Bab. 5. Hal Tak Terduga.

1251 Words
Satu minggu berlalu, semua nampak biasa saja seperti hari biasanya. Narendra juga dalam keadaan baik. Pagi itu, setiap pagi, bayi mungil itu selalu menjadi pusat perhatian di antara kesibukan pagi hari. Meski hanya Abiyasa saja dan papanya yang selalu rame di kala pagi sebelum menjelang sarapan. Mereka berdua seolah punya mainan baru yang sungguh menggemaskan. Sedangkan Anandini meski baru dalam pemulihan, wanita cantik itu selalu sigap membantu pekerjaan rumah. Meski sering dilarang asisten, nyatanya, Anandini tak enak dengan sikap mama mertuanya yang selalu dingin dan menatapnya tidak ramah. "Nona lebih baik duduk saja, jangan terus bekerja membantu kami!" Anandini menoleh ke asisten rumah dengan senyum tipis di wajahnya. "Jangan terus menyuruhku duduk, Bi! Bibi kan tahu bagaimana sikap mama, kan?" "Astaga, nyonya memang kalau bicara suka kelewatan. Seharusnya, Nona pura-pura tidak dengar saja!" "Mana bisa seperti itu, Bi." Pagi itu persiapan sarapan sudah selesai. Anandini langsung mandi mumpung putranya anteng dan belum minta ASI. Selang beberapa menit dia kembali untuk sarapan. Seperti biasa, Laksmi hanya menggendong sebentar cucunya itu. Seolah hanya formalitas agar dia tak terlalu mencolok jika dia membenci sang menantu. Setelah selesai menggendong Narendra, dia memberikan ke Anandini. "Berikan kepada embak saja, Anandini. Kamu juga harus sarapan!" titah Abiyasa. Tanpa disuruh, Mbak Sita langsung mengambil alih Narendra dari pangkuan nonanya. ___ "Kapan kamu mau beli rumah sendiri, Mas?" tanya Anandini kepada suaminya. Risang yang sedang ganti pakaian bersiap kerja pun menoleh. "Kamu sudah tidak betah tinggal di sini?" Helaan nafas pelan terdengar dari bibir Anandini. Bukannya mendapat jawaban, dia malah mendapat pertanyaan dari suaminya. "Bukan masalah enggak betahnya, Mas. Lebih enak tinggal di rumah sendiri. Apalagi kita sudah punya anak." "Nanti aku bicarakan dulu dengan papa. Kalau mama menyetujui, baru aku akan cari rumah untuk kita." Tanpa melanjutkan obrolan yang masih terdengar ambigu, Risang langsung pergi meninggalkan istrinya begitu saja. "Mau sampai kapan, suaraku tak dianggap," ucap Anandini sambil menatap putranya yang mulai tertidur. Beberapa jam berlalu, saat Anandini membereskan pakaian Narendra. Bayi tampan itu menngis keras. Dengan cepat, wanita muda itu langsung menggendong anaknya. "Kok badan kamu panas?" Anandini merasa suhu tubuh putranya meninggi. Anandini mencoba memberikan ASI. Namun bayinya tidak mau dan terus menangis. Hingga akhirnya dia membawa turun agar dibantu oleh asisten untuk menenangkannya. "Dia kenapa berisik sekali?" tanya Laksmi yang duduk menikmati teh di ruang tengah. "Badannya panas, Ma!" "Masa bayi langsung kena deman, emang kamu mandiin pakai air dingin?" tanya Laksmi dengan tatapan tak bersahabat. "Ya enggak dong, Ma." Anandini langsung ke dapur, di sana, dia dibantu asisten agar bayinya diam. Namun baru mau memanggil asisten, anak Anandini pun mengalami kejang. Anandini dan beberapa asisten rumah pun merasa kaget juga takut, karena bayi yang baru berumur satu minggu itu mengalami kejang akibat demam tinggi. "Jangan panik, Nona. Bibi akan bantu atasi." Air mata terus berlinang di pipi ibu satu anak itu. Namun setelah dibaluri minyak telon dan bawang merah, Narendra berhenti kejang. Bayi itu menangis keras. Membuat Anandini berlari keluar agar sopir menyiapkan mobil. "Bi, nanti aku cari pak sopir dulu, suruh dia siapin mobil biar aku bawa Narendra ke rumah sakit saja. "Iya, Nona." Anandini berjalan tergesa menuju depan, setelah bertemu da bicara dengan sopir pribadi keluarga suaminya, dia meminta bantuan agar diantar ke rumah sakit. Setelah itu dia mulai berganti baju, dan kembali ke bawah. "Mau kemana?" tanya Laksmi. "Aku mau bawa Narendra ke rumah sakit, Ma." "Jangan bawa mobil mama! Aku juga ada acara di jam sembilan nanti!" "Kan mama masih lama, biar sopir drop aku sama bibi aja, Ma! Narendra sampai kejang karena demam tinggi. Kenapa mama tega sama cucu sendiri?" " Bodo amat, emang aku harus pikirin semua hal mengenai kamu. Naik ojek aja sana! Enggak punya mobil kok berlagak punya!" Air mata Anandini mulai mengalir deras, dia langsung memesan taksi lewat aplikasi online. Dia berjalan menuju asisten yang sedang menenangkan anaknya. Dia juga tak menyangka kalau mama mertuanya tak punya toleransi untuk meminjamkan mobilnya. 'Sabar, Anandini, semua hal buruk yang kau alami, suatu hari, akan kembali kepada orang yang menyakitimu,' monolog Anandini dalam hati. "Biar aku kasih ASI dulu, Bi." Anandini meminta anaknya dengan suara serak karena menangis. Tatapan wanita paruh baya yang sering dipanggil Darmi itu terlihat kaget. "Loh, ada apa, Non?" "Tidak ada, Bi. Aku sedang menunggu taksi datang, kita enggak jadi pakai mobil rumah, karena mau dipakai mama." Darmi hanya diam, dia paham akan sifat majikannya. Pasti nonanya habis di marahi karena mau pakai mobil itu. Narendra pun mau menyus* sehingga membuat hati semua orang tenang. Menunggu sekitar sepuluh menit taksi pun tiba. Anandini langsung pergi meninggalkan rumah. Dia akan mengabari suaminya setelah berada di dalam mobil saja. "Nona enggak jadi pergi sama saya?" tanya sopir keluarga Risang. "Tidak, Pak. Mobil mau dipakai mama." Sopir itu hanya nenatap bingung ke arah nonanya yang pergi ke luar rumah bersama Darmi. "Bi, tolong gendong Narendra sebentar, aku mau telpon Risang!" "Baik, Non. Sini!" Narendra dipangku Darmi. Namun wanita paruh baya itu sedikit aneh karena wajah bayi yang pucat. Namun Darmi hanya bungkam tanpa berani menyampaikan. Semoga apa yang ia pikirkan hanya kesalahan. Anandini sudah tiga kali mencoba menelpon suaminya, namun ponselnya tidak aktif. Dia juga menelpon ke nomor kantor suaminya namun juga tak ada respon. Kesal, ibu muda itu merasa hari ini menjadi pagi tersial untuknya. "Semua seolah sedang berkompromi untuk tidak menolongku," gumam Anandini. "Jangan bicara seperti itu, Non. Bentar lagi kita akan sampai. Semoga bayi Nona segera mendapat perawatan." "Iya, Bi." "Kenapa tidak menghubungi orang tua nona saja?" Anandini menoleh ke arah Darmi. Seolah ucapan dari asisten rumah itu adalah solusi. "Iya, Bi. Aku mau coba telpon Mama." Dering pertama hingga ke tiga, akhirnya suara Dara pun terdengar. "Ya, Anandini, ada apa?" "Ma, Narendra tiba-tiba panas tinggi, aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit sekarang bersama Bi Darmi." "Apa kau sudah menghubungi suamimu?" "Sudah, Ma. Sepertinya dia sedang ada rapat penting, karena ponselnya mati." "Ya, sudah, mama akan segera ke sana. Sekalian mau kasih tau papa." Anandini pun merasa lega, karena mamanya langsung merespon. Tepat dengan perjalanan menuju rumah sakit pun sampai. Narendra langsung masuk ke UGD untuk mendapatkan perawatan. Menit berlalu, Anandini masih harap cemas karena dokter tak kunjung keluar. Suasana hati istri Risang itu sedikit membaik saat kedua orang tuanya datang. Pelukan dari mereka membuat semua seolah bisa ia lalui meski terasa berat. "Narendra pasti hanya demam biasa. Semua akan baik-baik saja, Sayang." "Dia sempat kejang, Ma!" Dara kaget, namun sebisa mungkin dia bersikap biasa saja. Dia tidak akan berpikir buruk mengenai kesehatan sang cucu. Dia akan menanti penjelasan dokter saja. Sedangkan di dalam ruangan itu, dua dokter yang menangani Narendra sudah berusaha semampunya untuk membuatnya bergerak atau menangis. Kedua dokter lelaki itu saling tatap dengan hembusan bafas berat. "Aku akan temui orang tuanya!" Satu dokter masih di dalam dan satunya mulai kekuar menemui Anandini. "Bagaimana dengan kondisi putraku, Dok?" tanya Anandini dengan wajah kusut penuh kecemasan. Tatapan dokter itu tertuju kepada semua orang yang menemani ibu sang bayi. "Maaf." Ucapan terjeda membuat tatapan Anandini pun semakin cemas dengan detak jantung yang bergemuruh. "Bayi anda tidak bisa kami selamatkan. Jantungnya sudah tidak berdetak sejak anda membawanya kemari." Ucapan dokter itu membuat kaki Anandini seolah tak bertulang, dia ambruk dengan air mata di pipi. "Tidak ...!" Teriakan penolakan atas berita yang baru saja dengar membuat hatinya remuk redam. Dara mulai berjongkok dan memeluk putrinya dengan air mata yang menetes pula. Ingin memberikan ketenangan, nyatanya bibirnya pun kelu. Anandini menumpahkan semua emosi hatinya di depan UGD. Tak peduli berapa puluh pasang mata yang tertuju padanya. Dia tidak pernah merasakan kesedihan yang menurutnya di luar batas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD