(UN) Perfect Wife - 2

3167 Words
"Yakin dia anak sahabat Papa?" Bersedekap tangan, Laksmi menatap suaminya yang tengah menyugar rambut dengan wajah lelah, "atau jangan-jangan, dia anak kamu sama perempuan lain."   "Astaga, Ma! Bagaimana bisa kamu berpikiran seperti itu?" Halim jelas berang mendapat tuduhan frontal istrinya. Sedari tadi dia sudah menjelaskan tentang siapa Wening dengan jujur. Tak ada satu pun hal yang ia tutup-tutupi dan lebih-lebihkan. Sayang, istrinya tetap bersikeras dengan kecurigaan yang masih bercokol kuat di kepalanya.   "Tentu saja bisa! Kamu izin keluar kota untuk urusan pekerjaan, tapi pulang dengan membawa gadis nggak jelas yang kamu bilang anak sahabat kamu! siapa yang percaya? Hah!"   "Ma?!"   "Apa?!"   Dua orang dewasa itu saling berteriak, tak peduli penghuni rumah lainnya bisa mencuri dengar pertengkaran mereka yang begitu sengit untuk pertama kalinya.   "Tolong jaga ucapan, Mama," lelah karena tak juga ada yang mau mengalah. Halim lebih melembutkan nada bicaranya. "Wening putri Hendra, sahabatku. Bahkan Mama juga kenal dia, keluarganya juga pernah berkunjung ke rumah ini dulu, meski itu waktu yang sudah sangat lama," meraih tangan istrinya dan ia genggam lembut, Halim menatap penuh permohonan, "tolong, terima Wening, anggap dia seperti putri kita sendiri. Mama tahu, jika bukan karena Hendra, perusahaan Papa hanya tinggal nama dulu. Bisa saja keluarga kita hidup tak senyaman seperti sekarang."   "Jadi ini tentang balas budi?" Laksmi melepas genggaman tangan sang suami, mengembuskan napas, wajahnya yang sejak melihat keberadaan Wening tampak masam kini merekahkan senyuman. Membuat Halim tertular ikut tersenyum. Lega karena sang istri sepertinya mulai membuka hati, "papa kasih saja dia uang," ucapnya antusias, begitu bersemangat karena berhasil menemukan solusi yang menurutnya adalah jalan terbaik.   Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan Halim yang segera melunturkan senyumnya, "maksud Mama?" Dia jelas tahu maksud sang istri, tapi tetap menuntut penjelasan lebih. Siapa tahu, apa yang terlintas di pikirannya adalah salah.   "Ya itu, Papa kasih aja anaknya Hendra uang, anggap saja sebagai balas budi keluarga kita yang dulu pernah dia tolong." Laksmi mengkeret di tempatnya berdiri ketika melihat wajah keras dan memerah sang suami yang tampak menahan marah.   Apa yang salah?   Bukankah idenya itu sangat bagus?   Jika suaminya itu ingin balas budi, beri saja anak itu uang. Toh, dulu Hendra juga membantu dengan menyuntikkan dana keperusahaan suaminya yang nyaris gulung tikar.   Anggap saja hutang, dan sekarang mereka bayar lunas. Selesai perkara. Kenapa harus dibuat rumit?    "Ini bukan sekadar soal uang, Ma,"   "Jelas semua ini berkaitan dengan uang. Papa merasa hutang budi karena dulu Hendra bantu perusahaan Papa dengan memberi uang, dan sekarang, ketika keluarga Hendra bangkrut, ya kita beri saja anaknya uang, anggap sebagai bayar hutang Papa dulu sama Hendra."   "Uang, uang, uang!" Teriak Halim sembari meremas rambutnya yang semakin kusut masai, "aku bilang, ini bukan cuma tentang uang, atau pun hutang budi Ma!"   "Papa kenapa sih? Kenapa memperumit hal yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah?"   "Dengan mudah itu maksudnya dengan uang?"   Wajah Laksmi yang sempat tenang kembali mengeras, saat perdebatan dengan suaminya tak juga mendapat titik temu.   Melangkahkan kaki, wanita itu berjalan mendekati sofa panjang, dia lelah harus beradu urat dan berdiri dalam waktu yang cukup lama. Keduanya saat ini tengah berada ruang kerja Halim.   Tadi, saat mendapati keberadaan gadis muda yang suaminya perkenalkan dengan senyuman bernama Wening, putri dari sahabatnya Hendra, Laksmi tak mengindahkan gadis muda itu yang berdiri kikuk dengan senyum canggung yang lebih mirip ringisan. Bahkan ketika mengulurkan tangan, yang ia tahu bermaksud salim padanya, Laksmi justru menarik pergi sang suami ke tempat ini.   Ada banyak hal yang harus dia bicarakan berdua dengan suaminya, tak mempedulikan wajah Halim yang tampak kebingungan.   Dan, ya, di sinilah mereka sekarang. Entah sudah berapa lama terlibat perdebatan. Yang jelas, kaki Laksmi sudah mulai pegal, tenggorokannya juga butuh di aliri air karena terasa kering.   Mengabaikan suaminya yang ikut duduk di sampingnya. Laksmi memilih untuk meraih telpon di atas meja nakas di dekat sofa yang ia duduki, berniat menghubungi bagian dapur untuk meminta minuman. Ia malas harus keluar mencari ART, apalagi berteriak di saat tenggorokannya terasa sedikit perih.   Halim mengela napas saat istrinya yang selesai menghubungi bagian dapur dan yang ia dengar meminta minuman, membuatnya berniat ingin kembali mengajak berbicara. Namun tatapan sengit yang di lemparkan istrinya membuat ia urung. Percuma, mereka hanya akan kembali terlibat perdebatan. Terlebih, Halim jelas hafal dengan watak keras istrinya.   "Kalo mau lanjut bertengakarnya, tunggu aku minum dulu, Pa."   "Siapa yang ngajak berantem, Ma?"   Tertawa hambar, Laksmi menahan diri untuk tidak mendengkus di depan suaminya. Bagaimana pun, ia masih tetap ingat sopan santun. Meski rasa kesal sudah nyaris melahap semua stok kesabaran yang di milikinya saat ini. Untuk pertama kalinya, suami yang biasanya selalu mengalah dan menuruti semua keinginannya, kini begitu bersikeras dan menentang habis-habisan. Bahkan ketika anak mereka nakal dan membuat masalah, mereka tak pernah sampai bertengakar seperti ini.   "Jika Papa tidak mau memberi dia uang---"   "Mama bilang jeda dulu bertengakarnya?"   "Ck, terlanjur, Mama udah gatel pengen ngomong. Tapi diusahakan nggak pake teriak. Tenggorokan Mama kering." Laksmi mendelik s***s saat menangkap basah suaminya yang menahan tawa. Jika saja keadaannya tidak sedang kesal, dia pasti sudah mencubit gemas pinggang suaminya. Hal yang sering dilakukan saat gemas pada sang suami.   "Papa tetap nggak setuju kalo Mama berniat kasih Wening uang begitu saja, bisa-bisa dia tersinggung Ma," Halim kembali merubah raut wajahnya menjadi serius. "Wening sudah tidak punya siapa-siapa, dan aku sudah berjanji di depan makam Hendra untuk melakukan apa saja untuk membalas kebaikannya. Dan aku putuskan dengan merawat putri satu-satunya itu."   "Baik, kalo Papa nggak mau kasih dia uang begitu saja, jadi, gimana kalau ..." Laksmi melirik sang suami yang tengah menunggu apa yang hendak ia ucapkan selanjutnya, "Papa belikan rumah, apartemen, atau apa gitu, buat dia tinggal." Ucapnya mencoba biasa. Meski dalam hati terselip rasa takut jika Halim kembali murka.   Dan ya, sepertinya pria paruh baya itu kembali meradang dengan ide yang di cetuskan sang istri. "Mama kenapa sih? sebegitu nggak sukanya sama Wening? Dia anak baik, bahkan ini kali pertama, karena ya, anggap saja pertemuan dulu tidak termasuk hitungan karena Wening masih begitu kecil, Mama pasti belum bisa menilai dia gadis seperti apa. Berbeda dengan sekarang, dia gadis baik, percaya sama Papa, Ma," Halim tak habis pikir dengan ide-ide yang dicetuskan istrinya.   Beli rumah?   Beli apartemen?   Untuk apa? Rumah mereka besar dan ada banyak kamar kosong yang bisa ditempati Wening.   Lagipula, mana tega Halim membiarkan Wening tinggal sendirian.   Gadis itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jika pun masih punya kerabat, menurut penuturan Wening, tak ada yang bersedia membantunya, bahkan sekadar memberi tumpangan dikediaman mereka sebagai tempat tinggal sementara.   "Ck, terserahlah!" Bangkit dari tempat duduk, Laksmi berlalu menuju pintu keluar, mengabaikan suaminya yang memanggil dan mencoba kembali mengajaknya bicara.   Atau bertengkar?   Terserah, yang jelas, Laksmi sudah lelah berdebat. Sampai besok pun mereka bertengkar, tetap tak akan menemukan kesepakatan.   "Astaga, nyonya!" Perempuan dengan lipstik ungu yang tengah membawa nampan berisi es jeruk terlonjak di depan pintu yang di buka kasar oleh Laksmi.   "Kamu bentak saya?!"   Perempuan itu meringis saat mendapat tatapan maut sang Nyonya yang seakan bisa menelannya bulat-bulat.   Sepertinya, suasana hati majikan wanitanya itu sedang dalam mode senggol bacok. Dan s**l sekali dirinya yang harus kena semprot.   "Maaf Nyonya, kaget saya tadi, jadi suaranya kekencangan." Kilahnya agar tak mendapat amukan tambahan, "mana berani saya bentak-bentak," cengirnya yang di tanggapi raut datar Laksmi yang tampak tak berminat, "ini minumannya Nyonya,"   "Bawa ke kamar saya, Tuti," ucapnya sembari berlalu, meninggalkan Tuti, ART di rumah Pradipto selain Mbok Sri.   *** Wening meremas tas lusuhnya di atas pangkuan. Gadis itu duduk seorang diri, setelah di tinggal Om Halim yang di bawa pergi istrinya entah kemana. Sementara Calya, Wening jadi meringis ketika mengingat sambutan gadis itu tadi padanya. Putri bungsu Om Halim itu meliriknya dengan raut wajah jauh dari kata ramah saat hanya ada mereka berdua. Tak ada lagi keceriaan saat menyambut kedatangan sang papa beberapa saat lalu. Bersedekap tangan, gadis itu menaikan satu alisnya dengan dagu terangkat pongah. Seperti ketua geng yang hendak mengajak baku hantam.    Belum cukup, tanpa sungkan Calya memindai tubuh Wening dari ujung sandal hingga pucuk kepalanya. Dan dengkusan keras yang beriringan dengan cibiran tertangkap jelas pendengaran Wening yang hanya bisa bungkam.   Tanpa berucap satu patah kata pun, Calya melenggang pergi, setelah melempar tatapan seolah Wening adalah kotoran yang tak sengaja terinjak oleh sepatu miliknya yang mahal.   Mengela napas, entah untuk yang keberapa kali, Wening berharap bisa sedikit melonggarkan rasa sesak yang seolah tengah menghimpitnya.   Seumur hidupnya, ia tidak pernah di perlakukan serendah itu oleh siapa pun. Bahkan dulu, sewaktu hidupnya masih berkecukupan pun, ia tak pernah memperlakukan orang lain dengan merendahkan mereka yang tak seberuntung dirinya.   Apa ia berbuat salah?   Atau, kehadirannya di sini yang adalah kesalahan?   Tak perlu menjadi jenius untuk tahu jika keluarga Om Halim tak menerima kehadirannya seperti pria baik hati itu. Apa Wening yang terlalu naif? berpikir jika orang-orang di rumah ini akan merentangkan tangannya, menyambut kehadirannya dengan hangat sebagai bagian dari keluarga ini, hanya karena melihat seberapa baik perlakuan Om Halim dan Mbok Sari padanya?   Lalu sekarang apa?   Apa sebaiknya ia pergi dari rumah ini? Ck, pergi ke mana? Dia bahkan tak kenal siapa pun di Jakarta.   Suara hentakan heels mengembalikan kesadaran Wening yang sedari tadi tenggelam dengan pikirannya sendiri. Gadis itu segera berdiri dan tersenyum canggung saat melihat kehadiran istri Om Halim. Yang kali ini tak bersama pria itu. Justru di belakangnya tampak sosok wanita yang secara terang-terangan melihat kearahnya dengan raut penuh rasa ingin tahu sembari membawa nampan dengan jus jeruk di atasnya.   Melihat Wening sambil lalu, Laksmi bersikap tak acuh dan melanjutkan langkah. Dengan Tuti yang terus mengekor di belakangnya. Meski mata wanita 33 tahun itu terus mencuri-curi pandang ke arah Wening yang hanya berdiri kikuk.   "Wening,"   Wening terlonjak bahkan tak sadar tas yang sedari tadi dalam pelukan terlempar hingga jatuh.   "Maaf, om ngagetin ya?"   Mengambil tasnya yang sempat terjatuh, Wening menggeleng kaku, "nggak apa-apa kok, Om."   "Maaf ya, atas sikap Tante Laksmi. Dia memang begitu sama orang baru," ungkap pria itu tak enak hati.   "Iya, nggak apa-apa Om, maaf juga, Wening merepotkan dan membebani Om serta keluarga."   "Kamu itu bicara apa? Mulai sekarang kamu anak Om juga. Tidak perlu sungkan."   "Maaf Tuan,"   Pembicara keduanya terpaksa terjeda oleh kedatangan Mbok Sri. "Kamarnya Non, eh, maksudnya, Kamarnya Wening sudah siap."   "Terima kasih, Mbok, dan maaf merepotkan sekali lagi, tolong antarkan Wening ke kamarnya ya, saya harus keluar sebentar, ada urusan."   "Sama sekali tidak merepotkan, Tuan. Ini tugas saya."   "Wening, kamu ikut Mbok ya, nanti di kasih tahu kamarmu yang mana. Istirahat, atau mau makan dulu?"   "Masih kenyang, Om," Wening meringis canggung, toh, dia tidak berbohong. Dia masih merasa kenyang, karena tadi di tengah perjalanan Om Halim mengajaknya makan terlebih dahulu. Lagipula, dengan keadaan yang sebenarnya membuat Wening tak nyaman karena penolakan secara terang-terangan yang diperlihatkan istri serta putri Om Halim, membuatnya tak berselera. Sepertinya tidur lebih menggiurkan. Badannya sudah lelah dan ingin segera merebahkan diri.   "Yasudah, Om pergi ya, jika perlu apa-apa jangan sungkan minta sama Mbok atau Tuti,"   Tuti? Perempuan yang tadi mengekori istrinya Om Halim itu?   Wening tak ingin berburuk sangka, tapi sepertinya, perempuan itu pun tak menyukainya.   "Baik Om," angguknya sopan.   Wening kemudian beranjak menuju kamarnya di temani Mbok Sri yang bercerita dengan antusias tentang dulu saat keluarga Wening datang bertamu. Hal yang bisa membuat Wening sedikit teralihkan dari rasa resahnya.   ***   Wening tak juga bisa memejamkan mata. Tidurnya tak nyenyak, baru sebentar terlelap, ia akan kembali terbangun. Meraba-raba untuk mencari ponsel yang seingatnya ia letakkan di atas nakas, gadis itu ingin melihat sudah jam berapa sekarang. Dan saat mendapati jam dua pagi, ia kembali meletakan gawai miliknya. Kemudian merubah posisi tidurnya yang tadi miring ke arah kanan menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar yang tampak gelap. Wening memang terbiasa tidur dalam keadaan lampu di matikan. Ia akan sulit tidur jika keadaan terang karena merasa silau. Terakhir kali terbangun tadi saat jam setengah satu.   Mengembuskan napas, Wening memeluk guling dengan gemas, kenapa pagi lama sekali?   Wening bersyukur bertemu orang sebaik Om Halim, membuatnya tak sampai harus menjadi gelandangan. Tak hanya memberinya tempat tinggal, sisa-sisa hutang milik Papanya yang belum terbayar juga di lunasi. Ia tak perlu lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan karena dikejar tumpukan hutang.   Meski, sambutan berbeda ia terima dari Tante Lakmsi dan Calya. Dua perempuan beda generasi itu masih menatapnya tak suka. Bahkan saat tadi waktu makan malam. Wening hanya bisa terus menunduk hingga lehernya terasa pegal. Seakan makanan di atas piringnya bisa saja lari jika ia mengalihkan perhatian ke arah lain. Gadis itu baru berani mengangkat kepala ketika Om Halim mengajaknya bicara, atau menanyainya makanan apa yang ia suka agar bisa di masakan nantinya. Hal yang membuat Wening menggelengkan kepala dengan tergesa. Untuk masalah makanan, dirinya tak begitu pemilih. Asal bukan seafood, dia memiliki alergi seafood yang bisa membuatnya gatal hingga kulitnya memerah dan mengeluarkan bentol besar-besar di seluruh tubuh. Terasa begitu gatal dan panas.   Wening mengusap pipinya yang tiba-tiba terasa basah oleh cairan yang terasa hangat. Ck, jika saat hening seperti ini dia bisa menjadi cengeng karena teringat keluarganya. Seperti sekarang, gadis itu bahkan tak sadar sudah menitikkan air mata.   Hidupnya berubah begitu cepat sepeninggal sang Papa. Bahkan kini, ia terdampar di Jakarta, di rumah keluarga milik Om Halim, sahabat Papanya.   Mulai hari ini dan seterusnya, ia akan menjadi bagian keluarga Pradipto. Om Halim sudah begitu baik, Wening berjanji pada dirinya sendiri untuk tak mengecewakannya. Masalah istri dan putri Om Halim yang tak menyukainya, ia akan berusaha membuat mereka menerima kehadirannya. Bukan dengan mencari muka, tapi bersikap tulus saat membaur dengan keluarga ini.   Tapi ... Bagaimana jika usahanya tetap tak membuat mereka menerimanya?   Ck, usaha juga belum, sudah termakan pesimis.   Wening merutuki dirinya sendiri. Dia harus bisa membuktikan diri, ia tak akan menjadi parasit di sini.   Di saat suasana sendu, tiba-tiba perutnya mengeluarkan suara yang membuat Wening meringis. Dia merasa lapar, apa karena tadi saat makan malam hanya makan sedikit?   Ya, bagaimana bisa Wening bisa menyantap makanannya dengan lahap saat ada beberapa mata yang ia bisa rasakan menghunuskan pandangan tajam ke arahnya.   Om Halim bahkan beberapa kali menegurnya untuk menambah porsi makannya yang tampak begitu sedikit. Tapi saat itu Wening benar-benar ingin segera menyelesaikan makan malamnya dan kembali mengunci diri di dalam kamar. Bukannya ia tak sopan. Hanya saja, posisinya di rumah ini benar-benar serba salah.   Beruntung, Wening ingat tadi Mbok Sri datang ke kamarnya, membawa coklat hangat dan beberapa potong brownies kukus yang baru ia makan satu potong.   Menyalakan lampu, Wening tersenyum melihat brownies yang masih tersisa cukup banyak. Tapi senyumnya luntur saat tak mendapati air minum. Coklat hangat dari Mbok Sri sudah tandas. Jika makan brownies tanpa minum, jelas bisa serat apalagi sekarang saja dia sudah merasa haus.   Turun dari tempat tidur dengan bertelanjang kaki, hingga bisa merasakan telapak kakinya yang dingin saat menyentuh lantai. Wening membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Berniat untuk mengambil air minum.   Wening bersyukur, memiliki daya ingat yang cukup baik. Hingga membuatnya tahu di mana letak dapur dan tak perlu ada drama tersesat di rumah besar ini di saat tengah malam.   Ia jadi mensyukuri inisiatifnya berkutat di dapur, membantu Mbok Sri menyiapkan makan malam. Meski wanita tua itu terus saja melarangnya ini dan itu. Karena takut Om Halim marah.   Wening hanya bosan. Setelah cukup beristirahat, dia bingung harus melakukan apa. Dan saat iseng mengitari rumah meski tak sampai keseluruhan isi rumah besar itu karena takut tersesat, Wening justru menemukan Mbok Sri di dapur seorang diri karena Tati tengah membeli sesuatu di luar atas titah Calisa. Padahal, waktu makan malam sudah akan segera tiba.   Mungkin nanti Wening menyediakan teko kecil dan gelas di kamar, jadi ketika haus tengah malam seperti sekarang, dia tak perlu berkeliaran seperti ini. Karena sejujurnya, Wening merasa takut, tapi menunggu pagi hanya untuk minum? Jelas tak bisa. Yang ada, dirinya makin kesulitan tidur.   Tubuh Wening menegang, gadis itu bahkan kepayahan menenangkan degup jantungnya saat di tengah keremangan karena sebagian lampu utama di matikan. Matanya masih mampu menangkap bayangan yang tampak ganjil.   Oh, tidak!   Itu bukan bayangan.   Itu jelas seseorang yang ... Tengah berjalan dengan mengendap-endap menuju tangga lantai atas. Seluruh tubuhnya yang terbalut serba hitam membuatnya seolah menyatu dengan kegelapan.   Wening ingin berteriak, tapi rasa takut seakan melenyapkan suaranya.   Setelah bersusah-payah menggerakkan tubuh yang sedari tadi terdiam bak patung. Gadis itu bergegas kembali menuju dapur.   Meletakan gelas berisi air minum yang baru satu teguk membasahi tenggorokannya, Wening dengan tubuh yang sedikit tremor karena rasa takut dan gugup, mencari-cari benda yang sekiranya bisa ia jadikan s*****a.   Mengais sisa keberanian yang hanya tinggal seujung kuku, Wening berjalan mengendap-endap, dengan panci sebagai s*****a yang kini dalam genggaman.   Wening bersyukur saat melihat sosok itu masih berdiri tepat di undakan tangga pertama, tampaknya tengah memainkan ponsel, karena cahaya dari benda pipih itu menyala cukup terang di tengah keremangan.   Sayangnya, cahaya dari ponsel itu tak cukup untuk membuat wajah seseorang yang Wening yakini adalah pria jika diamati dari postur tubuhnya itu bisa terlihat.   Pria itu menunduk, wajahnya yang tersorot cahaya ponsel terhalangi sebuah topi.   Astaga, kenapa memakai topi di tengah malam seperti ini? Hal lainnya yang kian membuat Wening curiga.   Wening kian mengeratkan genggamannya pada gagang panci, setelah yakin jika sosok itu pasti berniat jahat. Atau jangan-jangan ... Dia tengah sibuk menghubungi komplotannya yang ada di luar? Memberitahukan jika ia berhasil masuk ke dalam rumah ini?   Tidak bisa dibiarkan. Sekali pun apa yang akan ia lakukannya ini berisiko. Wening tak gentar. Om Halim sudah memperlakukannya dengan baik. Mungkin ini bisa jadi salah satu yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan sahabat Papanya itu.   Wening yang berjalan dengan pelan agar tak menimbulkan suara dan kecurigaan, segera menghantamkan p****t panci yang sedari tadi di genggamannya ketika sudah berdiri tepat di belakang pria misterius yang hendak menaiki anak tangga.   Buk!   "Aduh!"   Buk!   "Maling!"   "Hei, hei, apa-apaan ini?!"   Buk!   Buk!   "Aw! Astaga, sakit!"   "Maling!"   Buk!   Buk!   "Pergi kamu, maling! Tolong! Tolong! Ada maling tolong!"   Buk!   Buk!   Klik!   Suara saklar lampu dinyalakan tak menghentikan Wening yang melancarkan serangannya pada sosok yang hanya bisa mencoba menepis kebrutalan gadis itu dengan halauan lengan. Sayangnya, sesekali p****t panci itu mendarat ke kepala atau bahkan wajahnya.   "Ada apa ini?!"   Gelegar suara di tengah malam membuat pergerakan Wening dan pria itu terhenti. Keduanya sama-sama menoleh ke arah Lakmsi yang tengah memelotot. Wajah khas bangun tidur dan rambut yang tergelung asal membuatnya kian menakutkan. Apalagi wanita paruh baya itu tengah berkacak pinggang.   "Ma, ada orang gila!"   "Tan, ada maling!"   Wening dan pria itu membuka suara berbarengan, keduanya saling menoleh satu sama lain.   "Wening," suara berat namun terdengar lembut dari Om Halim mengalihkan atensi gadis itu. Melangkahkan kaki, ia tarik pelan tangan Wening yang masih menggenggam erat gagang panci, "dia bukan maling," jelas Om Halim sembari meringis saat melihat raut bingung gadis itu.   "Bukan maling?" Tanya Wening linglung, terlebih mendapat gelengan kepala dari Om Halim, "lalu, siapa orang ini?"   "Harusnya gue yang tanya! Lo siapa, tiba-tiba mukulin gue, perempuan bar-bar?!"   "Bastian!" Peringat Om Halim yang membuat sosok itu bungkam seketika.   Wening meringis canggung saat dirinya mulai tenang dan ketika mengedarkan pandangan, ia mendapati semua orang penghuni rumah ini tengah menatapnya dengan wajah setengah mengantuk.   Ya, tak hanya Laksmi dan Halim yang tergesa keluar kamar saat mendengar suara keributan. Calya, Mbok Sri dan Tati pun terjaga dari tidurnya dan bergegas keluar kamar.   Mbok Sri yang tak tega, berjalan mendekati Wening, "dia bukan maling," ucapnya dengan nada berbisik di telinga Wening.   "Terus siapa Mbok?" Mengikuti Mbok Sri, Wening jadi ikut berbisik-bisik.   Dengan tangan kanan memeluk lengan Mbok Sri, sementara tangan kiri masih menggenggam panci, Wening mencuri pandang pada sosok pria dengan atribut serba hitam dari mulai sepatu, celana, jaket kulit hingga topi di atas kepalanya yang kini di lepaskan dengan gerakan kasar oleh sosok itu. Membuat wajahnya terlihat jelas. Dan s**l, Wening tak bisa mengelak jika dirinya terpesona. Sayangnya, tatapan sengit yang pria itu berikan membuat Wening menggigil bukan lagi karena terpesona, tapi ketakutan.   "Dia ... Bastian Pradipto," Suara Mbok Sri mengembalikan kesadaran Wening.   Tunggu!   Siapa tadi?   Bastian Pradipto?   Astaga! Jangan bilang kalo dia itu ... Putra sulung Om Halim? Wening mengejap-ngejapkan mata dengan raut linglunng. Sebelum kemudian merutuki dirinya sendiri dalam hati.   Baiklah, sepertinya ia akan dalam masalah besar.   Jika saja bisa, Wening ingin lantai yang di pijaknya bisa menelan tubuhnya saat ini juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD