Violence - Two

1961 Words
"Meja pojok kanan, Gwen." Langkah wanita itu menuju ke arah yang disebutkan Ben, karyawan sekaligus temannya. Pandangannya menemukan sosok pria berjaket hitam sedang duduk di meja paling pojok. Nampaknya pria itu sangat berkonsentrasi pada layar ponsel di tangannya sehingga tidak menyadari kehadiran Gwen. "Permisi, Tuan. Anda ingin memesan apa?" tanya Gwen sopan dengan posisi pena yang siap menulis pada buku kecil di tangannya. "Satu Espresso," jawabnya singkat tanpa mengalihkan tatapan. "Ada yang lain lagi, Tuan?" "Tidak." Gwen tersenyum tipis menatap pria itu sebelum menundukkan kepala. Tanpa membuat sang pelanggan menunggu lama, Gwen segera melangkahkan kakinya menjauh. Beberapa menit kemudian Gwen kembali dengan secangkir kopi espresso di atas nampan. Dia pun meletakkan kopi itu di atas meja pelanggan. "Ini Tuan, pesanan Anda," ucapnya dan kembali berbalik. Gwen berjalan menuju meja bar. Namun langkahnya dihentikan oleh umpatan pria yang menjadi pelanggannya. Dia menoleh ke arah pria tersebut. Matanya menyipit seolah berusaha mengenali wajahnya. "s**t!" Dia berhasil mengingat. Namun tidak langsung menegur ataupun bertanya pada pria yang diingatnya, dirinya justru terburu-buru pergi ke meja bar, tepat ke arah Ben yang sedang membuat kopi. Gwen duduk di kursi bar jenis Lucia Bar Stool, sebuah kursi yang mempunyai empat kaki bersi serta mempunyai sedikit sandaran yang cukup membuat nyaman. Dia duduk dengan posisi membelakangi meja pria yang saat sedang diperhatikan. Hingga membuatnya sesekali menoleh ke belakang, mencoba meyakinkan bahwa dirinya tidak salah orang. "Gwen, kenapa?" tanya Ben, yang menyadari jika teman dekatnya sedang memperhatikan salah satu pelanggan. "Hmm?" Gwen tertegun dan menoleh ke arah Ben sekilas lalu kembali menatap pria asing di sana. "Kau lihat siapa?" tanya Ben, sebelah tangannya membenarkan posisi kacamata minus yang bertengger di hidung. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan membuat wajahnya berada di samping Gwen. Gwen menarik pandangannya untuk kembali menatap Ben. Namun dirinya terkejut saat wajah Ben berada tepat di depannya. Dia pun memukul lengan besar temannya untuk menyalurkan kekesalan yang sejenak dia rasakan. "Aauuu," Ben memekik pelan dengan suara khas wanita. "Kau ingat pria yang waktu itu aku ceritakan padamu?" "Pria? Pria yang mana?" Ben mengernyitkan keningnya, dia merasa bingung. Gwen memutar bola matanya—kesal. Dia berdecak pelan, "Pria yang waktu itu bertemu denganku di acara pesta," bisiknya dengan nada kesal. "Oh," Ben ber'oh' panjang membuat Gwen mengikutinya. "Pria misterius bermata biru?" "Yeah," Gwen mengangguk dan menjentikkan jarinya, memberi isyarat jika tebakan Ben sangat benar. "Kau benar sekali." "Lalu?" Gwen mengarahkan jari telunjuknya pada pria yang duduk di meja paling ujung. "Dia, aku rasa itu adalah dia." "Kau bercanda? Memangnya kau sudah ingat wajahnya?" "Bagaimana aku bisa mengingatnya, aku saja tidak melihatnya dengan jelas." "Lalu kenapa kau yakin jika dia adalah pria misterius itu?" Gwen menghela napas pelan. Dia menarik lengan Ben membuat tubuh Ben kembali condong ke depan. "Jangan keras-keras, bodoh. Dia bisa mendengarnya," bisik Gwen. "Okay okay. Lalu, apa yang akan kau lalukan?" Gwen nampak diam sejenak. Otaknya mulai berpikir. Untuk saat ini dia tidak tahu akan melakukan apa. Namun dirinya merasa penasaran dengan pria aneh itu. Gwen masih sangat ingat bagaimana tatapannya menyiratkan kekesalan padanya. Ataukah mungkin dia sedang ingin menangkap seseorang namun salah sasaran? "Hei, kau tahu di mana aku bisa menyewa seorang detektif?" "Detektif? Memangnya apa yang akan kau lakukan?" Ben ikut berbisik dengan nada cemas. "Aku ingin tahu tentang orang itu. Mungkin jika aku tahu maksudnya melakukan itu padaku saat di pesta, aku bisa mendesaknya untuk membantuku." "Kalau ternyata bukan dia orangnya, bagaimana?" "Ya..." Gwen berpikir sejenak. "Aku akan tetap mendesaknya untuk bersedia membantuku." "Gwen," Ben memanggilnya pelan. Dia menghela napas melihat obsesi Gwen yang tinggi untuk menyelidiki tentang kematian ibunya. "Itu sudah berlangsung sepuluh tahun yang lalu." "Tapi, Ben. Aku belum bisa menerimanya. Itu... itu terjadi begitu saja. Dan tidak masuk akal, kau tahu?!" tanpa sadar Gwen menaikkan nada bicaranya, membuat dua pelanggan yang duduk di meja paling dekat dengan tempat Gwen dan Ben mendengar. Ben menatap sekeliling cemas. Dia meraih kedua tangan Gwen dan menggenggamnya. Berharap jika Gwen bisa meredakan emosi yang menurut Ben tidak ada gunanya. Gwinevere Thompson, teman sekaligus pemilik kafe tersebut adalah temannya sejak lama. Ben pun mengenal Sharma, mendiang ibu Gwen yang juga bersikap sangat baik padanya. Dia sangat tahu kesusahan-kesusahan yang menghampiri kehidupan Gwen setelah ibunya meninggal. Roy Thompson, ayah Gwen menikah dengan Luisa Hunt tepat satu bulan setelah Sharma meninggal. Dan mungkin Gwen belum bisa menerima keluarga barunya, sehingga semenjak pernikahan itu, dirinya pergi dari mansion keluarga Thompson dan memilih hidup seorang diri. Layaknya seorang Cinderella, kehidupan Gwen bersama Ibu tiri serta dua adik tirinya tak berjalan dengan baik. Gwen berpikir jika ibunya telah dibunuh oleh Luisa agar bisa menikah dengan ayahnya. Itu sebabnya jasad ibunya belum bisa dia temukan hingga sekarang. Polisi yang menyelidiki kematian Sharma mengatakan jika mobil yang ditumpangi Sharma mengalami kecelakaan di tebing. Pintu mobil terbuka membuat jasad Sharma jatuh ke dalam jurang. Dan kemungkinan terburuknya adalah jasadnya telah di makan oleh binatang buas. Setidaknya seperti itu penjelasan yang Ben dan Gwen dengar dari kepolisian. "Aku akan membeli salad kesukaanmu. Kau tunggu di sini," pinta Ben dan melepaskan celemek yang biasa dia pakai saat sedang membuat kopi. Gwen memperhatikan Ben yang berjalan keluar kafenya. Langkah Ben tertuju pada salah satu restoran yang berada tepat di depan kafe sekaligus rumahnya. Meskipun mampu membuat salad sendiri, namun Gwen sudah terbiasa membeli salad di restoran itu. Entahlah, baginya rasa salad milik restoran di depannya sangat menarik. *** Tiga hari berturut-turut pria asing itu selalu datang ke kafenya. Dan selama itu pula Gwen terus memperhatikannya. Bahkan dirinya menyewa seorang detektif untuk memeriksa informasi tentang pria asing tersebut. Ansell Barclay, itulah nama pria asing tersebut. Awalnya Gwen sangat terkejut mengetahui latar belakang pria yang akrab dipanggil Ansell. Dia tidak menyangka jika pria itu adalah pembunuh serta penculik bayaran. Dan dari hasil informasi tersebut, Gwen harus memberanikan diri untuk mengajukan permintaannya. Bukankah seorang pembunuh lebih cerdas dari seorang polisi? Mereka lebih tahu tentang kasus yang dikategorikan sebagai kasus pembunuhan atau bukan. Mereka lebih tahu bagaimana kronologi pembunuhan itu terjadi. Mereka lebih tahu apakah pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang yang profesional atau bukan. Karena mereka yang melakukannya. Gwen tergesa-gesa meletakkan pulpen dan kertas di atas meja bar. Langkahnya berlari mengejar pria yang baru saja keluar dari kafenya. Bahkan dia tidak mengatakan apapun pada Ben. "Tunggu!" Langkah Ansell dihentikan oleh panggilan dari arah belakang. Dia menoleh dan melihat wanita yang selalu melayani pesanannya kini berlari ke arahnya. "Aku sudah membayarnya, Nona," ucap Ansell, berpikir jika wanita itu mengira dirinya kabur tanpa membayar bill. Ansell kembali melanjutkan langkahnya. "Mr. Barclay! Tunggu!" Dalam sedetik Ansell kembali menghentikan langkahnya. Dia berbalik tiba-tiba dan menghampiri Gwen yang berlari ke arahnya. Langkah Gwen pun terhenti tepat di depan Ansell. "Dari mana kau tahu namaku?" desis Ansell sembari menatap tajam pada Gwen. Ansell tidak pernah memberitahu namanya pada sembarang orang. Hanya orang-orang yang pernah berhubungan dengannya yang tahu namanya. "Aku—" "Aku tidak pernah menulis namaku di daftar pesananmu." "Maafkan aku. Aku tidak sengaja tahu namamu." "Tidak ada kesengajaan dalam mengetahui nama seseorang, Nona," Ansell masih menatap tajam pada sosok wanita di depannya. "Tapi," Gwen tertegun saat Ansell hendak menghampiri mobilnya, yang menandakan jika pria itu akan segera pergi. Gwen pun memutari mobil Ansell dan membuka pintu depan, dia masuk ke dalam bersamaan dengan Ansell. Keduanya duduk berdampingan. "Apa yang kau lakukan di dalam mobilku?" tanya Ansell dengan nada tidak suka. Dia menatap kesal pada Gwen yang justru lebih memilih memakai sabuk pengaman daripada menjawab pertanyaannya. "Nona, ini mobilku." "Aku tahu. Lagipula aku tidak berniat mengambil mobilmu. Aku hanya ingin ikut denganmu." "Ikut denganku?" Ansell menaikkan sebelah alisnya. Mendapat anggukan mantap dari Gwen membuatnya semakin kesal. Dia pun keluar dari mobil dan berjalan memutar. Tangan Ansell membuka pintu mobil lainnya, menarik Gwen keluar. Sesaat setelah Gwen keluar, Ansell segera menutup pintunya kembali. "Kau tahu namaku. Apa kau tahu siapa aku sebenarnya?" Ansell menaikkan alisnya. Menatap Gwen seolah menantang wanita di depannya. "Iya. Aku... tahu. Kau seorang pembunuh dan penculik bayaran yang handal." Tiba-tiba Ansell menyeringai. Wanita di depannya terlihat biasa saja namun sangat membahayakan. Sepertinya wanita itu berusaha mencari informasi tentang dirinya. "Lalu apa menurutmu hal yang akan aku lakukan pada wanita sepertimu?" "Kau pernah hampir menculikku." Ansell mengernyit bingung. Dia pernah hampir menculiknya? Apa maksudnya? Ansell tidak pernah melupakan wajah orang-orang yang pernah menjadi korbannya maupun orang yang pernah bekerjasama dengannya. Dia tidak pernah menculik wanita biasa tersebut. Tidak ada yang berniat menculiknya ataupun berurusan dengan seorang wanita pelayan kafe. "Kau salah orang, Nona." "Kau yang salah orang, Mr. Barclay. Aku tahu kau pasti berusaha menculik seorang wanita di pesta itu. Dan sepertinya dugaanku benar, kau gagal melakukan tugasmu." Ansell tertegun sejenak mendengar ucapan wanita itu. Dia pun menatap lekat-lekat wajah wanita berambut brunette yang hanya mempunyai panjang hingga pundak. Pandangan Ansell menyusuri tubuh wanita asing itu. Wanita itu hanya memakai celana riped jeans dan mempunyai banyak lubang di sepanjang kaki serta atasan ruffled top yang mempunyai warna senada dengan jeansnya. Wanita itu nampak sangat berbeda dengan wanita bergaun merah yang hampir dia culik. Bahkan wanita pelayan kafe itu terlihat tidak menarik sama sekali. Ansell memalingkan wajahnya. Dia berjalan menjauh untuk mengabaikan wanita itu. Tidak ingin berlama-lama bersamanya, Ansell segera membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Namun sedetik kemudian wanita itu kembali membuatnya kesal. Kini Ansell melihatnya masuk ke dalam mobilnya kembali dan duduk di kursi belakang. Dia menatap tajam padanya melalui kaca spion. Sedangkan wanita itu bersikap acuh sembari memangku kedua tangan di depan d**a. Ansell segera keluar dari mobil. Dia berjalan ke belakang dan berniat untuk membuka pintu serta menarik wanita itu keluar. Namun Ansell justru melihat wanita itu menekan kunci pintunya membuat Ansell sulit membukanya. "Buka pintunya!" Ansell berteriak seraya menggedor pintu mobil. Dia pun berputar. Ansell berniat untuk membuka pintu mobil sebelahnya. Namun Gwen melakukan hal yang sama membuat Ansell tidak bisa menariknya keluar. Ansell pun kembali ke pintu depan. Dia melongok ke dalam. "Keluar dari mobilku, sialan!" "Aku tidak mau," kekeuh Gwen dengan kedua tangan memegang knop pintu masing-masing. Sehingga dia terlihat merentangkan kedua tangannya. "Apa yang kau inginkan, hah?! Cepat katakan dan segera keluar dari mobilku!" Ansell merasa semakin kesal. Dia mencoba membuka kunci pintunya namun Gwen kembali menekannya. Dan itu sudah ketiga kalinya. "Apa kau sudah tidak waras, hah?! Cepat keluar atau kau akan kubunuh sekarang!" "Coba saja, Buy," Gwen tiba-tiba mengeluarkan pisau lipat berukuran kecil dari saku celananya. Ansell cukup terkejut saat Gwen mengarahkan ujung pisau padanya. Gwen berulang kali membuatnya terkejut dengan tingkah konyolnya. Ansell menatap pisau di tangan Gwen. Dia memperhatikan cara Gwen memegang pisau dan menodongkan padanya. Gwen tidak terlihat ahli memegang pisau lipat. Bahkan Ansell melihat tangannya sedikit bergetar, mungkin karena rasa gugup maupun cemas. Gwen membelalakkan kedua matanya saat pisau itu sudah berganti sang empu. Gerakan Ansell sangat cepat mengambil pisau dari tangannya. Bahkan itu tidak sampai satu detik, menurutnya. "Jangan sembarangan menodongkan pisau jika kau tidak tahu caranya, Nona. Sekarang," suara Ansell terdengar lebih tenang dari sebelumnya. "Keluarlah dari mobilku dan aku akan mengembalikan pisaumu." "Aku tidak akan dan tidak ingin keluar, Buy." "B-Buy?" Ansell nampak tidak suka mendengar nama panggilan itu. "Nona, jangan sembarang mengubah nama seseorang." "Aku tidak mengubahnya. Kau yang menjual, aku yang membelinya." "Kau membuatku sangat kesal. Aku tidak menjual apapun padamu. Justru kau yang menjual kopi sialan itu!" Ansell menaikkan nada bicaranya di akhir kalimat membuat Gwen cukup terkejut. "Namamu Ansell. Sell, aku tidak mungkin memanggilmu seperti itu. Bagaimana jika orang-orang yang mendengar mengira jika aku menjualmu? Apa yang akan mereka pikirkan, hah? Jadi lebih baik aku memanggilmu Buy, yang artinya kau telah aku beli. Okay? Sekarang cepat jalankan mobilnya... Buy," Gwen mengucapkan nada memerintah dan memberi jeda saat akan memanggil nama Ansell. "Dasar konyol," desis Ansell. Dia pun duduk di kursi pengemudi. Tangannya menarik pintu saat hendak menutupnya membuat suaranya terdengar keras. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ansell segera menyalakan mesin mobilnya dan akan menurunkan wanita menyebalkan itu di tengah jalan nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD