(Un) Perfect Wife - 1

2917 Words
Wening nyaris memekik saat melihat baju-baju dan celana miliknya bertebaran di depan teras. Melempar asal plastik berisi nasi bungkus yang tadi di belinya, gadis itu berlari ke dalam rumah.   Astaga! Bagaimana bisa mereka masuk?   "Apa yang kalian lakukan?!" Teriaknya, geram mendapati orang-orang asing yang beberapa hari terakhir tak pernah lelah menerornya kini menerobos masuk rumahnya.   "Bocah tidak tahu diri! Seharusnya kamu berterima kasih, karena saya masih berbaik hati membiarkan kamu menempati rumah ini." Wanita bertubuh gempal yang kali ini mengenakan baju hitam ketat dengan bibir yang juga terpoles lipstik hitam pekat, mendelik ke arah Wening yang hanya bisa menelan ludah kelu.   Masih dengan duduk nyaman di atas sofa, kedua kaki wanita itu di naikan ke atas meja. Dengan salah seorang pria bertubuh kekar yang tampak fokus mengoleskan kuteks berwarna hitam di kuku jempol kaki kanannya. Sementara dua pria bertubuh kekar lain berdiri di sisi kiri dan kanan. Wanita yang tak Wening ingat namanya itu mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas bulu yang selalu di bawa.   "Bu,"   "Kapan saya lahirin kamu?" Potongnya cepat dengan mata yang mendelik tak suka.   "Tante,"   "Om kamu nggak pernah lamar saya!"   Astaga, menyumpal mulut orang pake sandal dosa nggak sih? Wening kesal karena apa pun yang keluar dari mulutnya dinyatakan salah. Tapi, mana berani dia melakukan itu? Pria-pria kekar itu bisa dengan mudah mematahkan semua tulang di tubuhnya jika dia berani berbuat kurang ajar pada bosnya.   "Panggil saya Madam!"   Tak ingin mempersulit diri, meski dengan setengah hati, Wening memilih untuk menuruti.   Mengela napas, gadis itu mencoba mempertebal kesabarannya, "ya, Madam. Tolong, kasih saya waktu." Ucapnya memelas. Wening jelas tak ingin merendahkan diri. Tapi dia bisa apa?   "Rumah ini bukan tempat penampungan. Sekarang sudah menjadi milik saya, jadi kamu, bocah! Cepat angkat kaki dari sini!"   "Madam, tolong beri saya waktu."   "Waktu untuk apa? Melunasi hutang Papa kamu? Pakai apa? Rumput di halaman rumah ini?"   Wening bungkam. Melunasi hutang pakai apa? Apalagi hutang Papanya milyaran. Uang di dompetnya bahkan tinggal dua ratus tiga puluh lima ribu. Semua uang tabungannya sudah habis untuk membayar hutang Papanya yang ternyata bukan hanya pada wanita yang masih duduk nyaman di depannya ini.   Wening tahu Papanya benar-benar terlilit kesulitan. Tapi ia tak menyangka sampai harus meminjam sana-sini bahkan pada rentenir seperti ini.   "Dora," wanita itu menoleh ke arah kirinya, menatap sesosok pria terbalut kaos hitam tanpa lengan yang kian memperlihatkan otot-otot besar miliknya. Berkepala plontos dengan kumis hitam tebal.   Wening yang masih berdiri di tempatnya mulai ketir-ketir, apa yang akan wanita itu perintahkan kepada anak buahnya?   Tanpa sadar, tubuh Wening mulai bergerak defensif.   "Ya, Madam?" Pria itu segera menunduk hormat, sebelum kembali menegakkan tubuh.   "Seret bocah itu. Saya ngantuk, sudah waktunya tidur siang!" Titahnya dengan santai. Berbanding terbalik dengan Wening yang sudah gemetaran.   "Madam!" Panggil Wening panik saat lengan mungilnya di cengkeram pria seram yang Madam panggil Dora. "Tolong beri kesempatan, Madam!" Seolah menulikan pendengaran, tubuh ringkihnya tetap di seret keluar. Sebelum kemudian di hempaskan kasar, hingga terjerembab.   Dengan susah payah Wening bergegas kembali berdiri, sebelum berlari mendekati pintu yang ditutup kencang.   "Buka! Buka!" Teriaknya histeris, "ini rumah saya! Kalian tidak bisa memperlakukan saya seperti membuang sampah!" Telapak tangannya sudah memerah dan terasa kebas karena terus memukul-mukulkannya pada daun pintu yang tetap tertutup rapat. Tubuh Wening meluruh jatuh, sebelum tangisnya pecah hingga tergugu.   Sekarang dia benar-benar menjadi gelandangan. Apa yang harus Wening lakukan? Satu-satunya peninggalan sang Papa kini sudah jatuh ke tangan orang lain. Rumah yang tak hanya sekadar tempat berteduh dari terik matahari, ataupun dinginnya hujan. Rumah ini berisi kenangannya, bukan hanya Sanga Papa, tapi juga semasa Mamanya masih hidup dulu. Meski kenangan itu telah samar. Mengingat Wening yang kala itu masih kecil.   Seolah merasakan kesedihan yang tengah menyelimutinya. Mendung yang sedari pagi menggantung. Kini mulai memuntahkan gerimis yang dengan riuh menyentak lamunan Wening.   Dengan tergesa, gadis itu bangkit. Berlari menuju baju dan celana miliknya yang tercecer di teras. Satu-satunya harta yang kini ia punya.   Beruntung, ada satu tas berukuran sedang yang ia temukan tergeletak tak jauh dari ceceran baju dan celana miliknya. Mungkin si Madam yang memberikan titah. Setidaknya wanita itu memberikannya tas sebagai wadah.   ***   Hujan tak menyurutkan niatnya untuk mengunjungi sahabat yang kini telah terkubur di tanah merah yang basah.   Mata tua itu memandang hampa pada nisan bertuliskan Mahendra Permana. Sudah hampir sepuluh tahun mereka tak bertemu. Tapi, setelah memiliki kesempatan, bukan lagi raga sang sahabat yang bisa di lihat.   "Maaf, Hen, aku terlambat." Gumpalan sesal itu menyumbat dadanya hingga terasa sesak. Terlebih, ketika mendengar cerita pilu sahabatnya sebelum tutup usia. Itu pun ia dapat dari orang lain.   "Seharusnya aku lebih keras memcarimu," tapi tumpukan pekerjaan yang tak pernah ada habisnya selalu menyita seluruh waktunya. Bahkan untuk keluarganya pun, hanya bisa ia sisihkan sedikit.   Pengalaman di masa lampau yang membuatnya nyaris menjadi gelandangan. Membuatnya bekerja kian keras. Sayangnya, ia bahkan lupa untuk sekadar mencari tahu sahabatnya yang justru berperan penting membantunya bangkit saat terpuruk dulu.   Tapi apa yang dia lakukan?   Ketika sahabatnya itu terlilit masalah pelik. Dirinya justru tak ada. Bahkan, dengan kondisinya yang sekarang, dia lebih dari mampu untuk membantu sahabatnya.   Kini, hanya tersisa kata 'Andai' yang menjejali kepalanya.   Andai ia bisa membantu, apa mungkin kini sahabatnya masih menapaki dunia yang sama dengannya?   Andai ia lebih cepat mencari tahu keadaan sahabatnya, Hendra tak akan kesulitan sendirian kan?   Andai ....   Hah, semua andai itu kini hanya menjadi angin lalu.   Ia juga tak ingin mengelak dari takdir. Karena mungkin, semua ini sudah di gariskan untuk sahabatnya. Yang bisa di lakukannya sekarang hanyalah melantunkan do'a, agar sahabatnya itu tenang dan mendapat tempat terbaik di sana.   Mengangkat tangan kanan, pria paruh baya itu mulai berdo'a. Sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam payung, agar tubuhnya tak terjamah hujan yang mulai menderas.   "Jika saja bisa, aku ingin membalas semua kebaikanmu, Hen, dengan melakukan apa pun sebisaku." Ucapnya setelah selesai mengirimkan do'a, "aku pamit, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik selama ini." Baru saja bangkit dari posisi jongkoknya, Pria paruh baya itu di kejutkan dengan kehadiran seorang gadis yang keadaannya sudah basah kuyup, dengan tas berukuran sedang yang berada dalam pelukan.   "Anda siapa? Apa yang anda lakukan di makam Papa saya?"   Pertanyaan beruntun itu membuat pria itu bungkam. Dan hanya menatap lekat sosok di depannya yang menyorot penuh rasa ingin tahu.   ***   "Mau tambah lagi?" Suara berat itu menginterupsi pergerakan Wening yang hendak melahap satu suapan terakhir. Mengangkat wajah, gadis itu meringis canggung mendapati pria paruh baya yang tampak menatapnya lekat.   Entah karena suasana hujan yang membuatnya lapar atau dirinya yang memang tengah kelaparan, hingga dua paha ayam goreng, satu piring capacay, semangkuk sup iga, empat perkedel kentang, dan jangan lupakan dirinya sudah dua kali menambah nasi di atas piringnya yang kini sudah kembali tandas.   Astaga!   Sejak kapan perutnya berubah jadi karung yang bisa memuat begitu banyak makanan? Dan sialnya, rasa kenyang masih belum juga menggelitik perut.   Berdeham menyingkirkan canggung. Wening yang sudah menelan suapan terakhir, meletakan kembali sendoknya di atas piring, sebelum kemudian menegakkan posisi duduknya.   "Nggak usah Om, terima kasih," Wening benar-benar merasa sungkan. Meski pria paruh baya yang mengaku sebagai sahabat Papanya itu memperlakukannya begitu baik.   Tersenyum hangat, pria yang memperkenalkan dirinya bernama Om Halim itu mengangguk kalem. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan telpon Om. Atau ketuk kamar Om di sebelah ya," pesannya sebelum kemudian beranjak dari duduknya, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan Wening menyantap dengan lahap makanannya.   Mengangguk kaku, Wening ikut beranjak dari duduknya. "Iya Om, terima kasih," "Tidak perlu antar keluar, sebaiknya kamu istirahat," pesannya ketika melihat Wening yang hendak ikut beranjak.   Kembali patuh, Wening mendudukkan dirinya ke kursi yang sudah terasa hangat. Mungkin karena sudah di dudukinya cukup lama. Mengedarkan pandangan, Wening baru sadar kamar hotel yang kini di tempatinya begitu luas dan mewah. Bahkan tempat tidur berukuran Queen size yang di liriknya seolah tengah merayu Wening untuk segera merebahkan tubuh lelahnya.   Tapi ia baru selesai makan, rambut panjangnya yang tergerai juga masih setengah basah setelah selesai mandi tadi. Meski menggiurkan untuk segera melemparkan diri ke atas tempat tidur, Wening memilih bertahan di tempat duduknya sebentar lagi.   Suasana hening, hanya suara hujan yang kini terdengar menyenangkan di pendengarannya membuat pikiran Wening kembali terlempar beberapa saat lalu. Saat dirinya yang di lingkupi rasa putus asa mendatangi makam sang Papa, tak peduli tubuhnya yang sudah kuyup di jamah hujan.   Hanya bermodal tas berisi pakaian yang berada dalam pelukan, Wening terus menyusuri pemakaman dengan berbagai pikiran yang berkecamuk menggelayuti kepala.   Dia tak punya tujuan, satu-satunya tempat pulang sudah menjadi milik orang lain. Tidak ada lagi tempatnya berteduh dari guyuran hujan atau sengatan matahari di kala siang.   Sialnya, tak satu pun yang sudi mengulurkan bantuan untuknya. Karena sebelum di tendang keluar dari rumahnya, Wening sudah mendatangi sauadra dari pihak Papa atau pun Mamanya untuk mendapat tempat tinggal sementara di kediaman mereka.   Tapi hanya tumpukan alasan yang Wening terima. Memasang wajah penuh penyesalan yang ia tahu hanya kedok basa-basi agar Wening tak melibatkan mereka dalam kemalangan yang menimpa keluarga gadis itu. Padahal, ia hanya butuh tempat sementara. Sebelum nantinya berniat untuk mencari pekerjaan.   Wening bukan gadis yang pandai bergaul, ia tak memiliki teman dekat yang bisa di mintainya pertolongan.   Di tengah derasnya hujan dan air mata yang mengaburkan penglihatan, Wening memelankan langkah, ia peluk kian erat tas ketika hawa dingin kian menerjang tubuhnya yang hanya terbalut kaus yang sudah kuyup.   Wening mengerutkan kening, saat mendapati sosok asing berada di pemakaman Papanya, di tengah hujan seperti dirinya. Yang membedakan, pria paruh baya dengan jas yang tampak mahal, seperti yang dulu sering dikenakan Papanya itu terlindungi karena ada sebuah payung yang menaungi di atas kepalanya.   "Aku pamit, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik selama ini." Di tengah keriuhan hujan, samar-samar Wening masih bisa menangkap apa yang pria asing itu katakan. Ada nada sendu bercampur penyesalan dalam suaranya.   Ketika sosok itu yang sebelumnya berjongkok mulai merubah posisinya menjadi berdiri, Wening yang tak lagi bisa membendung rasa penasaran bergerak cepat hingga berdiri tepat di belakang sosok asing itu, dan ketika pria itu membalikkan tubuh, mata tuanya terbelalak, saat baru menyadari keberadaan Wening yang langsung mencecarnya.   "Anda siapa? Apa yang anda lakukan di makam Papa saya?"   Alih-alih menjawab, pria itu justru mengajak Wening untuk berbicara di dalam mobilnya. Hal yang seharusnya gadis itu tolak. Mengingat, sosok di depannya adalah orang asing. Yang bisa saja berniat jahat.   Tapi, entah karena tak lagi bisa berpikir jernih. Wening hanya bisa manut saat mengekor di belakang pria itu menuju mobil yang ... Bahkan sekali pandang ia tahu sangat mahal.   Wening bahkan ragu mendudukkan diri di jok mobil itu dengan keadaan tubuhnya yang sudah basah kuyup.   Namun dengan senyuman hangat, pria itu mengatakan agar Wening tak perlu sungkan. Bahkan tak mempermasalahkan jika jok mobilnya basah di duduki Wening.   Setelah keduanya berada di dalam mobil, mengalirlah penjelasan pria bernama Om Halim itu. Berkata jika dirinya adalah sahabat Papa Wening sedari kecil. Bahkan memiliki hutang budi karena Papa Wening yang dengan baiknya menolong saat perusahaan Om Halim terancam bangkrut.   Mata tua Om Halim basah, pria itu mengungkapkan penyesalannya karena tak berada di sisi Papa Wening saat kesusahan.   Hal yang membuat tangis Wening ikut pecah. Bahkan di tengah sedu-sedannya, gadis itu menceritakan apa yang sudah menimpanya saat sang Papa sudah tiada.   "Jadi sekarang kamu tinggal di mana?" Tanya Om Halim dengan nada khawatir yang tak dibuat-buat. Di tengah isakannya, Wening menggelengkan kepala, "nggak tahu, Om, aku bahkan bingung bayar sisa hutang Papa dengan apa. Rumah satu-satunya tempat tinggal juga sudah jadi milik orang lain," jelasnya dengan agak kepayahan karena menahan sesak yang seolah menggelayuti d**a.   Wening yang sudah tak memiliki lagi pegangan sepeninggal sang Papa, seolah menemukannya dalam diri Om Halim yang bisa ia rasakan begitu tulus.   "Kamu nggak perlu lagi pusing masalah hutang, biar itu jadi urusan Om. Dan untuk tempat tinggal ... Kamu mau, pindah ke rumah keluarga Om?"   Wening bungkam, tak bisa menutupi keterkejutannya mendengar tawaran tiba-tiba dari Om Halim. Tinggal bersama keluarga Om Halim? Wening meremas tas yang berada di atas pangkuannya. Dia bimbang. Bingung harus mengatakan apa.   Tapi ... Bertahan di sini pun ia sudah tak memiliki apa-apa dan siapa pun lagi bukan?   Jika melihat seberapa baiknya Om Halim, Wening yakin, keluarganya juga pasti baik. Tak hanya mendapat tempat berteduh, dia juga bisa kembali merasakan hangatnya berada di tengah-tengah keluarga.   Mengais keyakinan, Wening membulatkan tekad, sebelum kemudian menganggukkan kepala tanda persetujuan.   Persetujuan Wening menerbitkan senyuman Om Halim, dan pria itu berjanji untuk menjaganya yang sedari dulu sudah mengaggap Wening seperti putrinya sendiri.   Jadi, di sinilah  Wening sekarang. Hotel tempat Om Halim menginap.   Tak hanya memesankannya kamar, Om Halim juga menyediakan baju dan ponsel baru. Mengingat, baju-baju Wening basah meski tersimpan di dalam tas yang sayangnya bukan anti air. Ia juga mendapat ponsel baru, karena ponsel lamanya terpaksa ia jual untuk menombok bayaran hutang yang seolah tak ada habisnya.   Wening semakin yakin jika keputusannya ikut bersama Om Halim adalah yang terbaik. Pria itu begitu baik dan benar-benar memperlakukannya seperti putrinya sendiri.   Belum apa-apa, dia sudah di manjakan sedemikian rupa.   Wening lupa, kapan terakhir kali bibirnya bisa merekahkan senyuman seperti sekarang?   Dadanya tak lagi terhimpit rasa khawatir dan takut.   Seolah, ia bisa kembali menghirup udara dengan tenang. Esok, dirinya akan bertolak ke Jakarta.   Memulai kehidupan baru bersama keluarga Om Halim. Meski begitu, ia juga tak akan lupa berkunjung kembali ke sini untuk menengok makam sang Papa, Mama, dan  Adik yang tak pernah bisa di lihatnya, karena meninggal saat di lahirkan.   Bangkit dari tempat duduk, Wening memilih untuk merebahkan diri ke atas tempat tidur. Rambutnya sudah mulai kering, tubuhnya juga sudah tak tahan untuk menyentuh kasur empuk yang dengan cepat membuatnya terlelap.   ***   Pagar besar yang menjulang tinggi itu terbuka secara otomatis, mempersilakan mobil yang dikendarai Om Halim melaju dengan mulus, memasuki halaman luas nan asri. Wening yang masih duduk nyaman di dalam mobil, melongokkan kepala dari jendela yang segera ia buka, ketika rumah dengan desain Mediterania tertangkap penglihatan, membuat gadis itu melongo takjub.   "Wening, ayo turun,"   Suara berat Om Halim membuat Wening berjengit di tempat duduknya. Karena sibuk mengagumi, ia bahkan tak sadar jika mobil sudah berhenti. Menganggukkan kepala kaku, gadis itu tergesa turun.   Sembari memeluk tas usang berisi baju miliknya, Wening mengekor di belakang tubuh Om Halim yang berjalan tegap memasuki rumah.   Pintu besar dari kayu dengan ukiran rumit namun indah itu terbuka, tak lama setelah Om Halim menekan bel, memperlihatkan sesosok wanita dengan rambut yang di d******i warna putih di gelung rapi, menyambut dengan senyuman. "Selamat datang, Tuan," Sapanya ramah, namun mata tuanya tiba-tiba memancarkan rasa penasaran, ketika mendapati kehadiran Wening dari balik bahu sang tuan rumah.   "Terima kasih, Mbok, mana yang lain?"   Masih dengan mata yang sesekali tersorot pada Wening yang hanya diam di belakang Om Halim, wanita yang di panggil Mbok itu berdeham kecil, "nyonya sedang berada di ruang tengah bersama nona muda, Tuan." Menganggukkan kepala, Om Halim menghentikan langkah tiba-tiba. Membuat Wening yang sedari tadi menunduk sembari memainkan resleting tasnya, dan berjalan mengekor seperti anak ayam pada induknya, tak siap hingga membentur punggung pria paruh baya itu.   "Maaf Om," Wening meringis saat Om Halim menoleh ke arahnya.   "Tidak apa-apa, ayo kita temui istri dan putri bungsu saya, dia pasti senang karena sekarang bisa punya teman di rumah," ungkapnya sembari melengkungkan senyuman.   Membuat Wening yang sedari tadi diam karena gugup, kini ikut lebih santai dan bersemangat.   "Mbok," panggil pria itu, "tolong bereskan kamar tamu ya, setelah ini---oh, astaga! Saya lupa, perkenalkan," meraih lengan Wening agar berdiri sejajar dengannya, Om Halim memperkenalkan gadis itu pada si Mbok yang lega karena rasa penasaran yang sedari tadi menggelayuti kepala, akan sosok gadis muda yang di bawa tuannya akan segera ia tahu. "Ini Wening, dia anaknya Mahendra, Mbok masih ingat sahabat saya itu?"   "Ya ampun ... Putrinya Den Hendra?" Si Mbok tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Tentu saja ia tahu Mahendra, sahabat majikannya itu. Dia juga pernah melihat Wening kecil yang dulu masih berusia dua tahun, ketika keluarga Mahendra datang berkunjung. "Kamu sudah besar dan makin cantik, Nak," Wening mengulum senyum malu, dia hanya bisa berdiam kikuk saat si Mbok mengelusi kepalanya.   "Mulai sekarang, Wening akan tinggal bersama kita Mbok." Mbok Sri, sosok yang sudah bekerja di keluarga Pradipto bahkan sejak Halim masih menjadi seorang mahasiswa. Mengernyitkan kening, tampak kebingungan kenapa Wening akan tinggal di sini? Bukankah ....   "Hendra sudah meninggal," mengela napas, hanya untuk menyingkirkan sesak setiap kali mengingat mendiang sahabatnya itu, Halim menatap sendu Wening yang juga murung saat nama Papanya di sebut.   Tangan yang tadi mengelus lembut kepala Wening kini beralih membekap mulutnya sendiri karena rasa terkejut.   "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...."   "Nanti tolong siapkan kamar tamu yang paling luas untuk Wening ya, Mbok."   Menganggukkan kepala cepat, Mbok Sri menatap Wening, "kalo ada apa-apa, bilang sama Mbok, nggak perlu sungkan ya, Non,"   "Panggil Wening saja, Mbok," Wening merasa kurang nyaman saat Mbok Sri memanggilnya dengan sebutan Nona. Bagaimana pun, beliau sudah bersikap begitu baik padanya.   "Iya, jika ada apa-apa atau butuh apa pun, bilang saja sama Om maupun Mbok ya," Om Halim menambahkan.   "Iya Om,"   "kalau begitu, saya permisi tuan, akan segera mempersiapkan kamar untuk Non, eh, maksudnya Wening." Balas Mbok Sri sebelum beranjak pergi, setelah mendapat anggukan dari Om Halim.   Di rumah besar ini, ada tiga kamar tamu, namun ada satu yang memiliki ukuran lebih besar dari dua kamar lainnya. Dan kamar paling besar akan di peruntukan untuk kamar Wening nantinya.   Tak lama setelah kepergian Mbok Sri, Om Halim mengajak Wening untuk menemui istri dan putrinya yang dari informasi Mbok Sri, tengah berada di ruang tengah.   Tumben sekali keduanya bersantai di rumah. Mengingat, sang istri biasanya sibuk di butik atau menghadiri acara teman-teman sosialitanya. Begitu pun putri bungsunya yang lebih sering menghabiskan waktu di luar untuk shopping atau hang out bersama teman-teman sebayanya.   Wening memilih kembali berjalan di belakang Om Halim, menyusuri luasnya rumah yang membuatnya meringis. Bisa-bisa, ia tersesat jika pergi sendirian di rumah besar ini.   "Papa!" Pekikan suara itu membuat Wening yang sibuk melihat-lihat menatap ke arah Om Halim yang tengah di peluk erat oleh seorang gadis yang ia perkirakan usianya lebih muda darinya.   "Mana oleh-olehnya?" Tanyanya dengan nada manja sembari menengadahkan tangan.   "Papa baru pulang kok yang ditanya oleh-oleh, hm?" Cubitnya pelan pada pipi kemerahan putri bungsunya itu.   "Mas tumben nggak telpon du---" wanita paruh baya yang masih tampak cantik dan modis itu menghentikan ucapannya, saat mata tajamnya menemukan sosok asing di balik punggung sang suami. "Siapa kamu?" Tanyanya tanpa basa-basi dengan wajah yang di liputi raut penasaran dan ... Curiga.   Hal yang membuat Wening menelan ludah kelu. Entah kenapa, sorot tatapan penuh tuduhan itu membuatnya seperti seorang pencuri yang baru saja tertangkap basah dan pantas mendapat penghakiman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD