Prolog

759 Words
Gedoran pintu itu kian keras, mengoyak pendengaran Wening yang hanya bisa memeluk lututnya di balik pintu. Bersikeras menulikan pendengarannya dari suara gedoran beruntun yang sahut menyahut dengan suara seseorang yang meneriakkan namanya.   "Wening Sukma Permana! Keluar kamu, bocah!"   Bulir keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri wajah pucatnya. Bagian punggung kemejanya bahkan sudah terasa basah. Seolah, dirinya baru saja melakukan lari maraton. Meski yang sedari tadi dilakukannya, hanya bisa duduk di lantai yang dingin. Menyandarkan tubuh mungilnya yang sesekali terasa bergetar setiap gedoran di layangkan oleh pria bertubuh besar di luar sana. Yang sialnya tak sendiri. Ada seorang wanita bertubuh gempal dengan baju ketat berwarna merah menyala, serupa dengan lipstik yang terpoles di bibirnya, yang terus menyerukan namanya di iringi cacian. Kemudian tiga pria dengan tubuh besar penuh otot dan wajah sangar yang salah satunya bertugas menggedor-gedor pintu tanpa jeda yang sempat ia lihat saat mengintip dari tirai jendela.   Ingin sekali melarikan diri ke dalam kamar. Bersembunyi di balik selimut dan menyumpal telinganya agar tak lagi bisa menangkap suara sumpah serapah yang ditujukan padanya.   Tapi Wening tak bisa menggerakkan tubuhnya yang tremor. Dia bahkan kepayahan menenangkan degup jantungnya yang menggila.   Astaga, ini sudah nyaris satu jam. Apa mereka tidak lelah terus berteriak dan menggedor daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan keras?   Sepertinya tidak, pria-pria itu bisa saja menghancurkan daun pintu yang kini menjadi satu-satunya pelindung Wening dari amukan mereka.   Ini sudah nyaris tengah malam. Dia bahkan belum mengganti pakaian dan membersihkan diri setelah beraktivitas di luar.   Ya, meski aktivitas yang dia lakukan beberapa hari terakhir adalah mendatangi rumah saudara dari pihak Mama atau pun Papanya yang sialnya tak ada satu pun dari mereka yang sudi menampung Wening. Melihat wajahnya saja, mereka yang dulu begitu baik kini berbalik menatapnya bak wabah penyakit.   "Pa ... Wening takut," isaknya yang tak lagi bisa dibendung, "mau ikut Papa aja nyusul Mama sama Adek. Kenapa, kalian tinggalin Wening sendirian ...." Lirihnya tersendat, bahkan nyaris tersedak tangisnya sendiri.   Dia lelah, sungguh!   Satu-satunya sosok yang menjadi sandaran hidupnya pergi dengan begitu cepat dan mendadak.   Hidup tenang dan nyamannya lenyap hanya dalam satu kedipan mata.   Wening kebingungan, apa yang harus dilakukannya sekarang?   Menenggelamkan wajah pada lipatan tangan di atas lutut. Gadis itu memuntahkan semua rasa sedihnya. Seorang diri, di dalam rumah besar dengan pencahayaan remang, di iringi suara gedoran dan teriakan yang tak juga reda di balik pintu rumahnya---oh, bahkan mungkin sudah tak lagi menjadi rumahnya. Karena sebentar lagi, statusnya akan menjadi gelandangan, menyedihkan.   *** Dentuman musik yang memekakkan telinga justru membuat orang-orang di sana kian menggila. Menggoyangkan tubuh di tengah lantai dansa dengan suasana remang dan gemerlap lampu disko, mengikuti hentakan musik yang membuat sebagian dari mereka yang sudah di kuasai alkohol semakin tak terkendali.   Dentingan gelas, gelak tawa, obrolan ringan, asap rokok, aroma parfum-parfum mahal bercampur keringat. Menjadi satu kesatuan. Kian malam, geliat tempat itu justru kian hidup.   Menjadi tempat untuk orang-orang yang ingin melepas penat, setelah terkungkung aktivitas yang membuat jenuh seharian.   "Yang di tinggal ke Paris, lecek banget mukanya, kaya boxer gue yang lupa di setrika."   Suara itu mengusik pria yang sejak tadi hanya duduk diam di atas stool bar, menyentuh bibir gelasnya dengan jari telunjuk.   Mengalihkan pandangan, Bastian, pria itu mendengkus, saat mendapati Arya, sahabatnya yang tengah merangkul dua wanita berpakaian seksi, yang salah satunya sempat mengedipkan mata genit ke arahnya. Membuat mood Bastian kian memburuk.   "Mau gue kasih satu, bro?" Dengan alis terangkat satu yang membuat wajahnya kian tengil, Arya menawarkan salah satu wanita dalam rangkulannya untuk menemani Bastian yang tampak bosan.   Yang alih-alih di terima, Bastian justru menenggak cepat sisa minumannya, sebelum kemudian beranjak dari tempat duduknya. Berlalu begitu saja, tak memedulikan Arya yang memberondongnya dengan u*****n karena tak menganggap keberadaannya.   Bastian yang sudah berada di dalam mobil miliknya terdiam, dengan ponsel di tangan yang menampilkan sederet nomor yang coba ia hubungi lima belas menit sekali. Sialnya, sejak dua hari panggilannya selalu di abaikan.   Apa sesibuk itu?   Bahkan memegang ponsel pun tak sempat?   Ada banyak wanita yang bersedia melemparkan diri ke dalam pelukannya. Bahkan ia tak perlu bersusah-payah melancarkan rayuan. Sayangnya, Bastian bukan pria yang suka di kelilingi wanita, bahkan sekadar untuk kesenangan satu malam. Terlebih, hatinya sudah tertambat pada sosok yang kini tengah berada jauh darinya karena urusan pekerjaan. Hal yang membuat Bastian uring-uringan dan semakin ingin mengikatnya dalam pernikahan, agar ia tak perlu lagi tersiksa karena berjauhan dengan sang pujaan hati.   Pujaan hati?   Astaga!   Bastian tergelak sendiri. Kenapa dia begitu menggelikan? Mungkin dua gelas Vodka membuatnya jadi melankolis seperti ini.   Menekan tombol hijau, hanya nada sambung yang cukup lama dan akhirnya terputus yang kembali tertangkap pendengarannya.   Membuat Bastian tak bisa lagi membendung kekesalan, hingga melempar ponsel ke atas dasbor sebelum melajukan kendaraannya dengan cepat. Menembus jalanan di tengah malam yang mulai lengang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD