Violence - Three

1555 Words
Wanita itu terkejut saat mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak. Tubuhnya pun terdorong ke depan akibat rem yang mendadak diinjak. Masih membenarkan posisi duduknya, dirinya terkejut saat pintu di sampingnya terbuka dari luar. Sebuah lengan menariknya keluar dengan paksa. "Keluar dari mobilku," ucap Ansell sembari menarik Gwen keluar. Dia menutup pintu dengan keras setelah wanita itu berhasil keluar. "Aku hanya ingin ikut denganmu," pintanya. "Aku tidak mengenalmu. Aku tidak ingin kau merepotkanku. Jadi aku tidak akan membiarkanmu ikut denganku." Ansell hendak membalikkan tubuhnya, berniat untuk kembali masuk ke dalam mobil. Namun Gwen segera mencekal lengannya untuk menahan dirinya pergi. "Kalau begitu kau harus membantuku." Ansell mengernyitkan keningnya, menatap pada sepasang bola mata di depannya. *** Sepasang manusia itu nampak lebih tenang dari sebelumnya. Kini keduanya duduk berhadapan di sebuah kafe yang terletak di tepi jalan. Ansell tidak terbiasa berbicara masalah kerjasama ataupun sejenisnya di tengah jalan sehingga dia terpaksa membawa wanita asing itu ke sebuah kafe. "Katakan, Nona. Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu." Gwen menghela napas pelan. Dirinya tidak menyangka jika pria itu bisa bersikap lebih baik dari sebelumnya. "Aku... membutuhkan bantuanmu," ucapnya ragu. Iya. Dia merasa ragu jika Ansell akan bersedia membantunya. "Kau ingin merampok bosmu? Atau—" "Bukan," Gwen memotong ucapan Ansell dengan cepat. "Aku tidak membutuhkanmu untuk melakukan hal-hal yang keji seperti itu—" "Nona," panggilan interupsi dari Ansell membuat Gwen terperangah menatapnya. "Apa kau tidak sadar meminta bantuan pada siapa? Aku biasa melakukan hal seperti itu," ucap Ansell dengan nada kesal mendengar ucapan Gwen. "Ibuku meninggal," ucap Gwen pelan setelah beberapa saat mereka diam. Sedangkan Ansell nampak menunggu kalimat selanjutnya. "Tapi... aku belum percaya jika ibuku meninggal. Maksudnya, kau tahu, sampai sekarang jasadnya belum ditemukan. Polisi mengatakan jika kemungkinan ibuku dimangsa oleh binatang buas. Itu tidak masuk akal." "Sejak kapan ibumu meninggal?" "Sepuluh tahun yang lalu." "Se—" Ansell mendesah pelan. "Apa kau pikir aku seorang detektif? Gunakan akal sehatmu, Nona. Dalam hitungan detik, aktivitas otak mayat seketika akan tersentak dan temperatur tubuh akan menurun sebesar sepuluh derajat Celcius per jam. Lalu sel mulai mati satu demi satu karena kekurangan oksigen. Dalam hitungan jam, kalsium akan terbentuk di dalam otot, menyebabkannya menjadi tegang. Otot akhirnya relaks di bagian demi bagian. Lalu kulit akan menyusut dan mulai mengering. "Hanya hitungan hari, tubuh akan menjadi kehijauan karena enzim dalam organ mulai mencerna diri mereka sendiri. Itu artinya tubuh mereka akan mengeluarkan aroma yang tidak sedap. "Setelah satu minggu, serangga akan mulai menggerogoti dan mayat akan berwarna keunguan lalu berubah hitam serta rambut mulai rontok. Lalu tidak sampai lima bulan, mayat itu akan hancur sepenuhnya. Dan kau mengatakan sepuluh tahun? Aku membuang-buang waktu saja." Gwen terdiam mendengar penjelasan Ansell yang menurutnya tidak berguna. Dia tidak membutuhkan penjelasan itu. Yang dibutuhkannya adalah bantuan untuk mencari ibunya. Setidaknya jika memang ibunya sudah menjadi kerangka, mengapa jejaknya sama sekali tidak bisa ditemukan? "Tapi," Gwen tiba-tiba berdiri, mengikuti Ansell yang berniat untuk pergi. Dia mencekal lengan Ansell untuk menahannya. "Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi. Aku tahu kau pasti bisa membantuku." Ansell mendesah pelan. Dia menampik lengan Gwen yang menahannya untuk pergi. Pandangannya kembali tertuju pada sosok wanita aneh di depannya. "Aku tidak senang membantu orang," ucap Ansell. "Aku akan membayar mu," Gwen kembali berkata cepat seolah takut Ansell masih mempertahankan niatnya untuk pergi. "Kau tidak bisa membayarku dengan gajimu, Nona," Ansell tersenyum miring seraya memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana jeans. "Berapa yang kau minta? Aku akan membayarnya." "Tiga..." Ansell memberi jeda membuat Gwen merasa penasaran. "Juta... dolar," sambungnya dengan tatapan penuh kemenangan. Dirinya yakin jika Gwen pasti akan mengurungkan niatnya karena tidak mampu membayar. "Apa?!" Gwen membelalakkan kedua matanya. Tiga juta dolar? Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? "Tiga ratus dolar," Gwen mencoba menawar. "Tidak, Nona. Tiga juta dolar, itu harga yang paling kecil," ucap Ansell. Kini kedua tangannya terlipat di depan d**a, masih dengan senyum penuh kemenangannya. "Ba-baiklah," ucap Gwen dengan setengah hati. Dia merogoh saku celananya. Tiba-tiba Gwen meletakkan kartu namanya di atas meja—sedikit menggubrak meja akibat rasa kesalnya. "Itu kartu namaku. Kau bisa menghubungiku untuk memberikan nomer rekeningmu," sambungnya lalu melenggang pergi. Ansell tersenyum tipis saat Gwen berlalu dari hadapannya. Dia mengambil kartu nama itu dan memperhatikannya. Hanya sejenak, dia tersenyum tipis dan menoleh ke belakang. Tepat ke arah pintu yang telah menelan bayangan Gwen. *** "Gwen," panggil Ben melihat Gwen memasuki kafe. Dia pun mengikuti langkah Gwen yang berjalan ke arah ruang tengah rumah Gwen. Karena kebetulan kafe milik Gwen dan rumah hanya dibatasi sekat. "Kau dari mana?" tanya Ben. Gwen tidak langsung menjawab pertanyaan Ben. Dia nampak sibuk mencari sesuatu dari dalam laci lemari kecil. Sedangkan Ben berdiri di sampingnya sembari menunggu jawaban temannya. "Kau mencari apa?" Masih merasa penasaran, Ben tidak bisa berhenti bertanya. Dia memperhatikan beberapa tumpukan berkas yang dikeluarkan Gwen dari dalam laci. "Gwen..." panggilnya dengan nada memohon, berharap mendapat satu jawaban dari Gwen. "Kau dipecat," jawab Gwen cepat. Dirinya masih nampak sibuk mencari sesuatu. "Apa?" Ben terperangah mendengar ucapan temannya. "Tapi kenapa Gwen? Apa kau marah padaku soal ucapanku beberapa hari yang lalu tentang mendiang ibumu?" Gwen nampak diam memperhatikan berkas yang berhasil ditemukannya. Seolah pertanyaan Ben tak tertangkap oleh indra pendengarnya, Gwen nampak melamun. "Gwen." "Aku harus menjual rumah dan kafeku. Jadi kau tidak bisa bekerja di sini lagi," jawab Gwen pelan. Namun tatapannya justru tertuju pada berkas di tangannya. "Kenapa kau menjualnya, Gwen? Kalau kau menjual rumahmu, kau akan tinggal di mana?" "Tiga juta dolar. Aku harus mendapatkan uang sebanyak itu dengan cepat. Tidak ada jalan lain selain menjual rumah dan kafeku." "Uang?" Ben semakin merasa bingung mendengar penjelasan Gwen. Temannya tiba-tiba berbicara aneh setelah pergi. "Memangnya untuk apa uang sebanyak itu? Dan kau dari mana saja?" "Untuk mencari... ibuku," Gwen bergumam pelan seolah tahu Ben tidak akan setuju. "Astaga, Gwen..." Ben mendesah panjang. Dia memegang kedua pundak Gwen yang mempunyai tinggi setara dengannya. Lalu membalikkan tubuh Gwen menghadap ke arahnya, "Berhenti melakukan hal bodoh seperti itu! Dia membohongimu. Polisi saja tidak bisa menemukan ibumu, bagaimana dengannya yang sama sekali tidak tahu kasus kematian ibumu?" "Dia seorang pembunuh handal, Ben. Aku yakin—" "What???!!!" Ben kembali membelalakkan kedua matanya, kali ini kacamata yang bertengger di hidungnya hampir melorot setengah. "Kau sudah gila, Gwen? Kau berhubungan dengan seorang pelaku kriminal? Oh my... berhenti Gwen. Kau jangan berhubungan dengannya apalagi meminta bantuan. Kau bisa masuk penjara—" "Ssstttt..." Gwen memberi instruksi pada Ben untuk diam. Dia merasa kesal karena setiap kali Ben terkejut, pria itu tidak bisa mengendalikan ucapannya. Pantas saja tidak ada wanita yang tertarik padanya. Terlebih Ben sedikit bertingkah seperti wanita. "Diam," perintah Gwen dan menatap kesal pada Ben. "Justru dia pasti bisa membantuku." "Kenapa kau yakin sekali?" Ben melepaskan kedua tangannya dari pundak Gwen. "Karena... aku percaya padanya," gumam Gwen. "Kau percaya pada pria yang membuatmu terlantar tanpa tempat tinggal?" "Yang pasti, dia dapat dipercaya. Aku yakin itu." "Gwen, kau tidak mengenalnya. Kau hanya tahu beberapa informasi tentangnya dari detektif. Itu tidak bisa menjadi alasan dia dapat dipercaya." "Dia tidak melukaiku, Ben. Jika dia memang jahat seperti pelaku kriminal lainnya, tentu saja dia tidak akan melepaskanku karena aku melihat dirinya dan niat jahatnya waktu di pesta itu. Dia mengabaikanku dan pergi begitu saja. Itu buktinya dia dapat dipercaya karena melakukan pekerjaan sesuai dengan perintah. Lagipula..." Gwen memalingkan wajahnya yang nampak memerah, "Aku membelinya." "Maksudnya?" Ben mengernyitkan keningnya. Meskipun sudah berteman lama dengan Gwen, dirinya tidak jarang merasa aneh dengan setiap ucapan Gwen yang terdengar membingungkan. "Itu rahasiaku," jawab Gwen singkat dan tersenyum. "Aku pergi dulu," pamit Gwen seraya membawa berkas yang sejak tadi berada di tangannya. "Ke mana?" Ben sedikit berteriak karena Gwen yang berlari menjauh. "Menjual assetku. Jangan lupa segera tutup kafenya," teriak Gwen saat melenggang pergi. *** "Cleveland Rd?" "Iya," jawab Gwen singkat sembari memperhatikan pegawai property yang sedang memeriksa berkas-berkas rumahnya. "Salah satu staf kami akan datang untuk memeriksa rumah Anda," ucap wanita berambut pirang yang digelung rapi. Dia menutup berkas yang diberikan Gwen. "Baiklah. Tolong segera diproses karena aku sangat membutuhkannya." "Anda tenang saja, Miss. Kami akan segera menghubungi Anda." Gwen mengangguk mengerti. Dia pun segera keluar dari kantor property sembari membawa berkasnya kembali. Namun langkahnya dihentikan oleh dering ponsel dari dalam tas. Gwen segera meraih ponsel dan melihat sederet nomer baru menelepon. "Halo," sapa Gwen dan melanjutkan langkahnya menuju mobil. "Aku sudah mengirimkan nomernya. Aku tunggu dalam waktu 2x24 jam. Jika kau tidak melakukan pembayarannya, kesepakatan kita akan gagal." "Kau tenang saja. Aku pasti segera membayarnya." "Semoga kau tidak sampai menjual rumahmu." Gwen tertegun mendengar ucapan Ansell. Kedua matanya pun reflek mencari sosok yang saat ini sedang meneleponnya. Berpikir jika Ansell menguntit dirinya, Gwen masih menatap sekeliling. "Kau mengikutiku?" tanya Gwen dengan nada kesal. "Tidak." "Lalu... ba-bagaimana kau tahu aku akan menjual rumahku?" "Kau terlalu mudah ditebak." Gwen mengernyitkan keningnya. Dia tidak menemukan Ansell di sekeliling. Lalu bagaimana pria itu tahu jika dirinya akan menjual rumah? Tanpa mengatakan apapun, Gwen segera memutuskan sambungan telepon. Dia berjalan cepat sembari memperhatikan sekeliling saat hendak masuk ke dalam mobil. Sedangkan pria yang sejak tadi berdiri di balkon apartemen nampak asyik memperhatikan tingkah salah satu wanita yang berada di seberang jalan. Dia menatap layar ponselnya sekilas saat mengetahui wanita itu memutuskan sambungan telepon. Ansell masih berada di tempatnya, sembari memperhatikan sebuah mobil berwarna putih pekat mulai berjalan menjauh dari kantor property di depan gedung apartemen tempat dirinya tinggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD