Luke Braun

1507 Words
Cowok ini menjulang tinggi di sampingku walaupun kami sama-sama duduk. Aku perkirakan tinggi badan pemuda ini pasti lebih dari 180 cm. Apa kabar tinggi badanku yang hanya 158 cm ?? tentu saja tenggelam. Dia memakan lebih separuh bangku, ukuran tangannya dua kali lebih besar dariku. Kaki panjangnya kebingungan harus menghadap kemana karena jarak bangku kami tak memadai untuk kakinya yang panjang. Aku hanya senyum-senyum melihat dia kebingungan 'memarkir' kaki-kakinya. "Luke, are you okay ??" Aku menoleh padanya dan dia juga menoleh kecut padaku. "Mmmm....yap, i'm okay but.....kursi nya terlalu kecil dan jaraknya terlalu dekat..." Aku tertawa terbahak di dalam hati, tapi aku tahan. Tak sopan tertawa diatas penderitaan orang. Aku berhati mulia bukan ?? "Nanti kita atur ulang supaya duduknya bisa pas" Ujarku tanpa bermaksud apa-apa. Tapi cowok ini menoleh padaku dengan mata berbinar seolah aku baru saja menyelamatkan dunia. "Thank you Melati" Aku menoleh padanya saat Pak Budi menerangkan akar pangkat yang membingungkan. Sepertinya hal-hal kecil saja bisa menggugah perasaan sahabat baruku ini. "Sama-sama Luke" Jawabku sambil ngedipkan mata padanya dengan sok asik. Tapi Luke menatapku dengan pandangan takjub. Okey, temen sebangku ku sekarang cowok, bule pula, jadi aku harus hati-hati kalau mau melakukan sesuatu di dekatnya. ***** Bell istirahat berbunyi dan aku segera memasukkan kembali buku ke dalam tas. Saat itulah kantong yang berisi barang punya ayah tertarik dan jatuh berceceran keatas lantai. "Hei Mel, ini poin kan ??" Dan cowok ini tahu bahwa yang aku bawa adalah poin untuk wall panjang dinding. Tidak hanya tahu ini barang apa tapi dia juga ikut berjongkok mengumpulkan poin-poin itu dan memasukkan dalam kantong. "Iya ini poin" Jawabku singkat sambil tersenyum padanya. "Dimana ada wall climbing disini ?? kenapa kamu punya barang seperti ini ??" Hmmm sepertinya kami berdua akan segera menemukan kesukaan kami bersama. Maybe. "Hi Luke, mau makan bersama kami ??" Saat sedang ancang-ancang akan meracuni Luke dengan hobi gilaku, tiba-tiba sahabat centilku datang. "Aku tadi sudah makan bakso dengan ibu" Aku dan Nina saling menoleh. Dia menyebut ibunya sebagai 'ibu', bukan mommy, mom, atau mother atau mutter dalam bahasa Jerman. Tapi dia memanggil dengan 'ibu' itu manis sekali. "Okey, kalau begitu kamu minum saja, Melati yang traktir jangan khawatir. Sambil ngomongin batu yang dibawa Melati tadi. Hayuk !!" Enak aja, dia yang pengen deket-deket ini cowok tapi aku yang disuruh traktir. Dasar. "Hayuk lah Mel...lelet amat si...." Nina mengedipkan matanya padaku supaya aku cepat tapi tangannya menggamit lengan Luke dan cowok itu nurut saja. Akhirnya kami bertiga berjalan ke kantin, mereka berdua seperti dua pengantin sedangkan aku seperti pengiringnya. Kami berjalan di iringi tatapan teman-teman sekolah yang penasaran pada Luke. Lalu kami bertiga duduk di pojok. Nina berjejer dengan Luke, sementara aku duduk di seberang meja. Tak lama Pak Jun datang dengan pesanan kami, 2 es teh dan 1 mangkok mie bakso. "Ini mie bakso aku, laper belum makan" Nina menyambar mangkok dan segera melahapnya. Aku heran dia masih lapar padahal istirahat pertama tadi dia makan bakso dengan 2 lontong dan sekarang dia bilang lapar?? Aku dan Luke meminum es teh kami dengan santai. "Point itu....?? kenapa ke sekolah bawa point ??" Luke memulai obrolan. "Oh itu milik ayah ku dan akan diberikan pada temannya, nanti teman ayah akan mengambil disini..." "Bagaimana bisa ayah kamu punya barang seperti itu Mel ??" "Ayahku punya toko alat-alat petualangan" "Oh ya ??" "Iya" "Keren. Aku harus main ke toko ayah kamu" "Boleh. Aku sering ikut jaga disana. Datang saja" "Okey, kalau ada waktu aku pasti kesana. Aku...aku boleh minta nomer kamu ??" "Boleh...boleh...sini ponsel kamu.." Tentu saja itu bukan aku yang menjawab tapi sahabatku yang sedang mengunyah mie tapi masih sempet menyambar ponsel di tangan Luke. Tapi tentu saja sebelum nulis dia menyambar es teh ku dulu lalu meminumnya. "Nah, itu nomer Melati dan nomer aku juga....hehehehe...Nina, inget namaku Niiiinaa..." "Mmmm...O-okay Nina, thank you" "Sama-sama Luke, jangan sungkan-sungkan. Kalau mau telpon aku telpon aja ga usah sungkan. 24 jam aku siap menerima telepon kamu" Aku menyepak kaki Nina dibawah meja. Takut Luke kabur karena serem dengan keagresipannya. Tapi Nina pura-pura tak tahu kalau kakinya di sepak olehku. "Oh iya Mel, dimana bisa latihan wall climbing disini ?? di sekolah aku tidak melihatnya..." "Di rumah Mela ada....ada yang tinggi dan ada yang pendek tapi lebar ke samping terus ada batu-batu nya gitu...." Lagi-lagi Nina yang nyerocos. "Oh ya ?? kamu punya wall sama boulder Mel ?? wah keren. Boleh dong aku numpang latihan kapan-kapan ??" "Boleh...boleh...hayuk kapan latihan ??" Bisa ditebak kan siapa yang menjawab ?? "Boleh Mel ??" Tanya Luke padaku lagi. "Boleh. Datang aja" Cowok ini memandangku dengan tatapannya yang tajam dan matanya yang biru. Aku gugup. "Okey, secepatnya aku akan main ke rumahmu kalau ibu sudah mengijinkan" Aku dan Nina berpandangan, ternyata masih ada ya cowok bule yang kalau mau pergi-pergi harus ijin ibu nya dulu ?? tapi secara pribadi itu manis sekali. Itu sesuatu yang berbeda. "Ibu pesan padaku bahwa selama aku masih baru disini maka kemana-mana harus ijin dulu padanya" Luke tanggap dengan tatapan heran kami berdua dan dia langsung menjelaskan. Dari situ aku mengambil kesimpulan pemuda ini manis dan telah di didik dengan baik oleh ibunya. Kami berdua, aku dan Nina mengangguk paham. "Oh ya Luke, maaf aku mau nanya ya, gak di jawab juga nggak apa-apa. Kenapa wajahmu tidak ada wajah Jawa nya gitu ?? Kamu tuh bule banget tau. Kamu bilang ibumu Jawa kan ??'' Lalu Luke membuka ponsel di tangannya lalu menunjukkan sesuatu. Sebuah foto. "Ibu memang orang Jawa tapi dia keturunan Belanda..." Mataku dan Nina memandangi foto di dimana wanita cantik dengan memakai kebaya cantik, wajah Jawa tapi matanya ke biru-biruan. ***** Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa persahabatan ku dengan Luke sudah berjalan hampir 2 tahun. Sekarang kami sudah kelas 3 SMA menjelang kelulusan. Luke, cowok blasteran ini sangat populer di sekolahku. Dan Luke meskipun ada adat-adat Jawa dan cara mendidik ibunya yang baik telah membentuknya menjadi karakter yang baik tapi tetap saja Luke adalah seorang cowok populer pada umumnya. Dia playboy, gampang dekat dengan cewek. Tapi karena aku dan dia berteman secara platonis maka ke playboy-annya bukanlah masalah buatku. Bagian itu adalah bagian urusan personal Luke.. Walaupun Luke kemana-mana bersamaku tapi aku juga membiarkan dia ketika dia bersama cewek-ceweknya. Pun ketika dia lupa janjinya bersamaku akan rock climbing, aku harus tetap sabar karena aku tahu waktunya tak perlu selalu dihabiskan denganku. Luke ber gonta-ganti pacar tak terhitung kali. Ada saatnya dia akan mengajakku naik motor lalu dia berteriak-teriak menyanyikan lagu patah hati ketika dia putus dengan satu cewek. Padahal aku tahu dia tak pernah patah hati karena besok dia akan bersama cewek yang lain. Hal itu kadang membuatku geleng-geleng kepala sambil bertanya dalam hati 'adaaaa ya cowok macam dia'. Walaupuun pertanyaanku itu hanya tinggal pertanyaan saja karena dia tetap temanku, aku aman bersama dia, aku bisa membagi apapun masalahku padanya. walaupun sebetulnya dia yang lebih banyak masalah ketimbang aku. Tapi kami dekat, layaknya saudara. Hingga walaupun sebanyak apapun cewek yang dia punya, tapi sikapnya padaku tak pernah berubah. Dia tak pernah mengabaikan aku atau tak membiarkan gadis yang dekat dengannya membuat dia jauh dariku. Luke menjadi sangat dekat dengan ayahku. Bahkan dia ikut memanggil ayahku dengan sebutan 'Ayah' dan ibuku dengan sebutan 'Ibu'. Mereka berdua menyukai Luke seperti anak lelaki mereka yang tak pernah mereka miliki. Dan aku beberapa kali berkunjung ke rumah Luke. Bertemu dengan ibu Luke yang hanya tinggal dengan pembantunya dan Luke. Luke sering ikut latihan wall climbing di rumah atau rock climbing di tebing yang biasa kami datangi. Berempat. Ibu belayer jadi lead climbing dan kami berdua yang tidak sepengalaman mereka berdua kemudian naik ke tebing dimana ayah sebagai pemandu yang mengarahkan kami harus bagaimana. "Daddy and Ibu divorce, daddy kembali ke Jerman dan aku memilih ikut ibu" Luke bercerita suatu hari dan dia terlihat sedih saat menceritakannya. Aku juga sedih mendengarnya. Ayah ibuku yang membuat Luke menceritakan orang tuanya padaku. Dia melihat ayah ibuku begitu terlihat saling mencintai. Saat aku bercerita bahwa ayah dan ibuku bertemu di gunung saat masih kuliah, dia terlihat sangat tertarik dengan ceritaku saat itu. "Ibu, apa yang membuat ibu tertarik pada ayah ??" Pertanyaan Luke pada ibuku saat ikut makan siang dirumah membuatku senang karena aku juga penasaran akan hal itu tapi tak pernah menanyakan langsung pada ibu. "Ayah ?? dia bertampang bad boy waktu itu. Tahu tidak, bagi gadis yang suka kelayapan ke gunung seperti ibu, bad boy itu lebih menarik. Kayak ada sengat-sengatnya gitu...'' Jawaban ibu saat itu membuatku ngakak. Karena itu benar. Berarti aku sama dengan ibu. Cowok badboy itu mengandung aliran listrik. Ayah yang masih terlihat keren di usia nya yang hampir 50 hanya tersipu malu. Sedangkan Luke hanya melongo, tak memahami maksud 'ada sengatnya'. Mati-matian aku berusaha menjelaskan padanya tapi dia tak paham-paham. Sampai aku lambat menyadari satu hal. Bahwa bad boy itu Luke. Luke itu badboy. "Luke !! kamu langsung aku kasih contoh cowok bad boy" "Okay, give me one example..." Jawabnya bersemangat. "Bad boy is you" Ayah dan ibu angkat jempol meng iyakan. Luke kembali melongo. Rupanya ada orang yang tak menyadari bagaimana dirinya. Luke Braun is Bad Boy. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD