Chapter 2

1404 Words
Tidak ada hari yang membuat dunia bergetar suara teriakannya yang melengking, seperti sekarang di tengah malam dengan hawa yang panas mengingat bulan ini bulan kemarau yang panasnya luar biasa. Di ruangan tengah terlihat Dai dan Uta berebutan sekotak es krim yang tinggal satu-satunya di kulkas, Dai tidak ingin berbagi karena dia menemuinya terlebih dahulu begitu juga dengan Uta ia tidak mau mengalah karena yang membeli es krimnya adalah dirinya sendiri. “Lo datang-datang resek banget sih! Ini es krim gue yang beli, lo nggak ada hak buat makannya, tahu diri dong!” Dai menjambak rambut adiknya kencang membuat pria yang berbeda lima tahun dengannya itu mengaduh kesakitan. “Bibit mercon!! Mulut lo nggak sopan banget!! Gue ini kakak lo, KAKAK LO!” “Yang nggak tau diri,” ujarnya sarkas dan mengambil paksa es krim itu dan menjaga jarak, mereka tetap saja mengomel satu sama lain membuat wanita paru baya yang kian rentan itu datang dengan tergopoh-gopoh dan menjewer kedua telinga cucunya. “Kalian mau oma cepat mati ya!! Kalian berisik! Ini sudah jam berapa! Ahhhhh Dai ikut oma," perintah wanita yang telah berambut putih itu, membuat Dai dengan malas beranjak dengan Uta yang meleletkan lidahnya. Dai membalas dengan gerakan memotong leher dan lidah yang keluar, masih saja mereka. Dai menuntun oma nya yang hendak ingin ke kamar beliau, setelah membantunya Dai duduk disisi tempat tidur dan memijat pelan kaki wanita tua itu. “Kamu sudah dewasa, umur kamu sudah matang bahkan kamu pantas untuk menikah. Tapi, lihat tingkah kamu sama adik kamu tadi oma nggak yakin kamu bisa membangun rumah tangga. Dengan sifat kekanakan kamu, sampai kapan kamu bertahan sama sikap kamu? Sampai kedua orang tua kamu meninggal? Bahkan mereka pantas bahagia di masa tuanya ngumpul dengan anak-anaknya serta cucu-cucunya, jangan kecewakan mereka—“ “Maaf Oma, tapi Dai belum siap untuk itu semua. Tapi, oma nggak usah khawatir Dai akan menikah kok pasti.” “Ya kapan, Nduk? kamu udah punya calon buat di nikahi? nggak ada, 'kan? lihat kamu ini cantik, pintar. hanya saja tingkah kamu kekanakan sekali, Mungkin kalau kamu dapat martua, yakin martua kamu malu punya menantu seperti anak-anak ini. Oma aja malu tau punya cucu kayak kamu, untung aja cantik," Kekeh omanya membuatnya cemberut. “Ikh oma ngeselin, oma sama saja seperti mama ngebet banget buat aku nikah.” “Karena umur kamu sudah matang, Nduk. Kamu ini di bilangin ngeyel. Kalau nggak oma jodohin kamu sama cucu teman oma—“ “Jodohi?” potongnya cepat, apa yang ia pikiri ternyata benar saja. “Dai nggak mau oma, ini bukan di zaman siti nurbayah yang ada perjodohan segala. Pokoknya Dai nggak mau, kalau oma maksa aku akan mengajukan nama mama buat di jodohkan.” Wanita yang telah berambut putih itu menjitak cucunya gemes, kalau ngomong nggak pernah di filter. “Mama kamu udah nikah sama papa kamu, nggak mungkin oma jodohin sama mama kamu. Kamu ada-ada aja.” “Ya nggak apa-apa, hitung-hitung buat nambahin daftar menantu heheh, juga menambah ekono-Aduhh," rintihnya saat tangan keriput itu mencubitnya kuat, jangan tanya kan lagi tenaga oma masih kuat bahkan mencubit bibir Dai ia masih bisa. “Kamu ini ya kalau ngomong--“ “Suka bener," kekeh Dai dan ia hendak menghindar cubitan omanya, tetapi ia malah tertabrak sama Uta yang baru saja masuk. “Aish punya adik nggak bener mulu,” keluhnya, deheman oma membuatnya diam seketika Uta menghampiri omanya tidak peduli gerutuan dari kakaknya. “Ini oma obatnya, minum dulu.” “Dai.” Perempuan itu masih berdiri di dekat pintu, ia melihat omanya yang saat ini memanggilnya. “Besok malam ada pertemuan, dandan yang cantik. Kalau bisa ubah gaya kamu, cewek sedikit. Ini bikin oma sakit mata.” “Aish tadi muji sekarang ngejelekin oma nggak konsisten.” “'Kan emang bener kata oma, lo tuh jelek mana mau juga cowok suka sama lo cabe mercon,” ejek Uta yang segera di balasnya dan sekali lagi peringatan oma membuatnya diam, sepertinya baik di rumah bersama mamanya maupun dengan omanya sama saja, ibarat keluar dari kandang macan, masuk ke kandang harimau. Mundur kena maju pun kena, serba salah. [..] Asap rokok menggumpal di udara, malam yang dingin ini ia nikmati dengan duduk di balkon di temani sebatang rokok yang sudah hampir setengah batanya habis. matanya menerawang merasakan perasaan yang mengenjolak, dari Jerman ke Indonesia bukan lah suatu hal yang mudah banyak yang ia lalui dan ia korbankan. Pikirannya berkelana kemana-mana, ia merasa tidak bisa menjalankan keinginan keluarganya. Karena sesuatu menunggu kepulangannya, pergi dari masalah bukan lah jalan keluarnya ia harus menghadapinya pilihan ada di tangannya. Tok tok.. Ketukan pintu membuat nya bergegas mematikan benda tembakau itu, setelah menyemprotkan wewangian ia segera membuka pintu kamarnya. “Boleh mama masuk?” tanya wanita paru baya itu, segera saja ia membukakan pintu untuk mamanya. Beliau duduk di kursi single di kamarnya dengan ia berdiri bersandar di kusen pintu balkon, seminar angin masuk malam yang penuh damai dan ketenangan. “Sayang, mama tau ini berat buat kamu mengambil keputusan. Tetapi, kamu tau kan kakek gimana,apa lagi ini amanah darinya, Ia tidak ingin dibantah. papa sudah berusaha dulu untuk membela kamu tapi kakek tidak ingin mendengarkan. Kami tau kamu punya kehidupan bahkan pilihan untuk masa depan kamu, semua begitu mendadak mama sama papa nggak bisa melakukan apapun untuk pembelaan. Jadi, mama dan papa mengharapkan keputusan kamu sayang. Tetapi, menekan kakek bukan jalan yang terbaik,” jelas mamanya yang saat ini benar-benar tidak ada pilihan selain terima perjodohan itu. “Memang pada dasarnya aku nggak bisa menolak nya. Demi keluarga, aku melepaskan masa depan ku …tetapi, aku harap kalian tidak meminta lebih setelah ini.” Pria itu menatap mamanya, ada kerutan kesedihan di balik mata mamanya beliau paham betul ini semua karena keluarganya. “Besok malam pertemuan keluarga, mama harap kamu siap untuk ini semua ...“ Wanita itu berjalan menghampiri, mengelus bahu anaknya. “Bahagia lah sayang.” Setelah mengatakan hal tersebut, wanita itu pergi dari kamarnya meninggalkannya seorang diri ditemani langit malam yang dingin. Tidak tahu hal apa yang akan terjadi, menolak pun ini semua percuma keinginan kakeknya sebelum meninggal adalah amanah yang begitu membuatnya tertekan dan bimbang dengan masa depan pilihannya. Ia kembali mengeluarkan sebatang tembakau tadi dan menghisapnya kembali, rokok adalah pengalihan yang terbaik saat rasa gunda itu menyelinap hati nya. Masa kejayaannya telah usai, ia harus merelakan semuanya demi amanah itu. Hidup dalam kekangan keluarga, tidak ada yang tahu apa yang akan ia perbuat. Asap kian berhembus ke udara malam, menikmati rasa manis sekaligus pahit yang begitu menyayat hati. [..] Siang ini rumah oma Dai kedatangan tamu tidak terduga, yaitu sepupunya yang bin nyebelin datang menyapanya. “Hai Daizy!! Gue kangen banget sama lo, kok lo makin cantik sih? perawatan lo ya? bagi-bagi dong tips nya, ugh pipi berlemak kemarin kemana perginya? Ikh tuhan nggak adil, parah lo kok bisa cantik gini sih.” Pretetan pertanyaan yang membuat Dai muak, dari pada mendengar ocehan perempuan itu Dai menariknya ke kamarnya. “Daripada gue dengerin ketidakjelasan lo, lebih baik lo bantu gue sini.” Dai menarik sepupunya yang bernama Ghasna yang sering disapa Asna wanita cantik dengan tubuh semampai berbeda dengan Dai yang memiliki tinggi 158cm membuat keduanya terlihat berbeda, kini Asna menatap Dai yang tengah membuka lemari pakaian. “Oma nyuruh gue buat dandan yang cantik, yang katanya nanti ada pertemuan--“ “Pertemuan sama keluarga Langit bukan sih? Ish parah kenapa oma milih lo buat sama dia sih, mending juga sama gue yang cantik juga tinggi semampai, pintar, rajin menabung juga—“ “Stop!! Kalau lo mau kenapa susah-susah buat gue ikut acara nggak berguna ini, mending lo gantiin gue aja entar malam.” Dai duduk di ujung sofa menatap Asna yang sibuk memilih baju. “Gue udah ngajukan diri sama oma, cuman gue nggak terpilih cih, katanya biar kan buat cucunya yang jomblo ini ... ini bagus.” Asna mengeluarkan dress berwarna biru tanpa lengan yang menampilkan belahan d**a, tentu Dai menghindari itu. “Jelek!! Pilihan lo nggak berbobot banget sih, percuma juga gue suruh lo masuk ke kamar.” Dai hendak mengusir Asna sebelum wanita itu mengambil sebuah dress bermotif floral yang berwarna hitam dengan panduan warna gold, dress itu cukup cantik dengan motif yang begitu hidup, seketika Asna terpaku begitu juga dengan Dai. “Ini bagus banget!!, lo punya?” tanya Asna yang sedikit menjauhkan dress tersebut dan melihat dengan teliti, ia berpikir jika dirinya yang memakai gaun itu kemungkinan akan terlalu pendek untuknya walaupun begitu ia tidak berhenti takjub dengan dress hitam yang simple itu. “Mungkin oma yang beli,” ujar Dai mengambil alih dress itu dan mengantungnya di pintu balkon, cantik. Ia tidak tau jika ada dress sesimpel dan secantik ini, motif gold nya memberi kesan hidup Dai benar-benar menyukainya. Siapa pun yang membelikannya ia begitu beruntung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD