Pagi itu, udara di sekitar gerbang belakang kampus terasa panas, meski jam baru menunjukkan pukul sembilan. Yena berdiri di bawah pohon rindang, menunggu jemputan Yosua. Dia baru saja menyelesaikan urusan skorsingnya di Bagian Administrasi. Tiba-tiba, sebuah suara berat menginterupsi keheningan. “Nungguin Abangku?” Yena tidak perlu menoleh untuk tahu itu Hao. Bau parfumnya yang khas—campuran musk dan tembakau mahal—sudah mengumumkan kehadirannya. Yena hanya menggeser badannya sedikit, menatap lurus ke jalan. “Bukan urusanmu,” jawab Yena datar. Hao berdiri di sampingnya, tubuhnya yang tinggi dan tegap memblokir sedikit cahaya matahari. Yena melirik sekilas. Hari ini Hao terlihat lebih rapi dari biasanya, tetapi ada aura tegang di wajahnya dan rambut yang gondrong acak-acakan. “Jalan ka

