bc

Istri Sekretaris

book_age16+
293
FOLLOW
1.5K
READ
love after marriage
arranged marriage
mate
brave
confident
sweet
bxg
office/work place
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Menjadi istri sekretaris yang terbiasa siap siaga kapanpun atasannya membutuhkan membuat Erina berkali-kali menelan kekecewaan. Bagaimana tidak? Jika di luar jam kerja pun Farhan, suaminya, tetap harus mengikuti perintah Mario sang atasan. Farhan sering lupa jika dia sudah memiliki istri yang butuh waktu dan perhatiannya juga.

Permintaan Erina kepada Farhan untuk mengatur jam kerjanya yang tidak juga dipenuhi Hingga akhirnya Erina menyusun rencana agar bisa terus bersama suaminya selama mungkin dalam sehari.

Cover by : Ai

Foto oleh Monstera dari Pexels

chap-preview
Free preview
1
“Rin.” Panggil Cintami, ibu Erina. Mereka sedang berdua saja menonton sinetron kesayangan Cintami. Erina sebenarnya tidak tertarik menonton sinetron karena menurutnya sinetron sekarang hanya bisa mempermainkan emosi tanpa banyak memberi pesan positif. Jadi dia berada di tempat itu hanya untuk menemani bunda tercintanya. Bagi Erina hanya pada saat seperti inilah dia bisa memiliki waktu berkualitas dengan keluarganya. Selebihnya dia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. “Iya, Bund?” Tanya Erina. “Kamu kan sekarang sudah semakin dewasa. Apa kamu masih belum terpikir untuk berkeluarga?” Tanya Cintami. Erina menghela nafas. Pertanyaan yang selalu diucapkan oleh bunda atau ayahnya tepat setelah hari ulang tahunnya. Erina sampai berpikir bahwa pertanyaan ini seperti kado ulang tahun sejak usianya memasuki angka dua puluh empat tahun hingga sekarang sudah mencapai usia yang ke dua puluh delapan. “Sebenarnya aku sudah sempat memikirkannya, Bund. Tapi sekarang ini aku masih belum punya calon, jadi aku ngga tau mau nikah sama siapa.” Jawab Erina. Mata Cintami berbinar. Pasalnya baru kali ini Erina memberi jawaban seperti ini. Sebelumnya, putri sulungnya itu akan menjawab masih ingin berkarir atau jalan-jalan keliling Indonesia dulu sebelum melepas masa lajang. Jika Erina menjawab seperti itu, Cintami hanya bisa menghela nafas kecewa karena mereka sudah sepakat tidak akan memaksakan kehendak kepada Erina. “Bunda tau.” Kata Cintami cepat. “Maksud, Bunda?” Tanya Erina tidak mengerti. “Bunda tau siapa yang bisa menikah sama kamu.” Jawab Cintami. “Maksud Bunda, Bunda mau menjodohkan aku?” Tanya Erina tidak percaya. “Ya! Menurut Bunda cuma cara itu yang bisa kita lakukan. Kamu bilang tadi belum punya calon kan? Apa kamu punya cara lain selain perjodohan untuk mendapatkan suami?” Tanya Cintami. “Kalau sekarang ini ngga ada sih, Bund.” Jawab Erina nyengir. “Ya udah kalau gitu ya ngga usah sok kaget gitu kalau mau Bunda jodohin.” Kata Cintami gemas. “He he he. Iya, Bund. Memangnya Bunda udah ada calon buat aku?” Tanya Erina. “Ya belum sih, Rin.” Jawab Cintami membuat Erina melongo. “Udah ngga usah syok kayak gitu. Kalau Bunda yang cariin jodoh pasti langsung ketemu.” Kata Cintami membanggakan diri. “Hemmm, ngga boleh gitu, Bunda. Hati-hati lho, terlalu bangga bisa terjerumus ke arah sombong.” Ucap Erina. Sedekat itu memang mereka sehingga Erina tidak sungkan mengingatkan Cintami. Ibunya itu pun cukup terbuka menerima kritikan ataupun saran dari semua anggota keluarganya, tapi dengan syarat harus disampaikan dengan cara yang sopan. “Astaghfirullah. Semoga yang Bunda katakan tadi bukan kesombongan.” Kata Cintami menyesal. “Sebenarnya Bunda sudah ada pandangan aja, Rin. Yang penting kamu siapkan diri ya. Sewaktu-waktu ada yang datang ke sini melamar, kamu sudah siap." "Gimana sih, Bund. Katanya belum ada calon, kok aku udah disuruh siap-siap?" "Calon memang belum ada, Rin. Tapi Bunda sudah punya pandangan." Kata Cintami mantap. "Apa bedanya, Bund." Gerutu Erina. "Emangnya sama ya?" Tanya Cintami serius. "Bundaaaa." Ucap Erina gemas. Cintami tergelak melihat sikap putrinya. "Udah ngga usah terlalu dipikirkan masalah calon suami kamu. Yang penting sekarang kamu mulai menyiapkan diri. Kalau bisa sih kamu juga harus memperbaiki diri juga. Biar nanti bisa dapat jodoh yang baik pula" "Baiklah." Kata Erina. Ternyata Cintami tidak main-main dengan niatnya. Meskipun dia sudah meminta Erina bersiap ternyata wanita itu masih saja terkejut karena tamu yang mereka bicarakan datang dua hari kemudian. "Rin, nanti dari kantor langsung pulang ya. Jangan mampir kemana-mana." Kata Cintami saat mereka sedang sarapan. "Ada apa, Bund?" Tanya Erina. "Nanti malam mau ada tamu." Jawab Cintami. "Tamu siapa, Bund? Mau ada saudara kah?" Tanya Erina lagi. "Tamu penting, Rin. Jadi Ayah minta nanti kamu langsung pulang ya. Kalau kamu bisa ijin pulang lebih awal malah bagus." Kata Miko. "Tamu penting siapa sih, Yah?" Tanya Erina penasaran. "Tamu yang kita bicarakan dua hari lalu itu loh. Kamu ngga lupa kan?" Tanya Cintami. Erina yang sedang menelan makanan menjadi tersedak. "Dua hari lalu?" Erina mengingat kembali apa yang sudah dia bicarakan dengan ibunya dua hari lalu. "Calon suami buat kamu." Kata Cintami karena tidak sabar menunggu Erina yang masih berpikir. "Uhukk... uhukk." Erina segera mendorong makanan yang menyangkut di laringnya dengan air putih. "Secepat ini, Bund?" Tanya Erina setelah kondisinya terkontrol. "Ngapain nunggu lama-lama kalau udah calonnya, Rin." Kata Cintami tenang. "Tapi, Bund aku-" Erina berharap bisa menunda kedatangan tamu penting yang mereka maksud karena masih belum siap. "Udah, kamu tenang aja. Biar Bunda yang menyiapkan semuanya. Kamu tau beres aja. Yang penting kamu pulang tepat waktu aja. Jangan mikir mau kabur loh, kamu sendiri kan yang udah setuju." Kata Cintami. Sebenarnya Erina masih ingin bernegosiasi, tapi karena waktunya tidak memungkinkan terpaksa dia harus segera berangkat bekerja dan menerima keputusan kedua orang tuanya. Seharian itu Erina tidak konsentrasi bekerja. Beberapa kali dia harus diingatkan oleh atasannya karena melakukan kesalahan. "Kamu sakit, Rin?" Tanya Kikan. Atasan langsung Erina. "Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa. Apa saya melakukan kesalahan lagi, Bu?" Tebak Erina. "Ya, dan ini sudah ketiga kalinya. Bukan kamu banget loh ini. Kalau memang sakit, sebaiknya kami pulang aja nggak apa-apa." Kata Kikan. "Saya baik-baik saja, Bu Kikan. Mohon maaf, biar saya revisi yang salah." Kata Erina. "Sudah, Rin. Biar ini diurusi sama Qomar aja. Kamu pulang aja. Percuma kamu paksakan kalau pikiran kamu sedang nggak fokus kayak gitu." Kata Kikan. "Tapi, Bu Kikan, saya-" "Udah nggak apa-apa. Saya yang nanti bilang ke HRD. Udah sana kamu pulang aja." Kata Kikan. Erina tidak berani lagi menyanggah jika Kikan sudah mengatakan untuk kedua kalinya. Dengan berat hati akhirnya dia memilih untuk berpamitan dan segera keluar dari kantor. Padahal dia berharap hari ini dia diberi banyak pekerjaan yang bisa membuatnya terlambat pulang. Sampai di tempat parkir, Erina bimbang. Apakah akan langsung pulang atau jalan-jalan dulu, karena saat itu jam masih menunjukkan pukul dua siang. Tapi karena kedua orang tuanya sudah berpesan agar segera pulang, dia pun akhirnya memilih menuruti mereka daripada nanti terjadi hal yang tidak diinginkan. "Loh, udah pulang, Rin?" Tanya Cintami yang merasa bahagia karena Erina pulang jauh lebih cepat dari jam pulang biasanya. Cintami berpikir jika Erina juga antusias dengan kunjungan perkenalan dari tamu mereka nanti malam. "Iya, Bund. Disuruh pulang sama Bu Bos." Kata Erina. "Masya Allah pengertian banget atasan kamu itu. Tahu aja kalau kamu mau ada tamu penting." Kata Cintami. "Kamu kasih tau ke bos kamu kalau mau ada yang melamar kamu?" Tanya Cintami. "Apa, Bund? Melamar? Bukannya masih baru mau kenalan ya?" Tanya Erina. Dia bukannya menjawab pertanyaan ibunya malah bertanya balik. Erina yang tadinya mau langsung ke kamar untuk istirahat menjadi berjalan mendekati Cintami untuk mendengarkan penjelasan ibunya. "Iya, Erina. Baru kenalan aja, tapi kalau mereka sudah cocok dan suka sama kamu ngga menutup kemungkinan mereka akan melamar kamu." Kata Cintami. "Tapi, Bund, mana bisa secepat itu. Aku aja belum kenal sama orangnya, begitu juga dia. Mana bisa langsung cocok?" Cicit Erina. "Ya makanya tadi Bunda bilang, kalian nanti kenalan dulu. Kalau udah kenal, lalu mencocokkan diri satu sama lain, lalu..." Cintami tidak meneruskan ucapannya tapi justru memberi senyum simpul. "Lalu apa, Bund?" Tanya Erina sambil memicingkan mata curiga. "Lalu... mending kamu sekarang bantuin Bunda menyiapkan acara nanti malam aja deh daripada cuma berdiri dan banyak pertanyaan." Kata Cintami yang memilih meneruskan pekerjaannya menyiapkan hidangan untuk menyambut tamu mereka nanti malam. "Aku mau istirahat dulu aja, Bund. Tadi Bu Kikan nyuruh pulang karena disuruh istirahat. Aku ngga mau jadi karyawan yang ngga amanah karena menggunakan waktu kerja tidak sesuai dengan perintah atasan." Kata Erina yang kemudian bergegas menuju ke kamarnya. "Ini kenapa kamu lebih memilih patuh sama atasan kamu daripada sama Bunda?" Tanya Cintami sebelum Erina masuk ke dalam kamar. Wanita itu berbalik. "Justru ini aku juga sedang patuh sama Bunda. Kan Bunda sendiri yang bilang kalau jadi karyawan itu yang amanah. Kalau di jam kerja yang taat sama atasan. Nah ini kan aku sebenarnya masih di jam kerja, jadi aku harus taat perintah atasan kan. Jadi kalau aku sekarang istirahat, aku ngga cuma patuh sama atasan, tapi patuh sama Bunda juga. Iya kan, Bund?" Tanya Erina. "Iya juga sih. Tapi-" "Ya sudah, kalau begitu aku masuk dulu ya Bunda Sayang." Kata Erina kemudian segera masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. "Kenapa aku merasa ada yang nggak bener ya?" Tanya Cintami setelah pintu kamar Erina tertutup. Dia hanya menggelengkan kepala bingung lalu melanjutkan pekerjaannya. Sampai di dalam kamar, Erina terpaku dengan mulut terbuka. Di atas tempat tidurnya yang berukuran single ternyata sudah penuh dengan barang. Ada gamis brukat berwarna salem beserta jilbab polos warna senada, juga beberapa aksesoris yang sepertinya disiapkan oleh Cintami untuknya. Erina meletakkan tas kerja di tempatnya baru kemudian mengangkat gamis yang disiapkan Cintami. "Ini ngga mungkin kalau beli jadi. Pasti Bunda udah nyiapin ini sejak lama." Tebak Erina. "Atau jangan-jangan, calon yang Bunda maksud juga udah ada dari lama?" Tanya Erina. Erina menghela nafas. Dia memindahkan semua benda yang ada di atas kasurnya ke tempat yang seharusnya agar tempat tidurnya bisa dia tempati. Dia benar-benar memilih tidur daripada membantu ibunya di dapur. Dia merasa masih butuh waktu untuk ini menjalani semua proses ini. "Rin, bangun. Udah mau maghrib ini. Sana mandi sama siap-siap." Kata Cintami membangunkan Erina. "Siap-siap apa, Bund?" Tanya Erina dengan suara seraknya. "Kamu nggak usah pura-pura lupa gitu deh. Atau kamu mau Bunda mandikan di sini? Iya?" Ancam Cintami yang kemudian keluar dari kamar Erina dan kembali dengan membawa ember berisi air beserta gayungnya. "Bund, Bunda ngapain bawa-bawa itu?" Tanya Erina panik. Dia bergegas berdiri di sudut ruangan untuk menghindari Cintami. "Udah ya, Rin. Bunda ngga mau liat lagi kamu pura-pura lupa atau menghindar dari acara ini. Cepet mandi dan dandan yang cantik untuk menyambut tamu kita malam ini." Kata Cintami mengultimatum. Dia sudah kesal dengan sikap Erina yang sejak tadi bersandiwara dengan pura-pura lupa. Erina menjadi takut juga dengan ancaman Cintami sehingga dia memutuskan untuk segera berdiri dan menuruti kemauan ibunya itu. Pukul tujuh malam, tamu yang Cintami maksud datang ke rumah mereka. Ada sepasang suami istri paruh baya dan dua orang pria. Setelah saling memperkenalkan diri dan berbasa-basi sejenak. Pria paling tua yang datang ke rumah Erina itu pun menyampaikan maksud kedatangan mereka ke rumah itu. Maksud yang sudah diketahui oleh sang tuan tuan rumah tentunya. "Jadi kedatangan kami kesini bermaksud memperkenalkan putra kami sekaligus mengenal putri Pak Miko." Ucap pria tertua yang sudah mengenalkan dirinya dengan nama Fatih. "Putra kedua kami ini, sedang mencari calon pendamping." Kata Fatih sambil menepuk pelan pria yang berada di samping kirinya yang tadi dia perkenalkan dengan nama Farhan. "Saya sebenarnya sudah memberinya kesempatan untuk mencari calon istri sendiri. Namun, sampai usianya sudah dua puluh sembilan tahun ini belum ada wanita yang diajak ke rumah dan diperkenalkan sebagai calon istri. Oleh karena itu kami sebagai orang tua berusaha membantu mengenalkan dengan putri Pak Miko. Siapa tahu memang jalan jodoh mereka berdua lewat pertemuan ini." Kata Fatih. Selama Fatih menjelaskan maksud kedatangan mereka, Farhan lebih banyak menunduk. Meskipun sesekali dia mendongak sejenak dan memberikan senyum tersipunya. "Sepertinya yang kita alami ini sama Pak Fatih. Saya juga sudah memberikan kesempatan untuk Erina untuk mencari calon suami yang sesuai kriterianya. Tapi mungkin seperti yang tadi Pak Fatih katakan. Bisa jadi mereka butuh bantuan kita untuk mempertemukan dengan jodoh masing-masing." Kata Miko. "Betul sekali, Pak. Sekarang kita serahkan semuanya sama mereka berdua saja. Kita sebagai orang tua sudah membuka jalan." Kata Fatih. "Gimana, Han? Apa kamu mau melanjutkan perkenalan ini menuju ke jenjang yang lebih serius?" Tanya Fatih. "Kalau saya insya Allah mau, Yah. Asalkan, Mbak Erina bersedia ikut tinggal bersama saya." Kata Farhan. "Bagaimana, Pak Miko, Bu Cintami, Mbak Erina? Kebetulan Farhan ini kerja di luar kota dan sudah memiliki tempat tinggal sendiri di sana. Meskipun tidak besar, tapi insya Allah cukup untuk ditinggali bersama istri dan anak-anak nanti." Kata Fatih. Erina menunduk dan terdiam. Keterkejutannya akan kedatangan keluarga Fatih saja masih belum hilang, sekarang sudah mendapat pertanyaan yang tidak mudah untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia bersedia ikut tinggal bersama Farhan jika dia sendiri sekarang masih terikat dengan perusahaan tempatnya bekerja. Apalagi peraturan perusahaan yang mengizinkan karyawannya mengajukan pengunduran diri paling lambat satu bulan sebelum keluar. Melihat Erina yang tidak juga menjawab, akhirnya Miko yang membuka suara untuk mewakili Erina. "Begini, Pak Fatih. Untuk jawaban Erina, dia sudah menyerahkan keputusannya kepada kami selaku orang tua." Kata Miko. Erina seketika mendongak. Mulutnya terbuka tidak percaya dengan ucapan ayahnya. Dia ingin menyanggah, tapi bimbang karena sedang ada orang lain di antara mereka. "Kapan aku ngomong gitu?" Tanya Erina dalam hati.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook