(Un) Perfect Wife - 3

3101 Words
Wening meringis menatap penampilannya di depan cermin. Rambut kusut masai, wajah kuyu dengan lingkaran hitam di bawah mata, membuatnya benar-benar tampil menyedihkan pagi ini.   Setelah kehebohan yang dia buat semalam, Wening tak bisa tidur nyenyak. Kepalanya terus saja dijejali pikiran-pikiran penuh kekhawatiran.   Astaga, dia sudah melakukan kesalahan fatal!   Baru saja bertekat untuk bersikap baik agar diterima oleh Tante Lakmsi dan Calya, dia justru membuat kebodohan. Memukuli pria yang siapa ya namanya?   Ba ... Ba ... Bagus? Bayu? Bambang?   Ck, pokoknya anak laki-laki Om Halim itu.   Menggaruk kepala dengan gerakan frustasi, Wening mengembuskan napas. Setelah ini, bagaimana dia bisa menunjukkan wajahnya di hadapan mereka?   Alih-alih diterima, dia justru akan semakin dibenci. Tak hanya oleh Tante Laksmi dan Calya, tapi juga pria itu.   Dia malu, sungguh!   Tapi, bukankah dia tak salah sepenuhnya?   Hei, siapa juga yang tidak berpikiran buruk? Mengira pria yang berkeliaran di tengah malam dengan pakaian serba hitam dan gerak-gerik mencurigakan?   Bukankah wajar Wening berpikir orang itu maling? Apalagi, dirinya memang belum pernah bertatap muka secara langsung dengan putra sulung Om Halim itu. Karena saat ia datang pria itu sedang tidak ada di rumah. Dan ternyata baru pulang dini hari.   Apa yang sedang dia kerjakan hingga pulang di tengah malam dengan tampilan serba hitam?   "Wening?"   Suara familiar dan ketukan pintu tertangkap pendengaran Wening. Membuat gadis itu bergegas beranjak dari tempat duduknya di depan meja rias.   Membuka pintu, Wajah Mbok Sri yang tengah tersenyum menjadi pemandangan yang tersuguh di depan matanya.   "Sebentar lagi waktu sarapan, ayo gabung ke meja makan," jelas Mbok Sri mengingatkan.   Wening mengusap belakang lehernya dengan gerakan canggung, "iya Mbok, sebentar lagi saya ke sana."   Setelah berbasa-basi beberapa saat, Mbok Sri beranjak pergi. Sementara Wening menutup pintu dan masuk ke dalam kamar. Gadis itu kembali mendudukkan diri di depan cermin. Dia sudah mandi, tapi belum merapikan penampilannya yang masih tampak awut-awutan.   Meraih sisir untuk merapikan rambutnya yang bak singa jantan selesai baku hantam. Wening mengikatnya membentuk ponytail agar terlihat lebih rapi. Tak lupa membubuhkan concealer untuk menutupi kantung matanya yang tampak menghitam karena tak bisa tidur semalaman.   Berdiri dari duduknya, Wening mematut diri sekali lagi. Pagi ini, ia mengenakan dress floral berwarna navy dengan motif bunga mawar peach dan putih.   "Baiklah, kamu pasti bisa, Ning," ujarnya pada diri sendiri sembari menepuk-nepuk kedua pipi untuk memantik semangat.   Mengembuskan napas, Wening mencoba meluruhkan rasa gamang yang sedari tadi merongrongnya. Sebelum kemudian beranjak keluar kamar. Berjalan menuju ruang makan di mana sudah ada Om Halim yang tampak sibuk membaca koran, sementara Tante Laksmi tengah meminum minuman yang ... entah apa itu, karena Wening tak bisa melihatnya, tapi pergerakan Tante Laksmi terlihat begitu anggun ketika kembali meletakkan gelas seusai menyesap minumannya.   Berdeham canggung, Wening menyapa sepasang suami istri itu, "selamat pagi Om, Tante,"   "Wening," Om Halim menurunkan koran yang sedari tadi serius di bacanya saat menyadari kehadiran Wening. Pria paruh baya itu tersenyum hangat, "ayo, sini sarapan sama-sama," ajaknya kemudian.   Menganggukkan kepala kaku, Wening menyeret langkahnya lebih dekat ke meja makan. Gadis itu menarik kursi yang berada di sisi kanan samping Om Halim, sementara di seberangnya, ada Tante Laksmi yang menempati sisi kiri samping Om Halim.   Sejak kehadiran Wening, wanita itu tak memedulikan sama sekali. Sibuk mengoleskan selai kacang pada roti yang di pegangnya. Seolah itu kegiatan yang jauh lebih menarik, daripada harus berbasa-basi dengan kemunculan Wening di meja makan. Toh, suaminya sudah mewakilkan.   Baru juga pantatnya nyaris mendarat di kursi yang tampak empuk itu, pergerakan Wening yang hendak duduk harus terinterupsi oleh pekikan suara seorang gadis.   "Itu tempat duduk gue!" Hardik Calya yang sudah bersedekap tangan. Gadis itu masih mengenakan piyama pink bergambar kelinci, surai coklatnya tercepol asal dengan bagian depan terpasang satu roll rambut yang juga berwarna pink. Dan ketika Wening melarikan pandangannya ke bawah, ia juga mendapati sepasang sandal bulu berkepala kelinci yang lagi-lagi berwarna pink. Astaga, gadis itu sepertinya suka sekali dengan sesuatu yang berbau pink dan kelinci.   Wening segera menegakan tubuhnya kembali. Terlebih, melihat Calya yang melempar tatapan sengit padanya.   "Cal, yang sopan," tegur Halim, tak suka dengan sikap putrinya, "kursi kosong masih banyak, kenapa harus di ributkan?"   Ya, meja makan dari kayu berbentuk panjang dengan dua belas kursi itu memang terlihat berlebihan menurut Wening. Karena keluarga Om Halim sendiri hanya ada empat orang. Mbok Sri dan Bik Tuti biasanya makan di belakang. Oh, atau bisa juga untuk menjamu tamu seperti dirinya?   Tamu? Bukankah dia sudah dianggap bagian dari keluarga Pradipto? Ya ... Meskipun baru Om Halim yang mengakuinya.   Tak ingin memunculkan keributan di pagi hari, Wening memilih untuk mengalah. Nona muda di rumah ini jelas lebih berhak atas kursi yang tadi dia klaim itu bukan?   Wening duduk di kursi yang satunya, sembari mencuri pandang pada Calya yang menghentakkan kaki dengan raut sebal sebelum duduk di kursi yang nyaris ia duduki tadi.   "Kamu belum mandi ya? Anak gadis jorok sekali," tegur Om Halim yang Wening rasa tidak di peruntukan untuk dirinya yang sudah tampil rapi.   "Kan hari libur, Pa," Elak Calya dengan bibir mengerucut sebal.   "Libur sekolah bukan berarti libur mandi kan?" Sanggah Halim pada putrinya yang sudah menekuk wajah masam, membuatnya terkekeh-kekeh.   "Aku kan sudah cuci muka sama gosok gigi, mandinya nanti agak siang aja sekalian mau jalan sama teman-teman,"   "Sudahlah Pa, kaya baru liat kebiasaan putrimu yang kurang bersahabat sama kata mandi di hari libur saja," kali ini Laksmi yang sejak tadi bungkam, akhirnya angkat bicara. Menengahi perdebatan tak perlu yang dilakukan suami dan putrinya.   "Baiklah, ayo sarapan. Wening, kamu juga sarapan, kenapa diam saja? Kamu ingin sarapan sama yang lain? Ingin dibuatkan makanan tertentu?" Tegur Halim pada Wening yang sedari tadi hanya diam.   Suara Om Halim menyadarkan Wening dari lamunan. Gadis itu segera menggelengkan kepala, " tidak perlu Om, terima kasih," ucapnya sungkan.   Tentu saja dia tidak mau merepotkan. Apalagi, makanan yang tersuguh di atas meja sudah lebih dari cukup. Ada roti dengan pilihan botol selesai berbagai rasa, nasi goreng yang menguarkan aroma lezat, telur dadar dan ceplok di masing-masing piring, serta kotak sereal dan mangkok kosong. Sepertinya semua di sediakan agar bisa memilih apa yang ingin di santap sebagai pengganjal perut di pagi hari.   Wening mengedarkan pandangan, Om Halim tengah menikmati nasi goreng dengan telor ceplok setengah matang, berbeda dengan Tante Laksmi yang mengunyah rotinya yang lagi-lagi dengan gaya elegan. Sementara di sampingnya, Calya sibuk mengaduk sereal yang baru saja ia siram dengan s**u yang juga tersedia dalam teko kaca berukuran cukup besar.   Wening sendiri bingung ingin sarapan dengan apa. Seperti tahu kegamangan Wening, perutnya bereaksi meminta jatah pagi yang bisa mengenyangkan. Untung saja suara perutnya tidak terlalu keras. Bisa malu dia.   Akhirnya, nasi goreng menjadi pilihan Wening. Mengingat semalam ia kelaparan, jadi pagi ini ia akan sarapan dengan makanan yang cukup berat. Tak lupa menambahkan telur dadar, karena ia tak terlalu suka telur setengah matang.   "Kamu nggak makan nasi gorengnya, Cal? Biasanya suka." Tanya Halim setelah meneguk minumannya, mendapati putri bungsunya sibuk dengan mangkuk berisi sereal yang sudah tercampur s**u cair.   "Ada wortelnya," keluh Calya dengan mulut sibuk mengunyah sereal, "Bik Tuti pasti lupa lagi buat nggak masukin wortel ke nasi gorengnya," sungutnya kesal.   "Kamu itu, suka sama yang serba kelinci tapi nggak suka sama wortel." Halim mengulum senyum melihat wajah Calya bersungut-sungut, apalagi dengan pipi menggelembung.   "Apa hubungannya Papa?"   "Ya ada dong, kan wortel kesukaan kelinci."   "Tapi Atsah doyan kangkung sama selada kaya aku," bela Calya, dia kadang sebal jika ketidak sukaanya pada wortel, di sangkut pautkan dengan kegemarannya mengoleksi berbagai pernak-pernik serba kelinci. Dan Atsah sendiri adalah nama kelinci peliharaannya.   "Bastian tidak ikut sarapan?" Halim memilih untuk menyudahi kegiatannya menjahili Calya yang sudah dibuat kesal olehnya. Untuk itu, ia mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan putra bungsunya yang belum terlihat bergabung di meja makan.   Meski sibuk dengan isi piringnya, Wening tak bisa melewatkan untuk mencuri dengar tentang ... Bastian?   Ah, ya, pria yang semalam ia kira maling itu bernama Bastian.   Kira-kira bagaimana kabarnya?   Apa pukulannya semalam menimbulkan luka?   Tapikan, dia hanya memukul dengan menggunakan panci.   Ya, memang hanya sebuah panci. Tapi bahannya cukup tebal dan ia hantamkan ke segala penjuru badan Bastian yang bisa di capainya dengan membabi buta sepenuh tenaga. Jadi, tetap saja itu pasti sakit. Wening meringis dengan pemikirannya sendiri.   "Paling juga masih sibuk bikin motif pulau di sarung bantalnya, Pa," jawab Calya tak acuh.   "Abangmu itu nggak ada kegiatan lain selain keluyuran tiap malam?"   "Ih, kok jadi aku yang kena omel?" Protes Calya.   "Papa nggak ngomel, Cal, cuma menggerutu."   "Sama saja Papa,"   Wening mengamati dalam diam, perbincangan pagi hari di meja makan yang sudah lama tak ia rasakan. Bahkan jauh sebelum sang Papa meninggal. Pria yang ia sayang itu tak bisa lagi melewatkan sarapan berdua bersama dengannya karena kesibukan. Terlebih, saat perusahaan tengah carut-marut di terjang masalah penggelapan uang perusahaan. Papanya akan berangkat begitu pagi, dan pulang ketika waktu sudah begitu larut malam.   Seharusnya tak boleh, tapi Wening tak bisa mengendalikan diri, ketika ada rasa iri yang mencubit sudut hati.   ***   Bastian mengerang kesal, di iringi beberapa u*****n yang ia lontarkan karena tidurnya terganggu oleh suara ponsel yang terus berteriak menyebalkan.   Matanya masih begitu berat untuk di buka. Bahkan rasanya, ia baru saja terpejam.   Mengangkat kepala, ia raih bantal yang sebelumnya ia gunakan sebagai penyanggah kepala, kini dialih fungsikan sebagai penutup kepala. Terutama menutup telinganya agar terhindar dari suara bising.   Ketika ponsel yang tiba-tiba menjadi s****n itu tak lagi membuat gaduh. Bastian yang tidur dalam posisi menelungkup, hingga punggung kekarnya yang tak terlapisi apa pun, mengingat kebiasaannya yang lebih suka tidur tanpa atasan terekspos begitu jelas, kembali tidur damai.   Sayangnya, baru saja akan menginjak dunia mimpi, ponselnya kembali berteriak menyebalkan.   "Astaga! Gue ngantuk, s****n!" Umpatnya tak lagi bisa menelan dongkol.   Dengan wajah sembab khas orang bangun tidur dan rambut awut-awutan, pria itu merubah posisinya menjadi terlentang. Sebelum dengan ogah-ogahan menjulurkan tangan ke atas nakas di samping tempat tidurnya, meraba-raba untuk mencari ponsel yang masih berteriak-teriak mengusik pendengarannya.   "Apa?!" Hardiknya saat menerima panggilan tanpa melihat siapa yang menghubunginya dan mengganggu waktu tidurnya. Bastian sudah terlanjur kesal. Awas saja jika yang menelponnya ini si biang kerok Arya.   "Sayang, kok kamu bentak-bentak sih? Kenapa? Nggak suka aku telpon?" Nada manja yang terdengar merajuk itu, membuat Bastian segera menyingkirkan rasa kantuk yang masih mendera.   "Ratu?"   "Iya, ini aku! Siapa lagi memangnya?"   Mengela napas sembari memijat pangkal hidungnya untuk mengurangi pening yang tiba-tiba Bastian rasakan, pria itu lebih memilih diam mendengarkan kecerewetan kekasihnya yang beberapa hari begitu sulit untuk di hubungi hingga membuatnya frustasi. Dan sekarang, tiba-tiba menelpon di saat tubuhnya berteriak ingin kembali melanjutkan tidur.   "Kamu dengar nggak sih, Bas? Aku ngomong apa?"   "Iya Sayang ... Dengar kok," tak ingin memperpanjang ocehan kekasihnya, Bastian memilih aman, meski sebenarnya tak ada satu kata pun dari ucapan Ratu yang berhasil tersangkut di kepalanya yang masih berdenyut-denyut.   "Yaudah, nanti jangan lupa jemput minggu depan di Bandara ya, aku mau lanjut liburan abis selesai semua pekerjaan di sini, bye, sayang ...."   "Hm ... Bye, sayang," setelah mendengar suara kecupan jarak jauh kekasihnya dan sambungan terputus. Bastian kembali merebahkan diri. Sayangnya, kantuk yang tadi begitu merongrongnya kini entah menguap kemana.   Pria itu berdecak sembari menggaruk rambutnya yang sudah kusut masai, kesal karena dari rentetan yang di ocehkan Ratu akhirnya bisa ia simpulkan. Perempuan itu tak akan langsung pulang setelah pekerjaannya selesai. Dia lebih milih untuk menghabiskan waktu di Paris sembari liburan dan baru akan kembali ke Jakarta minggu depan.   Suara ponsel yang tiba-tiba kembali berdering memecah lamunan Bastian. Mengangkat sambungan cepat karena ponsel miliknya masih tergeletak di sampingnya, pria itu langsung menyapa dengan suara lembut. Tak ingin Ratu kembali mengomel, "iya sayang, kenapa lagi?"   "Idih, apaan lo pake sayang-sayangan ke gue?"   Bastian mengumpat saat melihat nama pemanggil yang ia kira Ratu, tapi ternyata si k*****t Arya, sahabatnya. "Ngapain lo telpon gue?"   "Buset ... Santai, bro! Ngegas amat pagi-pagi? Efek di tinggal pacar ngeri juga ya?" Arya bermonolog tapi Bastian tahu itu adalah sindiran untuknya.   "Nggak usah banyak kata pembuka, buruan bilang, urusan apa yang bikin lo nelpon gue pagi-pagi?"   "Heh! Pagi dari mana bocah? Ini udah jam sebelas siang. Matahari aja udah nongkrong di atas kepala."   "Jam sebelas tuh masih kategori pagi. Kalo lewat jam dua belas baru masuk siang."   "Ah, bodo amatlah! Terserah anaknya bapak Halim Pradipto aja deh!"   Bastian terkekeh mendengar Arya di seberang sana yang misuh-misuh. "Jadi?" Tanyanya dengan nada menggantung.   "Nanti jangan lupa ke Cafenya Hasta."   "Ngapain?"   "Cebok! Ya nongkronglah!" Ujar Arya kesal namun berhasil membuat Bastian terpingkal.   Setelah berbincang beberapa lama, meski lebih banyak hal tak penting yang diocehkan Arya, Bastian beranjak dari atas tempat tidurnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.   Keinginan memeluk guling dan melanjutkan mimpi sudah tak lagi menjadi minatnya. Kantuknya sudah benar-benar lenyap. Jadi lebih baik dia bersiap. Meski ajakan Arya untuk nongkrong ke Kafe milik Hasta, yang juga sahabatnya masih beberapa jam lagi.   ***   "Heh, kamu," Tati berjalan tertatih-tatih dengan tangannya terus memeluk perut, mendekat ke arah Wening yang sedang memainkan ponsel di sofa ruang tengah seorang diri. Membuat gadis itu kebingungan mendapati dirinya tiba-tiba di hampiri.   "Ya?" Tanya Wening ragu.   "Lagi nggak sibuk kan?" Mendesis dengan wajah meringis, Tati mengibaskan tangan sambil lalu, "daripada nganggur, gantiin gue bikinin minum buat Tuan Muda sana, sakit banget perut gue, nggak tahan!" Tanpa menunggu jawaban dari Wening, Tuti segera berlalu, tapi baru empat langkah, perempuan itu kembali berbalik menghadap Wening, "nanti antar ke kamarnya, tahu kan?"   Dengan polos, Wening menggelengkan kepala, membuat Tati berdecak, "yang pintu kamarnya warna coklat, kalo yang pintu putih, itu kamar Non Calya. Ingat ya, jangan lupa." Titahnya, yang lagi-lagi berlalu tanpa harus menunggu kesediaan Wening atau tidak.   Hal yang membuat Wening bingung, itu tadi minta tolong atau memerintah?   Rumah memang dalam keadaan sepi. Yang Wening tahu, tadi pagi Om Halim sudah berangkat untuk bermain golf bersama rekan bisnisnya. Itu yang pria itu katakan saat berpamitan dengannya sewaktu mereka tak sengaja berpapasan. Sementara Tante Laksmi dan Calya, dia tidak tahu kemana perginya, karena jelas, keduanya tak mungkin repot-repot memberitahu apalagi berpamitan padanya.   Beranjak dari tempat duduk, Wening melangkah menuju dapur. Biasanya ia akan melihat Mbok Sri yang kadang berkutat di sana. Tapi saat ini, wanita yang selalu bersikap hangat padanya itu tengah ke pasar untuk berbelanja kebutuhan bulanan diantar Mang Ujang, pria paruh baya yang biasa mengurus kebersihan pekarangan rumah.   Kenapa bukan Bik Tati? Wening sendiri juga kurang tahu. Mungkin Mbok Sri lebih paham apa yang di butuhkan. Jadi Bik Tati yang berjaga di rumah.   Wening terdiam di depan meja counter, gadis itu kebingungan, minuman apa yang harus dia buat?   Tadi  Bik Tati memberi perintah setengah-setengah, si Tuan Muda itu ingin dibuatkan minuman apa? Kopi? Teh? Jus? Atau air putih?"   Setelah berpikir beberapa saat, tiba-tiba saja ada ide yang tercetus di kepalanya tentang satu minuman yang tadi sempat ia lihat di **. Minuman yang cukup booming akhir-akhir ini.   Segera bergerak mempersiapkan segala bahan dan peralatan yang dibutuhkan, Wening memulai aksinya.   Gadis itu mengedarkan pandangan, memeriksa apa semua bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah tersedia. Di atas meja counter, kini sudah ada dua toples kaca, yang satu berisi kopi bubuk, satunya lagi gula pasir. Lalu s**u cair, mangkuk, termos air panas dan mixer. Sebenarnya, masih ada satu bahan lagi, tapi sengaja akan ia ambil nanti setelah adonan yang akan dibuatnya telah selesai.   "Ok, mari kita mulai sekarang!" Serunya untuk menyemangati diri sendiri.   Dimulai dengan mengambil mangkuk, kemudian memasukkan kopi bubuk dan gula pasir kedalamnya, lalu menuangkan air panas. Ketika semua bahan sudah dimasukkan, kecuali s**u cair yang memang bukan menjadi bagian adonan, Wening menyalakan mixer untuk mengaduk dengan cepat.   Raungan suara mixer yang cukup bising menjadi alunan di tengah sunyinya rumah besar itu. Wening sendiri tampak fokus dan menikmati apa yang kini tengah dikerjakannya. Dia senang karena bisa mempraktekkan apa yang tadi sempat membuatnya penasaran saat melihat di **. Setelah beberapa saat, adoan yang diaduknya muncul busa yang mengembang. Setelah dirasa cukup, Wening mematikan mixer dan beranjak untuk membuka kulkas. Meraih es batu yang masih di dalam cetakan.   Memasukkan es batu ke dalam gelas setelah melepaskannya dari cetakan, Wening menuang s**u cair secukupnya. Tak sampai memenuhi gelas, karena setelahnya ia menuang adonan kopi dan gula yang sudah menjadi busa kecoklatan ke atasnya.   Wening merekahkan senyuman, ia tampak puas dengan hasil minuman yang baru pertama kali dibuatnya. "Dalgona Ice Coffee, siap dinikmati." Ucapnya antusias, namun tak berapa lama gadis itu termenung, ck, jadi menyesal karena membuat hanya untuk satu porsi. Baiklah, tak apa. Setelah ini, ia bisa membuatnya kembali untuk dirinya sendiri.   Meraih nampan kemudian menempatkan Ice Dalgona Coffee di atasnya, Wening berjalan perlahan sembari membawa minuman yang akan ia berikan untuk Bastian. Gadis itu sedikit meringis karena seperti tengah mengikuti salah satu lomba di tujuh belasan, yaitu membawa kelereng di atas sendok yang digigit dengan mulut. Di mana para pesertanya akan berjalan begitu pelan, hati-hati, dan penuh konsentrasi. Hal yang kini dilakukan Wening. Sembari membawa nampan, gadis itu menapaki satu persatu anak tangga menuju kamar Bastian dengan begitu pelan, hati-hati, dan penuh konsentrasi.   Mengembuskan napas lega, setelah berhasil naik ke lantai atas dan sudah berdiri di depan pintu coklat yang menurut informasi dari Bik Tati adalah kamar Bastian, Wening justru dilanda bingung.   Kedua tangannya tengah memegang nampan dengan minuman di atasnya. Lalu, bagaimana caranya ia mengetuk pintu kamar Bastian?   Apa perlu berteriak memanggil penghuni kamar ini?   Atau ia gedor menggunakan kaki?   Belum juga menentukan pilihan, pintu yang tadi tertutup rapat tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok Bastian, tengah mengusap rambutnya yang tampak setengah basah. Kaus abu-abu membalut tubuh tegapnya, dengan bawahan mengenakan jeans belel berwarna hitam.   "Ngapain lo?" Pertanyaan ketus itu Bastian lontarkan tanpa basa-basi. Tadinya ia berniat keluar kamar untuk mencari Bik Tati yang tak juga muncul mengantarkan minuman. Padahal, sudah sedari tadi ia menunggu. Tapi saat membuka pintu, dia justru mendapat kejutan dengan gadis bar-bar yang memukulinya dengan p****t panci semalam, kini tengah berdiri di depan kamarnya.   Astaga! Jika mengingat tragedi itu, Bastian ingin sekali mencabik-cabik gadis yang kini tengah berdiri kikuk di depannya. "Ck, ngapain lo di sini?" Ulangnya karena tak juga mendapat jawaban.   Wening mengejap-ngejapkan mata, menelan ludah kelu, gadis itu membuka suara, "ini," sialnya, hanya satu kata itu yang mampu tercuri keluar.   Bastian yang sedari tadi memandang sebal wajah gugup Wening beralih ke atas nampan yang sedari tadi gadis itu pegang. Hal yang baru di sadarinya.   Seolah paham tanpa harus diberi penjelasan panjang lebar, Bastian meraih minuman dari atas nampan yang Wening pegang. Sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam kamarnya, tak lupa menutup pintu dengan keras, tepat di depan wajah Wening yang memucat dengan tubuh berjengit karena terkejut.   Apa itu?   Tak ada ucapan terima kasih?   Oh, halo ... Itu minuman tidak bisa membuat dirinya sendiri. Dia yang sudah susah payah membuatnya. Tapi sikap kasar yang justru diterimanya.   Ck, dasar menyebalkan!   Jika begini, seharusnya bukan panci yang Wening hantamkan semalam. Tapi penanak nasi sekalian.   Menghentakkan kaki kesal, gadis itu bergegas pergi. Sebelum nekat menerobos pintu bercat coklat itu untuk mencekik penghuninya yang menyebalkan.   Sementara di balik pintu, Bastian tampak santai bersandar di sofa panjang yang berada di dalam kamarnya sembari memainkan ponsel, sesekali menyeruput Dalgona Iced Coffee yang langsung disukainya.   Kembali pada Wening yang masih di gelayuti rasa kesal, saat menuruni anak tangga terakhir dia justru bertemu dengan Bik Tati.   "Sudah?" Tanyanya dengan raut wajah menyebalkan, sama seperti pria yang mendekam di atas sana.   Meski cara bertanya perempuan itu begitu semena-mena, Wening tak mau membalas dengan cara yang tak baik. Walau bagaimanapun, Bik Tati lebih tua darinya.   Menelan kesal yang belum berkurang, justru kini kian bertumpuk, Wening menganggukkan kepala.   "Jangan lupa, kembalikan nampannya ke tempat semula," titahnya sebelum kemudian berlalu pergi. Meninggalkan Wening yang memeluk erat nampan ditangannya. Agar jangan sampai tergoda untuk melemparnya ke kepala Tati yang rambutnya digelung dengan hiasan bunga besar di belakangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD