Chapter 3

1071 Words
Keesokan harinya. Semua koki saat ini tengah berlomba-lomba membuat hidangan terbaik mereka untuk memuaskan lidah sang pemilik restoran yang kini tengah menunggu untuk mencicipi masakan mereka. Setelah hidangan selesai dibuat, mereka menyajikan di atas meja dan kembali ke dapur. Ethan menatap sejenak dan memperhatikan berbagai menu yang tersaji di hadapannya sebelum mulai mencicipi makanan tersebut. Lalu dia mulai mencicipi satu persatu dan menikmatinya. Sampai akhirnya dia terdiam saat mengunyah salah satu menu yang paling terlihat biasa saja di antara yang lainnya. Penampilan hidangan itu pun juga terlalu simple dan tidak mewah dibandingkan hidangan yang lain. Pria itu kemudian memanggil manajer restoran dan tampak mengatakan sesuatu. Manager restoran mengangguk mengerti dan langsung pergi menuju dapur. Ardi kemudian bertanya siapa yang telah memasak hidangan dengan penampilan sederhana tersebut. Semua koki yang berada di sana saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya Reyn melangkah satu langkah ke depan sembari mengangkat tangan ke atas. "Saya," aku Reyn ringan. "Ikut saya, pak Ethan ingin bertemu," ujar manager. Semua orang yang berada di sana tampak resah dan gelisah memikirkan Reyn. Raut wajah mereka terlihat cemas dan khawatir. Sedangkan Reyn masih terlihat tenang dan tidak gugup sama sekali. Reyn kemudian pergi bersama dengan manager tersebut untuk bertemu dengan Ethan. Pria itu duduk sembari menyilangkan kaki layaknya seorang bangsawan ketika Reyn datang. Aura kharismatik terpancar jelas dari wajah Ethan yang menawan dan elegan. Penampilannya yang rapi dengan balutan jas berwarna hitam semakin membuat pria itu terlihat berwibawa dan berkelas. "Jadi kamu yang memasak hidangan ini?" tanya Ethan memastikan sembari menunjuk menu yang dimasak oleh Reyn. "Iya, benar," sahut Reyn jujur. "Saya rasa kamu sudah menyadari kalau penampilan masakan kamu terlalu sederhana untuk menjadi menu di restoran ini," ujar Ethan tenang tanpa ekspresi. "Kedepannya saya akan membuat resep yang jauh lebih baik dari ini," tutur Reyn sopan. "Tidak perlu, karena mulai besok kamu sudah tidak lagi bekerja di sini," pungkas Ethan lugas. Reyn terdiam untuk beberapa saat sembari menatap Ethan dengan tatapan lurus. Ia sama sekali tidak mengira jika rasa masakannya ternyata seburuk itu bagi Ethan. "Maaf jika rasa masakan saya sangat mengecewakan Anda," tuturnya dengan nada suara rendah sembari menunduk. "Siapa yang bilang begitu? Apa aku mengomentari rasa masakan kamu?" tukas Ethan. Reyn menengadah dan kembali menatap ke arah Ethan. "Tapi Anda memecat saya. Bukankah itu alasan kenapa Anda tidak ingin saya bekerja lagi di restoran ini?" tanya Reyn heran. "Memang saya tidak ingin kamu bekerja lagi di sini. Karena saya ingin kamu menjadi chef pribadi di rumah saya," pungkas Ethan lugas. Reyn tertegun dengan kedua bola mata yang terbuka lebar. "Apa saya pantas?" tanyanya tidak percaya. "Kamu tidak percaya dengan kemampuan diri kamu sendiri?" "Bukan begitu. Tapi menurut saya, penampilan masakan saya terlihat paling biasa di antara yang lain. Dan skill memasak saya juga masih jauh di bawah koki yang sudah lama bekerja di sini. Ditambah lagi, mereka lebih berpengalaman di bidang ini dibandingkan saya. Jadi kenapa saya—" "Memang, tapi satu hal yang tidak kamu ketahui, bahwa rasa masakan kamu jauh lebih delicious dibandingkan yang lain. Dan itulah poin pentingnya. Karena itu, saya memilih kamu," jelas Ethan. Reyn tampak sedang berpikir dan tidak langsung memberikan Ethan jawaban. "Kenapa? Kamu tidak tertarik?" tanya Ethan tenang saat mendapati raut wajah Reyn yang terlihat ragu. "Tidak, bukan begitu. Saya sangat menghargai tawaran Anda. Hanya saja, saya masih merasa saya tidak terlalu baik untuk menjadi chef pribadi Anda," tutur Reyn mengungkapkan isi hatinya yang membuatnya gelisah. "Kalau begitu, kamu harus berusaha agar tidak mengecewakan saya," sahut Ethan ringan. "Kamu harus percaya dengan kemampuan yang kamu punya. Tidak perlu merasa rendah diri hanya karena kamu masih muda. Semua orang punya kelebihannya masing-masing," imbuhnya. Reyn terdiam sejenak sebelum akhirnya sudut bibirnya mengembang ke atas membentuk senyuman simpul. "Saya akan melakukan yang terbaik." Ethan mengangguk. "Untuk masalah gaji dan segala kebutuhan kamu, nanti asisten saya yang akan mengurus semuanya. Besok kamu hanya perlu pindah ke rumah saya tanpa membawa apa pun," imbuhnya tenang. "Terima kasih," ujar Reyn benar-benar sangat bersyukur. ***** Reyn yang masih berada di motor hanya menatap lurus ke arah seseorang di ujung sana yang saat ini tengah duduk di kursi teras depan kontrakan. Setelah tiba di halaman depan, Reyn kemudian memarkirkan motor dan melepas helm. Lalu dia turun dan melangkah menuju pintu tanpa menggubris keberadaan orang itu. "Kenapa kamu tidak datang ke kantorku? Aku sudah mengirim kamu pesan kemarin," tukas Juna dingin. "Kenapa aku harus datang?" sahut Reyn tanpa menoleh ke arah Juna dan tetap memutar kunci untuk membuka pintu. "Aku sudah bilang akan memberi kamu pekerjaan," pungkas Juna datar. "Aku sudah mendapatkan pekerjaan," jawab Reyn singkat. "Di sana persaingannya terlalu ketat. Dan kamu tidak mungkin bisa bertahan lebih lama bekerja di sana dengan kemampuan kamu," desis Juna yang terdengar sarkas di telinga Reyn. Reyn terdiam membisu. "Apa menurut Kakak aku seburuk itu sampai tidak pantas bekerja di tempat yang bagus?" "Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya tidak ingin kamu mengalami kesulitan di tempat kerja kamu yang sekarang," sahut Juna. "Aku sama sekali tidak merasa kesulitan. Semuanya menerima aku dengan baik. Mereka juga memperlakukan aku seperti keluarga. Jadi apa yang harus aku takutkan?" "Bahkan mereka yang bukan siapa-apa aku justru lebih bisa menghargai aku dibandingkan Kakak," tukasnya dengan tatapan lurus ke depan. "Aku menghargai kerja keras kamu. Justru aku menyuruh kamu kerja di kantor aku karena aku peduli dengan kamu. Aku ingin memberikan kamu tempat kerja yang nyaman. Jadi kamu tidak perlu bersaing dengan orang-orang," jelas Juna. "Aku mencintai pekerjaanku, dan aku nyaman dengan tempat kerja aku. Jadi Kakak tidak perlu repot-repot memberi aku pekerjaan," sahut Reyn. "Kalau kamu kerja dengan aku, seenggaknya aku tidak akan menekan kamu. Kamu bisa lebih bebas dibandingkan kerja di tempat lain," ujar Juna. "Kalau begitu caranya, aku tidak akan bisa berkembang. Lebih baik Kakak cari pegawai lain saja. Yang pastinya lebih berkompeten dibandingkan aku," balas Reyn. Juna tersenyum sinis ketika Reyn menolak untuk bekerja dengannya. "Kamu pikir kamu bisa bertahan lama kerja di tempat itu? Saat ada yang lebih baik, kamu pasti akan dibuang," tukas Juna sarkas. Reyn menatap Juna lurus. "Hari ini aku tidak ingin menerima tamu, jadi lebih baik Kakak pergi." Reyn menutup pintu dan menguncinya dari dalam. "Reyn!" pekik Juna memukul pintu cukup keras. Tatapan Reyn tiba-tiba berubah sendu saat mengingat kembali perkataan Juna yang selalu merendahkan kemampuannya. Kenapa pria itu tidak pernah bisa menghargai kerja kerasnya? Kenapa dia selalu meremehkannya seakan ia tidak bisa melakukan apa-apa? Apa pria itu tidak pernah memikirkan bagaimana perasaannya setiap kali direndahkan seperti itu? TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD