemudian menghela napas berkali-kali untuk meredakan gemuruh aneh di dalam dadaku karena ciuman Nick tadi. Untuk mengalihkan pikiranku, suara air di dalam bathtub cukup membantu. Kurasa, setengah jam berendam air hangat sudah cukup. Kupaksa diriku untuk mengabaikan apa yang baru saja terjadi dengan menghirup dalam-dalam aroma sabun yang wangi dan lembut. Berharap dengan begitu pikiranku bisa kembali jernih. Setelah merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan gejolak di dalam diriku, barulah aku keluar dari kamar mandi dan bersikap seolah-olah ciuman tadi tidak pernah terjadi. “Kau mau kemana hari ini?” tanya Nick yang sudah berpakaian lengkap. Dia berpaling dan matanya terbelalak melihatku, lalu menggeleng tegas seraya memekik, “Kau tidak boleh memakai pakaian itu! Ganti pakaianmu, Millie!” Aku langsung mengernyit. Aku memandangi diriku sendiri dengan bingung. Apa yang dipermasalahkan olehnya? Aku memakai kemeja putih body fit dan celana jeans pendek. Kuakui, celana pendek itu memang membuat setengah pahaku terekspos. Tetapi, bukankah ini penampilan yang wajar? Lagi pula, kemarin aku bertemu banyak turis perempuan yang berpakaian seperti ini. “Kenapa harus ganti?” Aku protes. “Udaranya sangat panas dan pakaian ini membuatku lebih nyaman.” “Ganti, Millie!” perintahnya. Matanya mendelik menatapku dan dagunya digerakkan sedikit ke atas, menunjukkan sikap berkuasa. Sayangnya, sikap sok berkuasanya itu tidak berpengaruh untukku. Aku bergeming dan melihatnya menahan amarah karena tidak kuturuti perintahnya.  “Di dalam kontrak tidak disebutkan larangan memakai baju tertentu. Di sana hanya tertulis aturan yang melarang kita mencampuri urusan masing-masing,” kataku tegas. “Tidak masalah kalau kau tidak mau menemaniku karena aku berpakaian seperti ini. Aku bisa meminta Ryan untuk menemaniku.” Tanpa berkata apa-apa, Nick langsung bangkit dan menyambar jaketnya. Dia meraih tanganku dan menggandengku menuju pintu keluar. “Tidak. Ryan tidak akan menemanimu. Kau bersamaku, hari ini!” katanya dengan penuh penekanan. “Jangan pernah menyebut nama Ryan selagi bersamaku. Kau mengerti?” Aku mengikutinya tanpa berusaha menarik tanganku darinya, aku sendiri bingung dengan perasaanku ini. Aku sedang merasa Nick seolah cemburu kalau aku menyebut nama Ryan, tapi mana mungkin Nick cemburu? Dia kan tidak mencintaiku, apalagi kemarin dia sudah menghabiskan waktunya seharian bersama Julia, aah Julia, Julia lagi.   *** Segera saja kulepas sepatuku dan berlari di atas pasir yang lembut, menjauh dari Nick yang sejak tadi tak henti-hentinya mengomel mengomentari pakaianku. Dia sempat mengatakan bahwa aku menjadi pusat perhatian beberapa p****************g. Aku mendengkus. Di sini banyak turis dan gaya berpakaianku pagi ini masih wajar jika dibandingkan dengan gaya para perempuan yang sekarang sedang menikmati waktu berendam di air laut yang hangat. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang mengenakan bikini. Celana pendek yang memperlihatkan sedikit kulit pahaku dan kemeja putih body fit ini tidak berarti apa-apa dibandingkan penampilan para perempuan berbikini itu. “Nick!” Aku berseru. “Kau tidak ingin turun ke air? Kemarilah, airnya hangat!” Aku melambai ke arah Nick yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya. Tampaknya, dia sedang mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen ini. “Aku lebih suka duduk di sini,” sahut Nick sambil meluruskan kedua kakinya. Aku berdecak dan tidak berniat untuk membujuknya agar mau turun ke air. Aku tidak ingin berdebat dengannya dan membuat suasana hatiku semakin buruk. Aku sedang ingin bersenang-senang menikmati kehangatan air laut dan kain pantai ini ternyata cukup menyulitkanku. Tadi, Nick memaksaku memakai kain penutup untuk menutupi pahaku yang terbuka. Aku heran saat seseorang datang menghampirinya dan memberikan sebuah tas yang isinya selembar kain pantai. Setelah Nick protes karena menganggap para lelaki hidung belang itu mencuri-curi pandang ke arahku, dia memaksaku menggunakan kain tersebut dan dia sendiri yang memakaikannya ke pinggangku. Aku sudah merencanakan untuk berenang di pantai dan bersenang-senang sejak semalam. Jadi, di balik kemeja dan celana pendekku, aku sudah mengenakan bikini berwarna putih dan siap untuk membaur dengan air laut. Aku melepaskan kain pantai yang tadi diikat kencang oleh Nick di pinggangku dan menjatuhkannya di atas pasir lalu mulai melepaskan celanaku. Tanganku beralih ke kemeja putihku dan sudah tidak sabar untuk melepaskannya ketika aku mendengar dari arah belakangku Nick berteriak. “Jangan berani membukanya, Millie!” Aku sontak berbalik dan melihat Nick tergesa-gesa berjalan ke arahku. Dia menyambar kain pantai yang baru saja kujatuhkan dan melilitkannya lagi ke tubuhku. Tiga kancing teratas kemejaku sudah terlepas dan itu menjadi pusat perhatian Nick. Aku yang merasa bingung atas apa yang dilakukannya hanya bisa tertegun, kemudian tersentak saat merasakan Nick kembali melilitkan kain itu ke tubuhku sebegitu kencangnya dan mengikat kedua ujungnya di punggungku. “Apa yang kaulakukan?” semburku. “Aku tidak akan membiarkanmu melepas bajumu di sini,” tukas Nick, galak. “Astaga, jangan konyol! Ini pantai, Nick.” Aku menggerutu sambil terus berusaha melepaskan kain itu dari tubuhku dan itu tidak mudah sebab Nick dengan cerdik menempatkan ikatan itu di punggungku. Aku tidak bisa mengurai ikatan itu tanpa bantuannya. “Tolong lepaskan ikatan ini,” kataku. “Aku ingin berenang.” “Kau bisa berenang seperti ini,” sahutnya, membuatku jengkel. “Apa kau ingin membuatku terlihat bodoh di hadapan orang-orang ini?” Aku mengomel. “Cepat lepaskan,” perintahku. “Tidak,” tandas Nick. Aku mengembuskan napas kesal dan menatapnya tajam. Nick tidak terpengaruh dan tetap terlihat tenang. Baiklah kalau begitu. Dia tidak tahu kalau sebenarnya aku tidak sebodoh yang dia bayangkan selama ini. Saat berada dalam keadaan terdesak, biasanya aku selalu menemukan ide bagus yang bisa membuatku melepaskan diri dari kesulitan. Seperti sekarang, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku dan aku tidak memerlukan bantuannya untuk melepaskan kain ini. Aku memutar kain itu. Memang tidak mudah karena Nick mengikatnya cukup kuat, tetapi sedikit demi sedikit letak ikatan kain itu bergeser. Nick menatapku tidak percaya dan aku membalasnya dengan menyunggingkan seulas senyum mengejek. “Kau tidak akan bisa,” desis Nick, tidak terdengar yakin. “Tentu saja aku bisa,” balasku. Aku tersenyum  pongah saat berhasil memindahkan posisi ikatannya ke bagian depan tubuhku. Sekarang, Nick terlihat kesal dan aku memperlihatkan kepadanya senyum kemenangan. Aku memang agak kesulitan membuka ikatan kencang itu, tetapi akhirnya berhasil melepasnya setelah beberapa saat berusaha. Nick terperangah melihatku melemparkan kain itu ke tanah. Dia tidak berkata apa-apa lagi dan itu bukan masalah bagiku karena aku memang tidak mengharapkan komentar atau pujiannya. “Maaf, tapi aku perlu bersenang-senang sekarang,” ujarku dengan nada mengolok-olok. “Permisi.” Sudah tidak sabar untuk bermain-main dengan air, segera saja kuputar tubuhku. Seluruh kancing kemejaku sudah terlepas dan aku hanya perlu menanggalkannya, tetapi Nick malah menarik tubuhku dan mendekapku erat-erat dari belakang. “Apa yang kaulakukan sih Nick?” Ya ampun. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku melontarkan pertanyaan itu kepadanya pagi ini. Kedua lengannya yang besar dan kokoh mendekap tubuhku dengan kekuatan berlebihan, membuatku nyaris tidak bisa bernapas. “Nick, apa yang kaulakukan?” ulangku lagi. “Aku tidak akan membiarkanmu berenang hanya dengan menggunakan bikini bodoh ini,” tandasnya dengan nada serius. Yang benar saja. Aku memutar mataku jengah. “Nick, coba lihat sekitar, kita ini sedang berada di pantai, bukan di kutub,” protesku cemberut. Aku menunjuk ke arah di kejauhan, “lihat di sana itu, wanita itu bahkan seperti tidak memakai apa pun, kan?” Napas Nick menderu. Aku bisa merasakan kehangatan napasnya di tengkukku dan itu membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Aku merasa seakan-akan bisa mendengar degup jantungnya melalui dadanya yang menempel di punggungku. “Dengar, Millie,” bisik Nick dengan intonasi yang berhasil membuatku kehilangan kemampuan untuk bernapas, “aku tidak akan membiarkan orang lain memandangi tubuhmu seperti yang dilakukan para laki-laki hidung belang tadi,” katanya. “Dan aku tidak peduli dengan wanita di sana itu!” tegasnya. Jadi maksudnya dia peduli padaku atau bagaimana? “Nick,” ucapku lirih. Aku tidak tahu mengapa aku mengucapkan namanya, padahal aku tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan. “Mm?” gumamnya. “Lepaskan aku,” kataku akhirnya. “Berjanjilah kau tidak akan turun ke air tanpa pakaianmu,” sahut Nick, tegas. Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Nick pun mengurai pelukannya dan memutar tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Aku tidak berani mengangkat pandanganku untuk membalas tatapannya. Aku sedang berusaha mengembalikan ritme normal jantungku sementara dia membantuku mengancingkan kemejaku. “Pakai ini,” katanya seraya menyodorkan celana jeans-ku. “Sebenarnya, aku ingin membantumu memakai celana ini, tapi aku takut tidak akan bisa mengendalikan diri,” bisiknya. Napasku tercekat mendengar kata-katanya dan detakan jantungku kembali terpacu untuk berdetak liar. Sebisa mungkin berusaha mengingatkan diri sendiri untuk mengabaikan ucapan Nick, meskipun aku tahu itu akan sulit sebab apa yang baru saja dia katakan sudah menunjukkan pengaruhnya pada diriku. Aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengendalikan diri. “NIICK!” Suara teriakan itu membuat perhatianku teralihkan. Aku menoleh dan melihat seorang wanita cantik yang sedang berjalan dengan penuh keanggunan ke arah kami. Kehadirannya hampir menyita perhatian beberapa pengunjung pantai yang melihatnya. Tetapi mata wanita itu hanya tertuju lurus pada Nick. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kesal melihat kedatangannya di hotel ini. Tadi, Nick mengatakan kepadaku bahwa hari ini dia yang akan menemaniku, tetapi kenyataannya malah dia meminta wanita itu untuk menyusulnya kemari. “Honey,” panggil Julia dengan suaranya yang manja saat jarak antara dirinya dan Nick hanya tersisa tiga langkah saja. “Apa yang kau lakukan di sini, Julia??” Nick sepertinya juga tampak terkejut dengan keberadaan kekasihnya di tempat ini. Wanita itu bergerak mendekat hendak memeluknya. Namun, Nick menahannya. Aku menangkap basah tepat pada saat Nick mencuri pandang ke arahku. Aku berniat untuk meninggalkan Nick dengan Julia saat aku melihat Ryan berjalan dengan langkah lebar ke arah kami. Mataku yang memicing terarah padanya, menerka-nerka apakah mungkin Ryan yang sebenarnya mengajak Julia kemari, bukan Nick. Kalau benar Ryan yang mengajak Julia... mengapa dia melakukan hal itu? “Kau tidak menjawab teleponku, Nick!” Aku mendengar suara Julia saat dia berteriak membentak Nick. Sepertinya wanita itu kesal karena Nick tidak menjawab teleponnya karena sibuk bersamaku. “Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?” tanya Nick dengan ekspresi ingin tahu. “Ryan yang memberitahuku.” Julia menunjuk ke arah Ryan. Ternyata dugaanku benar, tapi bisa saja wanita itu memang memaksa Ryan dan dia tidak punya pilihan selain memberitahu di mana kami menginap. Ryan hanya bisa mengedikkan bahu dan menunjukkan raut wajah tak berdaya. Sementara itu, Nick menatap Ryan dengan tatapan kesal. “Sekarang, kau ikut denganku,” kata Nick kepada wanita bertubuh model itu, kemudian dia pergi begitu saja sambil menggandeng Julia dengan perasaan kesal yang tergambar jelas di wajahnya. Aku hanya bisa terpaku di samping Ryan untuk mencerna apa yang sedang terjadi di hadapanku. Dia pergi meninggalkanku tanpa berkata apa-apa setelah tadi dia meyakinkanku bahwa hari ini dia yang akan menemaniku—bukan yang lain. Dan juga setelah aksi posesifnya yang aneh—seolah-olah dia memilikiku. Setelah Nick dan Julia menghilang dari pandanganku, aku berpaling pada Ryan sambil menghela napas panjang. “Bisa kau jelaskan kenapa kau tidak berusaha untuk mencegah Julia datang ke tempat ini, Ryan?” Ryan mendecak. “Bagaimana bisa kau beranggapan aku tidak berusaha mencegahnya?” Dia menunjukkan ekspresi seakan-akan terluka karena aku baru saja menuduhnya. “Dia memaksaku untuk memberitahunya atau dia akan memberitahu Kakek Ritchie kalau dia baru saja menghabiskan malam bersama suamimu itu….” Aku terhenyak tidak percaya pada wanita itu. Mataku membesar ketika sadar risiko jika Kakek Ritchie mengetahui perbuatan kami berdua. “Bagaimana bisa Nick tidak memikirkan hal itu?” Ryan mengangguk setuju. “Nick bisa melupakan segalanya jika sudah bersama wanita itu, Millie.” “Ya, kau benar Ryan…,” kataku, “tapi bagaimana kau tahu aku dan Nick berada di pantai?” “Aku ingat kau mengatakan ingin sekali menikmati pantai hotel ini, kan? Lalu, Julia memintaku untuk mengantarnya kemari. Sebenarnya, aku tadi tidak begitu yakin kalau kalian benar-benar ada di sini. Tapi, entah bagaimana, Julia bisa menemukan kalian di antara pengunjung pantai yang sebanyak ini.” Baiklah, aku memutuskan untuk mempercayainya karena seseorang yang berbohong tidak akan bisa menceritakan kebohongan semudah dan selancar Ryan. Dia juga tidak menunjukkan gerak-gerik seperti orang yang sedang berbohong. “Millie,” ucap Ryan, “kau bilang, kau ingin berenang? Kenapa aku tidak melihatmu basah sama sekali?” “Aku memang berniat berenang, tapi Nick terus saja melarangku.” Ryan mengerutkan dahi. “Kenapa?” tanyanya, heran. Aku hanya mengedikkan bahu, tidak berniat untuk memberikan penjelasan. “Bukankah sekarang Nick sedang tidak ada di sini? Kau bisa berenang. Dan aku akan merahasiakannya dari Nick,” ujarnya sambil tersenyum licik. Aku menimbang-nimbang tawaran Ryan. Sepertinya, dia benar. Nick tidak akan tahu jika aku merahasiakan ini darinya. Lagi pula, Ryan juga sudah berjanji untuk tidak mengatakannya kepada Nick. Dan pria—yang di atas kertas adalah suamiku—itu tidak akan peduli pada apa yang kulakukan karena saat ini Julia sedang bersamanya. Aku memandang hamparan biru lautan di depan sana. Merasa suara debur ombak yang lembut sedang mengundangku untuk menghampirinya. “Apakah di dekat sini ada toko yang menjual pakaian?” Aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari sebuah toko baju di antara deretan toko-toko kecil di kejauhan sana. “Aku melihat sebuah toko baju di sana.” Ryan menunjuk ke sebuah arah. “Sungguh?” Ryan mengangguk. “Tapi, kenapa?” Aku menyeringai lebar. “Aku terburu-buru dan lupa menyiapkan baju ganti,” kilahku sembari menunjuk diriku sendiri. Jawaban luguku membuat laki-laki itu mengernyit bingung. “Kau tidak berniat untuk berenang memakai pakaian itu, kan?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kemeja dan celana jeans-ku. Aku mengedikkan bahu tak acuh dan menjawab, “Kenapa tidak?” Aku meninggalkan Ryan yang masih tertegun dan mulai bermain-main dengan air laut yang hangat. Ryan akhirnya menyusulku dan masuk ke dalam air. Dia melepaskan kemeja dan celana panjangnya dan tanpa ragu-ragu menceburkan diri ke air. Kami bermain-main seperti sepasang anak kecil dan sesekali tertawa. Ryan beberapa kali menantang ombak dengan menghanyutkan diri mengikuti ombak yang menariknya semakin ke tengah. “Kau tahu itu berbahaya, Bung,” tegurku. Dua anak laki-laki menghampiri kami, masing-masing membawa ember dan sekop kecil. Ryan bertanya apakah mereka ingin membuat istana pasir dan kedua anak laki-laki itu—usianya sekitar lima atau enam tahun—mengajaknya untuk membuatnya bersama. Ryan setuju. Dia segera keluar dari air dan mengikuti apa yang dilakukan oleh kedua anak itu. Mereka bertiga duduk di atas pasir dan mulai membangun istana impian mereka. Setelah bosan bermain dengan air, aku pun beranjak. Mengamati mereka yang terlihat begitu menikmati bermain-main dengan gundukan pasir. Masing-masing membangun istana pasir dan mengaku sebagai seorang raja yang berkuasa. Istana milik Ryan-lah yang ukurannya paling besar, tetapi jika dinilai dari segi bentuk, istananya yang paling tidak menarik. Terlalu banyak ruas jalan yang dibuat dari menggali pasir sedalam satu sentimeter yang membuat istana pasir miliknya lebih terlihat seperti sebuah labirin. “Aku harus kembali ke hotel untuk mengganti pakaianku, Ryan,” cetusku sambil melingkari kain pemberian Nick di tubuhku yang basah. “Tidak jadi membeli baju baru di toko di sebelah sana?” Aku menggeleng mantap. “Aku ingin mandi lagi. Badanku rasanya lengket semua.” “Baiklah. Kita bertemu di lobi nanti,” ujar Ryan. “Setelah itu, kita akan ke The Jungle of Butterfly.” Aku menyambar tas kecilku dan bergegas untuk kembali ke hotel, meninggalkan Ryan yang masih sibuk dengan istana pasirnya. Keluar dari lift aku segera menuju ke kamarku dan membuka pintunya menggunakan access card milikku. Namun, betapa kagetnya aku begitu pintu kamar terbuka lebar. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat Nick sedang b******u dengan Julia di atas ranjangku. Telingaku mendengar desahan Julia yang menikmati setiap sentuhan tangan Nick di tubuhnya. Nick melumat bibir Julia dengan penuh gairah lalu berpindah menyusuri lekukan leher wanita itu. Julia, yang pertama kali menyadari kehadiranku. Dia mendorong tubuh Nick menjauh dan membuat laki-laki itu mengerang protes karena kesenangannya telah diganggu. Tepat saat dia menoleh dan melihat kehadiranku di kamar itu, matanya membeliak kaget. Aku melihatnya menegang di atas tubuh wanitanya, menatapku intens tanpa berkedip. Entah ini hanya perasaanku atau memang benar, tetapi aku melihat sedikit gurat penyesalan di wajahnya. Aku menelan ludah dengan susah payah. “Millie.” Nick tergagap. Dia menjauh dari Julia dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan Julia. Suara Nick membuatku tersadar. Aku tidak yakin, tetapi aku merasa bibirku bergerak membentuk seulas senyum. “A-aku minta maaf,” kataku, lalu berdeham untuk menyingkirkan sesuatu yang membuat tenggorokanku tercekat. Nick terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak berniat untuk terus berada di tempat itu dan memilih untuk pergi. Aku menutup pintu dengan sekali gerakan lalu berjalan dengan langkah lebar meninggalkan kamarku. Napasku memburu dan kakiku gemetar. Kedua tanganku yang sedingin es terkepal di samping tubuh. Aku menekan tombol lift dengan  kasar dan tergesa, bahkan aku seperti mendengar suara Nick berteriak memanggilku. Namun, aku justru tidak sabar untuk segera meninggalkan tempat ini. Aku kembali ke pantai untuk menemui Ryan. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengannya yang hendak menemuiku di hotel. Dia menatapku heran. Ketika mulutnya baru saja terbuka hendak bertanya, aku memberinya isyarat untuk diam. Kuhempaskan bokongku pada sebuah bangku kayu dan diikuti oleh Ryan yang kemudian duduk di sampingku. “A-aku akan duduk di sini sampai bajuku kering,” kataku terbata-bata. “Setelah itu, kita akan pergi ke The Jungle of Butterfly.” “Kau serius dengan yang baru saja kau katakan itu, Millie?” tukas Ryan. “Kau bisa sakit.” “Tidak. Kau tenang saja.” “Ada apa denganmu?” Aku mendengar nada khawatir di dalam suaranya. “Kau terlihat pucat. Apakah kau sakit?” “Aku baik-baik saja,” sahutku. “Millie?” “Percaya saja padaku, Ryan!” Suaraku meninggi. “Aku baik-baik saja….” Ryan tidak berkata apa-apa lagi. Saat aku berpaling, dia sudah meninggalkan tempatnya di sampingku. Dadaku seketika dipenuhi perasaan bersalah saat aku memandangi punggungnya yang bergerak semakin jauh pergi dariku. Napasku berembus keras saat aku berusaha untuk menghilangkan bayangan Nick dan Julia tadi di kamarku. Kepalaku menunduk cukup dalam sambil kupejamkan mata. Aku tidak bisa menahan lagi air mataku agar tidak jatuh. Sudah kucoba untuk tidak menangis, tetapi kenyataannya sekarang aku tidak bisa membendung air mataku. Kucoba agar tidak terisak, tetapi kenyataannya sekarang bahuku berguncang. “Pakai ini.” Aku membuka mata dan melihat sebuah tangan terulur menyodorkan sebuah tas kertas berwarna cokelat di hadapanku. Saat menengadahkan kepala, Ryan berdiri tegak di hadapanku. “Cepat ganti bajumu supaya kita bisa segera pergi dari sini,” perintahnya, tegas. Aku tidak membantah dan bergegas pergi untuk mengganti pakaianku dengan pakaian baru yang diberikannya, lalu kembali ke tempat laki-laki itu menungguku. Tanpa berkomentar, Ryan melepaskan kacamata hitamnya dan memberikannya kepadaku. “Pakai saja ini,” ucapnya. Aku tidak tahu apakah sisa-sisa tangis tadi begitu jelas membekas di wajahku. Tetapi, setelah kupikir-pikir, aku memang memerlukan kacamata itu. “Bisakah kita pergi sekarang?” tanyaku kemudian. Aku menatap Ryan dari balik kacamata hitam yang kupinjam darinya. “Tentu saja.” Ryan beranjak dari duduknya lalu berjalan mendahuluiku menuju hotel. Aku berusaha untuk mengimbangi langkah lebar dengan berjalan cepat dan membiarkan keheningan mengiringi langkah kami selama beberapa saat. Sesekali aku memperhatikan Ryan yang berjalan di sampingku dalam diam. “Kalau ada hal yang ingin kautanyakan kepadaku, silakan tanyakan saja.” Aku menelan ludah. “Tidak ada hal yang ingin kutanyakan,” sahutnya, datar. “Kau marah karena aku membentakmu?” “Tidak.” “Tapi, aku merasa kau sedang marah.” “Aku hanya tidak ingin mengganggumu,” ujar Ryan. “Kurasa, kau sedang membutuhkan waktu untuk sendiri.” “Kau salah,” tukasku. “Saat ini, aku sedang ingin bersenang-senang.” Ryan menoleh dan aku tersenyum kepadanya. “Kau serius?” Aku mengangguk. “Bisakah kau merahasiakan apa yang kaulihat tadi? Jangan katakan kepada siapa-siapa kau melihatku menangis.” “Millie,” ucapnya, “tidak ada yang salah dengan menangis.” “Memang,” sahutku, cepat. “Tapi, mereka akan bertanya apa alasanku menangis dan aku tidak pernah ingin memberikan penjelasan apa pun kepada mereka.” Ryan menghela napas berat. “Ya, baiklah. Ini akan menjadi rahasia kita berdua.” Aku tersenyum. “Terima kasih.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD