Chapter 2

1009 Words
Setelah mereka makan siang bersama, Juna kemudian mengantar Reyn pulang karena wanita itu tidak membawa kendaraan. Motor yang biasa Reyn gunakan untuk berpergian masih berada di bengkel. Karena itu, untuk sementara waktu Reyn berpergian dengan menggunakan jasa ojek online selama menunggu motornya selesai di perbaiki. Di dalam perjalanan, mereka berdua hanya diam dan tak ada satu pun yang ingin membuka suara. Juna fokus menyetir dengan wajah datarnya, sedangkan Reyn mengarahkan pandangannya ke arah jendela mobil sembari melihat kendaraan yang juga tengah berlalu lalang. "Di mana kontrakan kamu?" tukas Juna memecah keheningan setelah mobilnya tiba di daerah tempat Reyn tinggal. "Lurus saja, nanti ada pertigaan belok kiri," sahut Reyn ringan. Setibanya di depan rumah kontrakan Reyn, Juna hanya memasang raut wajah datar tanpa ekspresi saat mendapati Reyn tinggal di sebuah kontrakan kecil yang sederhana. "Kamu tinggal di sini?" tukas Juna dengan nada suara sedikit arogan. Reyn yang tengah melepas sabuk pengaman, tiba-tiba terhenti saat mendengar pertanyaan Juna yang seperti menghina tempat tinggalnya. "Iya," jawab Reyn tenang sembari melepas sabuk pengaman. "Apa kamu tidak bisa mencari tempat tinggal yang lebih baik dari ini? Bahkan ini jauh lebih buruk dibandingkan gubuk," desis Juna sarkas. "Aku hanya tinggal sendiri, jadi untuk apa mencari tempat tinggal yang besar?" "Lagipula, selama aku masih bisa tidur dengan nyaman, itu sudah lebih dari cukup," sambungnya ringan dan bersiap keluar dari mobil Juna. "Kamu tidak menawarkan aku masuk?" tukas Juna tersenyum sinis saat mendapati Reyn berniat keluar dari mobilnya tanpa mengatakan apa pun. Reyn terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Juna. "Seperti yang Kakak lihat, tempat tinggal aku tidak jauh lebih baik dari gubuk. Jadi, apa Kakak sudi masuk ke dalam?" tukas Reyn sarkas dengan raut wajah tenang. Juna menatap bola mata Reyn lurus dengan raut wajah datar. Kemudian dia mengalihkan wajah ke arah lain. "Bilang saja kalau kamu tidak ingin aku masuk ke dalam," desisnya dingin. "Aku tidak pernah bilang begitu. Yang aku tanyakan itu apa Kakak mau masuk ke dalam dengan keadaan tempat tinggal aku yang seperti ini? Kalau Kakak mau, ayo silahkan masuk ke dalam. Aku juga tidak keberatan kalau Kakak mau melihat kondisi kontrakan aku," ungkap Reyn ringan. "Tapi yang harus Kakak tau, tempat duduk di kontrakan aku tidak sebagus punya Kakak. Aku harap Kakak tidak menyesal setelah masuk ke dalam. Karena mungkin saja, kontrakan aku tidak terlalu nyaman untuk Kakak yang sudah terbiasa tinggal di tempat yang bagus," imbuhnya santai. "Kamu tidak perlu memberitahuku," pungkas Juna datar dan langsung keluar dari mobil. Lalu disusul oleh Reyn yang mengeluarkan kunci dari tas untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, mereka berdua masuk ke dalam. Reyn meletakkan tas selempangnya di kursi. Sedangkan Juna mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan sembari duduk di kursi. "Aku tidak punya kopi. Kalau Kakak mau teh, akan aku buatkan," ujar Reyn. Juna hanya melirik sekilas ke arah Reyn dan tetap duduk di kursi tanpa mengatakan apa pun. Sedangkan Reyn yang sudah mengerti sifat Juna langsung melangkah menuju dapur berniat membuatkan minuman untuk Juna. Tidak lama kemudian, Reyn kembali ke ruang tamu sembari membawa secangkir teh hangat. Dia meletakkannya di atas meja dengan hati-hati. "Minumannya, Kak," ujarnya ringan dan duduk di kursi yang berada di depan Juna. Juna menatap ke arah Reyn sejenak sebelum akhirnya dia mengulurkan tangan mengambil cangkir teh tersebut dan menyeruputnya perlahan. Setelah meneguk seteguk demi seteguk, Juna kemudian meletakkan kembali cangkir tersebut di atas meja. Lalu menatap Reyn dengan tatapan lurus. "Ayo pulang ke rumah. Aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di tempat seperti ini," ajak Juna dengan raut wajah datar. "Kenapa Kakak tiba-tiba peduli dengan aku? Mau aku tinggal di mana pun, itu bukan urusan Kakak. Lagipula sekarang hubungan kita hanya sebatas orang asing yang saling mengenal. Kita berdua sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi Kakak tidak perlu repot-repot mengurus kehidupan aku. Karena aku bisa mengurus diri aku sendiri," pungkas Reyn. Juna tertegun. Wajah datarnya seketika hancur saat mendengar ucapan Reyn. "Apa maksud kamu kita tidak ada hubungan apa-apa?" tukasnya dingin dan menukik tajam. "Walaupun papa sudah tidak ada, tapi kamu tetap adik aku," desisnya dengan nada suara yang sedikit meninggi. "Reyn tersenyum sinis. "Adik? Bahkan dulu Kakak tidak pernah menganggap aku. Tapi kenapa sekarang Kakak tiba-tiba bersandiwara seperti seorang Kakak yang menyayangi adiknya? Apa itu masuk akal?" "Sudah, Kak. Kita jalani hidup kita masing-masing. Aku tidak akan mengganggu Kakak, begitupula sebaliknya. Kita urus saja hidup kita sendiri tanpa harus mencampuri urusan orang lain. Lagipula aku sudah dewasa, dan aku juga tidak ingin bergantung dengan orang lain." Juna menatap Reyn lurus sebelum akhirnya dia beranjak pergi dari kontrakan Reyn dengan raut wajah yang tidak bisa di tebak. Tiga Minggu kemudian. Setelah restoran tempat Reyn kerja ditutup, wanita itu kini bekerja di salah satu restoran yang cukup populer. Sudah lima hari dia bekerja di tempat baru tersebut. Tidak sulit untuk beradaptasi di sana, karena memang semua rekan kerjanya ramah dan juga saling mendukung satu sama lain. Meskipun mereka jauh lebih berpengalaman dibandingkan Reyn, tetapi mereka tetap menghargai rekan kerjanya satu sama lain dan tidak merasa paling tinggi. "Besok pemilik restoran akan datang, jadi kita harus mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik kita," kata Johan yang menjabat sebagai kepala koki di restoran tersebut. "Walaupun sudah berkali-kali datang, tapi aku tetap saja gugup setiap kali pak Ethan datang ke restoran," ujar Dina gelisah. "Memangnya kenapa, Mbak?" tanya Reyn heran. "Oh iya, kamu kan baru kerja di sini. Jadi belum pernah ketemu sama pak Ethan," sahut Dina. "Besok juga kamu bakal lihat sendiri," timpal Reno. "Intinya, kita harus hati-hati dan nggak boleh melakukan kesalahan sedikit pun saat ada pak Ethan. Soalnya dia orangnya gila kebersihan dan super perfeksionis. Ditambah lagi, selera masakan dia juga tinggi dan harus benar-benar higienis. Jadi kalau ada rasa masakan yang dia tidak suka, dia nggak akan segan-segan pecat orang yang masak masakan itu. Makanya kita semua dituntut untuk harus bekerja dengan maksimal," imbuhnya. "Tapi itu sebanding sih dengan gaji dan bonus yang kita dapat. Karena nggak semua restoran berani kasih gaji tinggi," sahut Dina. Mendengar keluh kesah dari rekan kerjanya membuat Reyn menyadari jika pemilik restoran tersebut adalah orang yang sulit dan tidak mudah untuk dihadapi. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD