2

2071 Words
"Yah! Kenapa tadi ayah bilang kayak gitu sama mereka?" Tanya Erina bermaksud protes dengan ucapan sekaligus keputusan yang sudah disepakati kedua belah keluarga karena jawaban dari ayahnya. Fatih dan keluarga sudah berpamitan sekitar dua puluh lima menit yang lalu sehingga Erina berani mengungkapkan perasaannya. "Kayak gitu gimana, Rin?" Tanya Miko bingung. “Ya kayak tadi ayah. Kenapa Ayah bilang kalau aku menyerahkan semua keputusan sama kalian. Padahal aku tadi masih mikir loh, Yah, sama syarat yang Farhan ajukan.” Kata Erina. “Loh! Kata Bunda kamu sudah menerima kalau mau dijodohkan? Jadi ayah pikir kamu juga menerima kalau ayah sama bunda sudah cocok dengan calon suami yang datang melamar kamu.” Kata Miko. “Iya, Ayah. Aku memang bersedia kalau Bunda mengenalkan calon suami. Tapi aku ngga pernah bilang kalau menyerahkan keputusan sama ayah dan bunda. Apalagi sampai kalian juga sudah menyepakati tanggal pernikahan yang tinggal dua bulan lagi. Ini terlalu mendadak buat aku, Yah, Bund.” Rengek Erina. “Bunda minta maaf ya kalau Bunda salah.” Akhirnya Cintami ikut buka suara. Namun, ucapan Cintami justru membuat ada sedikit perasaan bersalah muncul di hati Erina. Ibunya itu jarang sekali meminta maaf kepadanya karena memang bagi Erina, Cintami adalah sosok ibu yang mendekati sempurna. Jadi jika sampai keluar kata maaf dari lisan Cintami, itu berarti dia benar-benar merasa meyesal. “Sebenarnya Bunda sudah lama kenal dengan Bu Fatih, Rin. Beliau termasuk orang berada tapi sangat bersahaja. Selama Bunda berinteraksi dengan beliau, sama sekali Bu Fatih tidak pernah membanggakan harta maupun prestasi keluarganya. Oleh karena itu, Bunda sempat berharap dalam hati bisa punya menantu salah satu putra dari Bu Fatih. Sepertinya Allah mendengar doa Bunda karena beberapa hari lalu Bu Fatih minta tolong Bunda untuk mencarikan calon istri untuk putra bungsunya. Nah, yang Bunda tanya sama kamu kemarin lusa itu sebenarnya juga karena ini, Rin.” Jelas Cintami panjang lebar. Erina menghela nafas panjang. Terjawab sudah rasa penasarannya mengapa secepat ini bundanya mengenalkan pria untuk jadi calon suaminya. Dia bisa bilang apa jika memang semua seolah sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa. “Tapi, Bund. Kami ngga harus menikah secepat ini kan? Aku pikir kami juga butuh waktu untuk saling mengenal. Siapa tahu nanti ada sifat atau kebiasaanku yang nggak disukai sama Farhan atau sebaliknya. Aku ngga mau sampai mengalami kegagalan dalam pernikahan hanya karena merasa ada ketidakcocokan setelah menikah.” Kata Erina masih belum bisa menerima keputusan kedua keluarga. “Kalau soal saling mengenal bisa kalian lakukan setelah menikah, Rin. Ayah sama Bunda juga dulu kayak gitu. Meskipun sebelum menikah kami sudah saling kenal, tapi kami merasa benar-benar sangat mengenal satu sama lain setelah beberapa tahun menikah. Kalau dibilang ada ketidakcocokan di antara kami, ayah bisa bilang kalau ayah sama bunda kamu ini memiliki sangat banyak hal yang saling berlawanan. Tapi hal itu bukan untuk dijadikan alasan untuk berpisah, tapi untuk saling menguatkan. Karena kalau kami renungkan lagi setiap hal yang berbeda dari kami ternyata bisa untuk saling mengisi kekurangan masing-masing.” Kata Miko. “Terus kerjaanku gimana, Yah? Aku kan belum resign. Gimana bisa setelah menikah aku ikut Farhan kalau aku masih harus bekerja?” Tanya Erina. “Yah kamu bilang ke atasan kamu secepatnya. Kalau bisa hari senin ini kamu kirim surat pengunduran diri kamu. Ayah rasa tidak mendadak jika kamu resignnya bulan depan.” Kata Miko. “Tapi, Yah-” Erina masih berniat menyanggah tapi keburu dipotong oleh Miko. “Kenapa lagi, Rin? Apa usulan Ayah masih belum bisa kamu terima? Atau kamu berniat menggagalkan perjodohan ini? Kalau kamu memang tidak ingin perjodohan ini dilanjutkan sebaiknya kamu bilang sama kami sekarang juga. Nanti biar kami yang menemui keluarga Pak Fatih. Lebih baik dari awal kita selesaikan semuanya daripada sekarang kamu bilang menerima tapi di hari pernikahan ada drama calon pengantin yang kabur.” Kata Miko tegas. Erina yang mendengar nada bicara Miko yang datar terbungkam. Kepalanya menggeleng lemah sebagai jawaban dari pertanyaan ayahnya. Dia tidak akan berani lagi membantah jika Miko sudah bicara dengan cara seperti itu. “Ayah kamu benar, Rin. Kamu tahu kan kami orang tua seperti apa? Kami tidak pernah memaksakan kehendak kami sama kamu. Kalau setelah kesepakatan kemarin kamu merasa keberatan, kami akan merendahkan diri untuk meminta maaf kepada keluarga Pak Fatih untuk membatalkan perjodohan kalian.” Kata Cintami dengan wajah sendu. Erina semakin tidak bisa menolak. Memang benar jika selama ini kedua orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak mereka, apapun itu. Mereka lebih sering mendiskusikan suatu masalah bersama-sama. Kedua orang tuanya itu pun selalu rendah hati menerima pendapatnya. Hanya saja mungkin untuk masalah perjodohan ini memang terjadi miss komunikasi sehingga kesepakatan yang terjadi tanpa memperhatikan pertimbangan Erina. “Sebenarnya bukan aku mau menolak, Bunda, Ayah, tapi-” “Kalau kamu nggak menolak berarti kamu menerima kan, Rin?” Tanya Cintami berbunga. “Iya sih, Bund. Tapi-” Jawab Erina yang lagi-lagi ucapannya terpotong saat akan mengutarakan pendapatnya. “Kamu tenang aja, Rin. Kamu ngga usah berpikir kalau waktunya terlalu cepat untuk persiapan pernikahan kalian. Kamu sudah dengar sendiri kan kalau keluarga Pak Fatih yang akan mengatur semuanya.” Kata Miko ikut kembali bersemangat. “Iya, Ayah. Aku juga udah dengar, tapi-” “Ya udah kalau gitu. Ayah rasa sudah ngga ada masalah lagi, kan? Sekarang lebih baik segera kita selesaikan aja acara bersih-bersihnya biar kita bisa segera istirahat. Dan kamu Erina, segera buat surat pengunduran diri ya, biar atasan kamu ngga terkejut.” Kata Miko. “Baik, Ayah.” Kata Erina akhirnya. Dia merasa sudah tidak ada pilihan lain selain menerima dan menjalani semuanya. Lagipula pengalaman yang kedua orang tuanya sampaikan tadi cukup masuk di logikanya, tinggal bagaimana sekarang dia menata hati agar bisa benar-benar ikhlas. --- “Serius kamu, Rin?” Tanya Kikan setelah Erina menyampaikan niat dan alasannya mengundurkan diri. Kikan yang selama ini memang tidak pernah mengetahui kalau Erina memiliki teman dekat pria jelas terkejut. “Iya, Bu Kikan.” Jawab Erina. “Memangnya kapan tanggal pernikahanmu?” Tanya Kikan lagi. “Dua bulan lagi, Bu.” Jawab Erina ragu. Dia khawatir Kikan menduga yang tidak-tidak setelah mengetahui tanggal rencana pernikahannya. “What?!” Teriak Kikan terkejut. "Dua bulan lagi? Apa ngga kecepetan itu, Rin? Mana ada pernikahan normal yang bisa dipersiapkan hanya dalam waktu dua bulan. Aku aja waktu menikah dulu, butuh waktu hampir satu tahun untuk menyiapkan semuanya." Kata Kikan. Erina hanya bisa menggaruk tengkuknya bingung. Dia sendiri tidak tahu menahu mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan seseorang yang akan menikah karena selama ini memang tidak pernah ikut terlibat. "Kamu nggak-" Kikan memicingkan mata. Dia ragu untuk meneruskan dugaan yang tiba-tiba muncul di kepalanya. "Nggak apa, Bu Kikan?" Tanya Erina penasaran apakah yang akan Kikan tanyakan sesuai dengan dugaannya. "Kamu nggak sedang hamil kan sekarang?" Lanjut Kikan akhirnya mengutarakan kecurigaannya. "Astaghfirullah. Naudzubillahimindzalik, Bu Kikan. Jangan sampai terjadi seperti itu sama saya." Kata Erina sedikit sewot. "Beneran lho ya, Rin. Kalau sampai ketahuan itu terjadi sama kamu, saya akan beri kamu sanksi meskipun kamu sudah ngga kerja di sini lagi." Kata Kikan memperingatkan. "Lah kenapa gitu, Bu? Memangnya Bu Kikan mau datangi rumah saya?" "Kenapa nggak? Saya sendiri yang akan datang ke rumah kamu dan menemui kedua orang tua kamu kalau. Kenapa? Kamu takut? Mau mengakui sekarang?" Tanya Kikan mengintimidasi. "Kenapa harus takut kalau saya ngga melakukan apa yang ibu sangkakan? Ibu jangan khawatir, sampai saat ini saya jamin kalau saya masih gadis." Kata Erina mantap. "Baguslah. Berarti penilaian saya sama kamu tidak salah." Kata Kikan. "Memangnya saya seperti apa, Bu?" Tanya Erina. "Kamu ya seperti itu, Rin." Kata Kikan ambigu. Erina hanya nyengir mendengar jawaban Kikan. "Berarti saya diizinkan untuk resign kan, Bu?" Tanya Erina. "Tergantung alasan kamu sih, Rin. Memangnya calon suamimu tidak mengizinkan kamu untuk bekerja lagi?" "Kalau untuk saya belum menanyakan, Bu. Hanya saja, setelah menikah saya diminta ikut pindah ke kota tempatnya bekerja." Jawab Erina jujur. "Hehh, baiklah. Sepertinya tidak ada pilihan untuk saya selain melepas kamu. Padahal kamu ini salah satu karyawan yang bisa saya andalkan." Kata Kikan setelah menghela nafas. "Terima kasih banyak, Bu Kikan. Saya juga sebenarnya berat meninggalkan perusahaan ini. Saya banyak sekali teman dan ilmu selama bekerja di sini. Saya-" "Sudah, sudah, Rin, jangan diteruskan. Saya bisa benar-benar menangis kalau kamu berpamitan sekarang." Kata Kikan yang sudah berkaca-kaca. Erina menurut dan segera mengatupkan mulut. "Kamu juga sudah buat surat pengunduran diri?" Tanya Kikan. "Sudah, Bu Kikan. Tinggal menunggu ACC dari Bu Kikan sebelum saya serahkan ke HRD." Jawab Erina. Kikan menghela nafas kemudian mengambil selembar kertas memo di mejanya dan menuliskan sesuatu. "Ini kamu serahkan ke HRD sekalian surat pengunduran diri kamu ya." Kata Kikan. Erina mengambil lembaran memo yang Kikan berikan. "Terima kasih banyak, Bu Kikan." Ucap Erina. "Emmm, sebelum saya keluar dari perusahaan ini, apa ada tugas yang harus saya selesaikan, Bu?" Tanya Erina. "Pasti, Rin. Tapi itu nanti aja saya pikirkan. Yang pasti kamu harus lebih dulu mengajari karyawan yang akan menggantikan posisi kamu sampai mahir." "Sampai mahir, Bu?" Tanya Erina memastikan. Dia tidak bisa menjamin bahwa penggantinya akan mahir dengan cepat. Karena kemampuan setiap orang tidak sama. Lagipula untuk posisi sebagai manager pemasaran seperti dirinya, membutuhkan jam terbang yang cukup lama untuk sampai pada tingkatan mahir. Dan menurut Erina waktu dua bulan tidaklah cukup, kecuali untuk orang-orang yang sebelumnya memang memiliki pengalaman di bidang ini. "Yah, sampai mahir. Minimal seperti kamu lah." Jawab Kikan. "Baiklah kalau begitu, Bu, akan saya usahakan semampu saya." Kata Erina. "Saya permisi dulu mau menyerahkan surat pengunduran diri saya ke HRD." "Oke." Ucap Kikan. Erina kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Kikan menuju ruangan HRD. Dalam perjalanannya berpindah ruangan, Erina menggerutu. "Ini kenapa orang-orang sekarang selalu berpikiran negatif sih kalau ada orang nikah cepat?" "Apa saking banyaknya pasangan yang menikah terburu-buru karena kecelakaan sehingga mereka pukul rata dan menganggap semua sama?" "Ini juga kalau nggak karena ayah, aku juga ngga akan memutuskan menikah secepat ini sama orang yang baru aku kenal." "Lagian gimana juga si Farhan itu bisa secepat ini bersedia melanjutkan perjodohan hanya karena ayah bilang aku mau ikut dia ke kota tempat dia kerja? Apa dia ngga takut menyesal kalau tau yang sebenarnya kayak gimana?" "Hei!!!" "Astaghfirullah!!!" Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Erina dari belakang dan membuat wanita itu sangat terkejut. "Ya Allah, Meiii! Kamu ngagetin aku aja!" Kata Erina sambil memukuli lengan atas Mei gemas. "Aduh, aduh! Sakit tau, Rin." Kata Mei sambil mengelak dari pukulan Erina. "Makanya jangan suka ngagetin orang, Meiiii!" Kata Erina. "Siapa juga yang ngagetin? Kamu aja yang dari tadi serius ngomel dari ujung sana sampai ujung sini." Mei membela diri karena memang tepukan tangannya di bahu Erina tidak terlalu kuat. "Lagian kamu kenapa kayak kesel banget gitu sih, Rin? Kamu habis dimarahi Bu Kikan?" "Bukannya dimarahi, Mei. Tapi Bu Kikan curiga aku hamil duluan hanya karena aku mendadak resign dan bilang kalau mau menikah dua bulan lagi." Kata Erina berapi-api. "Apa?!!" Mei berteriak terkejut membuat beberapa orang yang ada di dekat mereka menoleh. "Ka-kamu resign, Rin? Kamu mau menikah? Dua bulan lagi?" Tanya Mei terbata. "Sssttt, jangan keras-keras." Kata Erina sambil membekap mulut Mei dengan cepat. "Jangan sampai orang satu kantor tau masalah ini." Bisik Erina di telinga Mei. "Wwww, hhhmm, aakkk." Suara Mei hanya terdengar sebagai dengungan di balik tangan Erina. "Kamu ngomong apa sih, Mei?" Tanya Erina karena tidak jelas dengan ucapan Mei. Mei melepaskan tangan Erina dari mulutnya lalu menarik nafas panjang. "Buka dulu makanya." Protes Mei. Erina nyengir. "Eh iya lupa. Kamu juga kalau ngomong jangan keras-keras dong." Erina ikut protes. Dia kemudian menarik Mei menuju ke tempat yang agak sepi untuk membicarakan masalahnya. "Kamu serius mau berhenti kerja karena mau menikah?" Tanya Mei sangat penasaran. Erina mengangguk lemah. "Iya, Mei." "Kenapa kamu ngga pernah cerita? Kamu udah ngga anggap aku teman kamu? Tega kamu, Rin!" Mei mengungkapkan kekesalannya. "Bukannya aku ngga mau cerita, Mei. Cuma memang belum aja, ini juga semua serba mendadak." Kata Erina. "Mendadak gimana maksud kamu?" Tanya Mei tidak percaya. Erina kemudian menceritakan tentang perjodohannya dengan Farhan mulai dari saat Cintami menawarkan perkenalan hingga hasil kesepakatan dari kedua keluarga. Mei mengangguk-anggukkan kepala sambil menampilkan senyum penuh arti. "Jadi gitu, Mei, ceritanya. Ayah minta aku segera mengajukan pengunduran diri hari ini, jadinya aku belum sempat cerita sama kamu." Kata Erina. "Jadi seperti itu. Akhirnya ada juga yang mau menikah sama kamu, Rin." Kata Mei membuat Erina melotot tidak terima. "Kalau aku doakan semoga acara pernikahannya lancar dan kalian bisa menjadi pasangan yang berbahagia lahir batin." Kata Mei sambil menepuk pundak Erina pelan. Setelahnya, Mei pergi begitu saja meninggalkan Erina yang masih terpaku dengan ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD