Bab 6 : 🔞Ciuman Yang Hampir Nyata

1529 Words
"Aku masih nggak percaya Scott bisa sejatuh itu. Sekarang, dia pasti lagi merangkai rencana buat ngebalikin keadaan." Yena melempar jaket kulitnya ke sofa studio Hao, sebuah senyum kemenangan masih menghiasi wajahnya. Kemenangan di Restoran Bima terasa manis, tetapi rasa lega yang ia dapatkan jauh lebih besar daripada sekadar dendam. Ia berhasil menampar Scott dengan keberaniannya sendiri. Hao, sebaliknya, tampak seperti habis menahan napas selama satu jam. Ia mondar-mandir di dekat meja kerjanya, raut wajahnya tegang. "Itu over-performance yang berbahaya, Yena," kata Hao, nadanya terdengar tertekan. "Aku nyaris kena serangan jantung waktu kamu menjilat ibu jari kamu di depan Scott. Itu jelas-jelas di luar skenario." "Jantungan? Easy, Hao, yang aku jilat itu ‘ibu jari’ bukan ‘kamu’. Buktinya berhasil, kan, Hao?" Yena membela diri. Dia mengambil pena dan mengetuk-ngetuk kontrak Project IceStorm yang tergeletak di meja. "Berhasil, iya. Tapi kamu melanggar Pasal 2, Pasal 3, dan kamu berhak didenda kopi selama seminggu penuh," balas Hao datar. Dia meraih pulpen dan dengan teliti menulis 'Denda Kopi x7' di margin kontrak. Dia memang Mr. Analyst sejati. Yena tertawa kecil, melompat turun dari meja. "Kamu benar-benar unik, Hao. Udahlah, lupakan soal denda udang itu. Sekarang, kita fokus ke langkah selanjutnya. Scott dan Luna butuh dosis yang lebih kuat." "Dosis apa lagi?" Hao mengangkat alisnya yang tertutup poni panjangnya. Ekspresinya sedikit cemas. Yena membuka ponselnya. "Scott itu playboy sejati. Dia tahu pasangan yang benar-benar jatuh cinta itu nggak cuma main-main kutipan Stoik. Mereka saling cium. Scott bilang aku kaku. Aku harus buktiin ke dia kalau aku nggak kaku sama kamu." Yena melangkah mendekat. "Kita butuh foto. Foto intim. Foto yang menunjukkan kita lagi ciuman behind the scenes. Kita akan pakai kanvas lukisan kamu yang besar itu sebagai penghalang." Hao langsung menggeleng, seolah baru saja disiram air dingin. "Nggak. Jelas nggak. Itu melanggar Pasal 2 dan Pasal 4. Kita nggak akan pernah ciuman, Yena. Jangan gila." "Astaga, Hao! Kamu kaku banget!" Yena mulai kesal. "Ini cuma propaganda, bukan ciuman beneran. Kita tunjukin siluet kita, tangan kita, dan ujung rambut kamu yang gondrong. Semua orang akan tahu, kita lagi 'berbuat' di sana." "Aku menolak, Yena," ucap Hao tegas, menyilangkan tangannya di d**a. "Kalau batas kita kabur, kita bakal lupa kenapa kita melakukan ini. Kontrak ini ada untuk melindungi kita berdua." Yena menatap Hao lama. Dia berjalan pelan, meraih tangan Hao yang dingin. "Hao, tatap aku." Hao akhirnya menoleh, matanya serius, tetapi ada keraguan di dalamnya. "Scott menggunakan batasan yang aku buat untuk alasan selingkuh. Dia bilang aku penakut, nggak pantas, dan membosankan. Tiga tahun aku jaga diri aku demi dia, dan dia cibir itu di depan umum. Aku nggak butuh kamu cium aku karena nafsu, Hao. Aku cuma butuh kamu buat bantuin aku buktikan ke Scott, kalau aku mau cium kamu, aku bisa. Dan Scott nggak punya hak untuk mengejek batasan aku." Kata-kata tentang harga diri itu langsung menembus armor kaku Hao. Dia tahu ini bukan lagi sekadar dendam, tapi tentang Yena mendapatkan kembali kendali atas dirinya. Hao menghela napas panjang, berat. Dia menatap kanvas besar yang tertutup kain di sudut studio. "Oke," kata Hao, suaranya pelan, seperti mengakui kekalahan. "Tapi ini hanya untuk foto. Hanya satu kali click. Kamu harus ingat, ini murni dramatisasi. Kalau kamu yang baper duluan, kopi aku sebulan penuh. No protest." "Deal!" Yena berseru. Yena dengan cepat menempatkan Hao di sudut ruangan. Kanvas besar diletakkan di belakang Hao, menciptakan latar belakang gelap yang sempurna. "Oke, Hao, kamu harus terlihat seperti kamu menginginkan ini, tapi harus sembunyi-sembunyi," instruksi Yena. "Condongkan badan kamu ke depan, sedikit membungkuk. Aku yang akan memimpin." Yena meletakkan ponselnya di tumpukan buku, mengatur sudut. Dia berdiri di antara Hao dan kanvas, mengangkat tangannya menyentuh pipi Hao. "Tutup mata kamu, Hao. Jangan tegang," bisik Yena. Hao menutup mata. Yena memajukan wajahnya. Bibir Yena menyentuh bibir Hao. Dingin. Kering. Kaku. Click. Yena segera menarik diri dan cepat-cepat memeriksa hasil foto itu. Hao berdiri kaku, tidak bergerak. "Gimana?" tanya Yena, menunjukkan layar ponselnya. Hao mendekat, kepalanya miring melihat hasil foto itu. Ekspresi Hao berubah dari canggung menjadi kritis. "Nggak, Yena. Ini jelek." "Hah?" "Lihat. Kamu terlalu tegang. Badan kamu kaku, kayak kamu lagi menahan napas. Scott kenal kamu, Luna kenal aku. Mereka akan tahu ini palsu. Mereka akan berpikir kita ciuman pertama kali, dan itu nggak meyakinkan," kritik Hao, suaranya kembali ke mode analitis. Yena merasa malu luar biasa. Dia menarik ponselnya. "Aku... aku emang nggak pernah ciuman, Hao. Sama Scott aja nggak pernah. Jadi, emang pose yang nggak canggung gimana?" Hao terdiam. Matanya yang tadi dingin kini menunjukkan campuran simpati dan kejengkelan. Dia merapikan rambut gondrongnya yang menutupi dahinya. Dia tahu dia tidak bisa mengandalkan Yena untuk memimpin sandiwara ini. "Oke. Fine. Kita ubah rencana," kata Hao, kini mengambil alih komando. "Aku butuh kamu videoin. Bukan foto. Video singkat, 5 detik. Gerakan terlihat lebih intim daripada foto kaku," Hao menunjuk ponsel Yena. "Nyalain fitur slow motion di ponsel kamu. Rekam siluet kita. Click sekarang." Yena terkejut, tapi tangannya nurut. Dia menekan tombol rekam, lalu meletakkan ponselnya kembali di tumpukan buku. "Sekarang," kata Hao, suaranya tiba-tiba berubah, menjadi lebih dalam dan berwibawa. Bukan lagi Mr. Analyst yang kaku, melainkan seseorang yang tahu apa yang dia lakukan. Hao melangkah maju. Dia tidak meminta izin. Dia meletakkan kedua telapak tangannya di pinggang Yena, menarik tubuh Yena rapat ke tubuhnya hingga d**a mereka menempel erat, pinggul Yena tertekan pada tonjolan keras di celana Hao yang mulai mengeras. Sentuhan itu melanggar semua Pasal 2—telapak tangan Hao yang kasar dari cat dan kuas menggenggam pinggang Yena dengan kuat, jari-jarinya menyusup sedikit di bawah hem kausnya, menyentuh kulit telanjang yang panas dan lembab. Yena tersentak, napasnya tersengal, putingnya mengeras secara instan di balik bra tipisnya, bergesekan dengan kain jaket Hao. Sebelum dia sempat protes, Hao sudah menunduk, napas panasnya menyapu leher Yena, membuat bulu kuduknya berdiri. "Tutup mata kamu, Yena. Tadi itu... ciuman anak SMP yang takut ketahuan guru," bisik Hao, suaranya terdengar lembut namun penuh perintah, bibirnya menggigit cuping telinga Yena dengan ringan, mengirimkan getaran listrik langsung ke selangkangannya. "Begini ciuman orang dewasa, Yena. Dan ini, untuk balas dendam kita." Tanpa menunggu jawaban, Hao menciumnya—bukan sekadar sentuhan, tapi serangan penuh nafsu. Bibirnya menekan bibir Yena dengan kekerasan yang terkendali, lidahnya langsung menyelinap masuk, menjelajahi mulut Yena dengan gerakan basah dan lapar, menjilat langit-langit mulutnya, menggigit bibir bawah Yena hingga sedikit berdarah, rasa asin bercampur manis. Aroma tiner dan cat minyak bercampur keringat maskulin Hao memabukkan, membuat kepala Yena pusing, selangkangannya basah secara tak terkendali, cairan hangat merembes ke celana dalamnya. Detik demi detik berlalu, terasa seperti jam. Hao memperdalam ciuman itu, mencuri napas Yena, satu tangannya naik ke belakang leher Yena, menarik rambutnya agar kepalanya mendongak, memperlihatkan lehernya. Bibir Hao turun sebentar, menggigit dan menjilat kulit leher Yena, meninggalkan bekas merah basah, sebelum kembali ke bibirnya dengan lebih ganas, lidahnya mendorong masuk lebih dalam, seolah ingin menelan Yena utuh. Yena merasakan tubuhnya meleleh, payudaranya tertekan keras ke d**a Hao, putingnya bergesekan terasa menyakitkan namun manis, selangkangannya berdenyut-denyut dengan keinginan yang belum pernah ia rasakan, cairan lengket membasahi pahanya dalam. Tiba-tiba, Hao menarik diri dengan kasar, napasnya tersengal tapi terkendali, bibirnya bengkak dan basah oleh air liur mereka berdua. Yena terhuyung, matanya terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal seperti habis berlari. Dia merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat, kakinya lemas hingga nyaris ambruk, selangkangannya basah kuyup dan berdenyut, air mata tertahan di tenggorokannya bercampur rasa malu dan hasrat yang membara. "Kamu kenapa?" tanya Hao, melihat Yena yang pucat dan gemetar hebat, nyaris jatuh. Pria itu menyentuh bibirnya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus jejak kontak Yena. "Aku... aku pikir, aku mau pingsan," bisik Yena, suaranya serak dan gemetar, tangannya tanpa sadar menyentuh bibirnya yang bengkak, lalu turun ke selangkangannya sendiri, merasakan kebasahan yang memalukan. Hao menyimpan ponselnya. "Nggak. Kamu nggak pingsan. Kamu cuma terkejut. Good." Dia menatap Yena dengan tajam, suaranya kembali ke mode Mr. Analyst yang kejam, meski matanya masih gelap oleh sisa nafsu. "Lihat aku, Yena. Kamu yang saranin drama ciuman ini. Kamu yang mau buktiin ke Scott kalau kamu nggak kaku. Jadi, kalau kamu mau drama, lakuin dengan cara yang bener," kata Hao, tanpa sedikit pun kehangatan atau penyesalan, meski tonjolan di celananya masih terlihat menonjol. "Aku nggak akan melanggar kontrak lagi. Tapi kalau kamu mau Project IceStorm berhasil, kita harus terlihat sangat nyata. Kamu harus tahan. Kamu harus kuat." Hao mengulurkan ponsel Yena, yang menampilkan klip video buram: siluet dua orang yang terlihat sangat terobsesi satu sama lain, di sudut ruangan gelap, dengan gerakan pinggul dan erangan samar yang tertangkap. "Sekarang, post ini. Dan jangan lupa denda kopi. Sebulan penuh. Worth it, kan?" Yena mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Dia menatap klip video itu, merasakan wajahnya panas, selangkangannya masih berdenyut. Dia menulis caption dengan tangan yang masih sedikit gemetar: Yena: Beberapa hal harus disembunyikan dari dunia. Dan ini adalah hal favorit aku. Yena melihat ke belakang, melihat Hao yang sudah kembali ke tumpukan buku-buku tebal, memunggunginya, seolah adegan tadi tidak pernah terjadi. Yena tahu dia tidak membayar denda karena melanggar kontrak. Dia membayar harga atas percikan api yang barusan ia rasakan, percikan api yang terasa lebih nyata dan berbahaya daripada semua janji palsu yang pernah ia dengar—api yang kini membakar di antara pahanya, meninggalkan keinginan yang tak terpuaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD