Part 04 Adaptasi Tania

1207 Words
Benar kata Devin, mereka bertujuh mendatangi sebuah kafe tidak jauh dari kantor. Sebuah kafe yang letaknya di pinggir jalan dan sangat ramai di jam-jam makan malam. Sigit menemukan meja yang pas untuk mereka bertujuh di pinggir jendela. Entah mengapa, Tania merasa risih saat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Lebih tepatnya memandangi keenam pria yang datang bersamanya. Samar-samar Tania mendengar jika para wanita itu sudah sering melihat mereka makan di sana berenam, tapi mengapa mereka hari ini datang bersama seorang wanita yang nampak biasa saja? Haruskah wanita itu (Tania) makan bersama mereka? Tidak lama setelah mereka duduk, datang seorang pelayan yang berniat mencatat pesanan mereka. “Kau mau pesan apa, Tania?” tanya Daniel yang saat itu memegang menu. “Terserah kau saja yang memesankan. Aku bisa makan apa saja,” jawab Tania sambil melihat-lihat ke sekitar kafe. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada Adit yang begitu sampai, langsung membuka ponselnya. Ponsel pintar yang layarnya bisa di flip over. “Lalu minumnya?” “Yang dingin-dingin aja, jus boleh,” jawab Tania kemudian menoleh ke arah Devin. Setelah semuanya memesan, pelayan pun pergi membawa catatan pesanan dan juga menu. Mereka diminta menunggu beberapa saat. “Devin. Sepertinya kalian berenam cukup populer di kafe ini. Apa kalian sering makan bersama di sini?” tanya Tania ingin tahu. Pasalnya ia merasa seperti sedang makan malam bersama artis di kafe itu. “Tidak juga. Kami sesekali datang kemari kalau pas lembur saja. Ini kami sengaja mengajakmu kemari untuk merayakan kedatanganmu di tim perencana sebagai pengawas. Ini memang sedikit terlambat, karena kami juga harus menyesuaikan jadwal Pak Adit juga. Kebetulan, beliau baru bisa hadir hari ini,” jelas Devin lalu menoleh ke arah Adit bermaksud mengkode Adit supaya memberikan sedikit ucapan selamat datang kepada Tania. Tapi rupanya Adit sedang tidak ingin menanggapi hal itu. Terpaksa Devin yang mengambil alih. “Semoga Tania bisa betah bekerja bersama kami,” harap Devin disusul anggukan kepala yang lain. Tania manggut-manggut. “Well, semoga saja kalian bisa bekerja secara profesional sehingga aku tidak akan banyak koreksi ke depannya,” lugas Tania. “Adit, dari tadi kau terus memainkan ponsel. Apa kau sedang menunggu sebuah pesan?” tanya Yuda yang duduknya bersebelahan dengan sang CEO. Adit mendongak, menoleh ke arah Yuda, sahabatnya. “Sepertinya aku tidak bisa makan malam bersama kalian malam ini,” ucap Adit seraya mengeluarkan dompet kulitnya yang terlihat tebal. Ia mengambil satu kartunya untuk diberikan kepada Yuda. “Apa ini, Dit?” tanyanya bingung. “Kalian bisa makan malam menggunakan kartu ini. Pesanlah sepuas kalian, tapi jangan mabuk,” pesan Adit yang kemudian langsung meluncur pergi tanpa berpamitan dengan benar. “Apa seperti itu kebiasaan CEO kita? Pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan benar?” gerutu Tania tidak suka ada orang yang tidak sopan. “Tidak perlu dipikirkan. Sifatnya memang sudah seperti itu sejak kecil. Lebih baik sekarang kita pesan saja. Pilih apa yang kalian mau karena kita memiliki kartunya Adit,” seru Daniel yang merupakan teman masa kecil Adit. “Dia memang sedikit tidak sopan, tapi sebenarnya ia orang yang baik,” jelas Yuda. “Terserah apa kata kalian, tapi aku akan membayar sendiri makanan ku,” tukas Tania yang tidak suka jika harus makan dibayari menggunakan uang laki-laki hidung belang yang suka gonta-ganti perempuan itu. Ponsel Devin berdering menandakan ada sebuah notifikasi pesan yang masuk ke ponselnya. Ia pun langsung membukanya. “Tania, sepertinya besok kau harus ke luar kota. Orang di sana sudah meminta pengawas yang baru memantau jalanya pembangunan. Besok surat perintahnya pasti sudah ada di mejamu,” jelas Devin setelah membaca pesan dari orang di proyek. “Ehmm, okay.” “Tidak perlu membawa baju ganti banyak-banyak. Secukupnya saja untuk lima hari di sana. Pak Adit juga akan ikut bersama mu. Juga Aku dan Yuda,” tambahnya lagi. “Jangan terkejut. Mereka memang sering memberi perintah secara mendadak seperti ini. Aku sarankan, kau siapkan satu koper tiap bulan untuk jaga-jaga, kalo tiba-tiba kau harus pergi ke luar kota saat itu juga,” jelas Sigit. “Dibilang mendadak juga tidak tepat sih. Mereka juga tidak meminta untuk pergi saat itu juga. Masih memberi setidaknya beberapa jam sebelum keberangkatan,” timpal Ahmad menambahi. “Baiklah. Aku mengerti. Saat di Inggris tidak jarang aku menginap di proyek beberapa minggu jika ada sedikit kesalahan kesalahan konstruksi, jadi tidak perlu khawatir. Aku sudah biasa,” terang Tania yang memang sudah biasa kerja berat di lapangan. “Baguslah, kalau kau sudah terbiasa. Kami jadi tenang,” ujar Daniel yang sepertinya menaruh minat pada Tania, wanita cerdas, mandiri dan sangat cantik. Tidak berapa lama pesanan mereka datang. Karena pesanan Adit tidak jadi dimakan dan terlanjur dipesan, Devin meminta pelayan untuk membungkus saja makanan yang tadi dipesan oleh atasannya. Setelah itu akan ia berikan kepada Yuda yang nasibnya tidak terlalu bagus di antara keempat lainnya. Dirinya juga tinggal di kos-kosan tidak jauh dari kantor karena itu yang dibutuhkan. Jam kerja yang fleksibel membuatnya harus sering tidur di kantor. Karena tidak ada kendaraan pribadi, jadi dia memutuskan untuk mencari tempat kos yang dekat-dekat saja. Sedangkan yang lain rata-rata anak yang lahir dari golongan menengah ke atas yang bekerja hanya untuk mencari pengalaman dalam bidang perencanaan konstruksi dan arsitektur saja. Contohnya Devin. Anak pemilik toserba yang lumayan besar di sudut kota Jakarta dan juga pengusaha batik asli Yogyakarta yang ditekuni sang ibu sejak muda. Sangat menyukai dunia arsitektur dan bercita-cita menjadi arsitek terkenal. Daniel, dia anak dari pemilik toko ponsel terbaik di kotanya. Karena ia lebih suka dunia arsitek, dia akhirnya mengambil jurusan arsitektur. Dan setelah lulus, ia langsung melamar di perusahaan Prayoga corporation setahun yang lalu. Sigit. Anak pemilik bengkel mobil besar di salah satu kota di Jawa Tengah. Ingin mencari pengalaman sama seperti kedua teman sebelumnya. Nekat merantau tanpa adanya saudara di kota besar itu. Sedangkan Ahmad adalah anak juragan tanah di Bogor. Mendapat panggilan kerja saat perusahaan membutuhkan jasanya. Kebetulan Bapak Prayoga dulu berasal dari kota yang sama dengan bapaknya si Ahmad. Yang terakhir si Yuda. Dirinya hanya anak petani biasa yang juga nekat merantau ke kota untuk memperbaiki perekonomian keluarganya. Saat berkuliah, dirinya mendapat beasiswa dan lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Ayahnya terpaksa menjual sebagian sawah demi membiayai Yuda bersekolah di kota sejak SMU hingga ia bekerja di sana. Walau cukup hanya untuk makan sehari-hari saja karena semua biaya sekolah sudah ditanggung beasiswa dan pihak kampus. Itulah mengapa, Adit merekomendasikan Yuda untuk bekerja di perusahaan ayahnya saat ada lowongan di bagian perencana. Karena Adit percaya Yuda jenius di bidangnya. Mereka makan dengan suasana yang cukup akrab membuat semua yang makan di sana memandang iri terhadap Tania yang dikelilingi pria-pria tampan dan terlihat sudah mapan. Hingga pukul setengah sembilan mereka baru selesai makan. “Lain kali aku tidak ingin makan di sini, apalagi makan dengan kalian,” tegas Tania. “Memang kenapa? Apa makanannya tidak enak?” tanya Daniel yang penasaran. “Bukan. Tapi semua wanita di sini sepertinya pengagum kalian, jadi tidak heran jika mereka tidak menyukaiku karena aku bisa makan bersama kalian. Ditambah bajuku yang terlihat kumal begini,” gerutu Tania yang terlihat mulai nyaman dengan kelima bawahannya itu. “Lain kali aku akan mengajakmu makan malam di tempat yang bisa menjaga privasi kita berdua. Ah maksudku kita berenam.” Daniel terlihat gugup karena tidak sengaja keceplosan. Disusul senyum jahil keempat temannya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD