Bab. 9. Kenyataan Lainnya.

1466 Words
Helaan nafas panjang keluar dari bibir Anandini saat dia memasuki area rumah sakit. Rentetan kejadian yang sebanarnya membuat dirinya sesak dan kembali bersedih. Baru saja dia melahirkan dan menimang anak pertamanya, selang satu minggu saja, Allah punya kehendak lain mengenai takdir hidupnya. Ingin mengeluh dan mencari pembenaran, rasanya percuma. Karena semua adalah kuasa sang pemilik hidup. Anandini tidak pernah ingin di posisi sekarang. Nyatanya, semua hal yang terjadi membuat dirinya semakin kuat dan berkembang. Langkah pelannya menuju ruangan khusus untuk bayi yang baru lahir. Dia berdiri lama di kaca yang menjadi pembatas dengan tatapan sendu. Bahkan, air matanya seakan ingin kembali tumpah. 'Ingat tujuanmu kemari untuk apa, Anandini. Jangan terus menangisi hal yang memang bukan takdirmu.' Anandini bicara dalam hati memberi kekuatan untuk dirinya sendiri. Hingga ada suster yang menyapanya, Anandini masih bergeming untuk beberapa saat. "Maaf Nona, ada yang bisa saya bantu?" Anandini menoleh, melepas kaca mata hitam yang ia pakai. "Maaf suster, boleh saya bicara sebentar dengan anda?" "Baiklah, silakan masuk, ada apa?" Suster mempersilakan masuk ke dalam area bayi itu. Namun sejak pertama kali suster datang, dia memperhatikan tatapan wanita cantik di depannya ini tertuju pada bayi mungil yang terus bergerak dengan suara khas bayi. "Dia baru lahir empat hari lalu, namun takdirnya pun buruk," celetuk suster membuat kening Anandini mengkerut seolah berpikir keras mengenai ucapan itu. "Dia kenapa?" tanya Anandini pada akhirnya. "Dia ditinggalkan ibunya saat usianya baru dua hari." Anandini menatap wajah suster itu dengan tatapan tak percaya. "Maksudnya dengan ditinggal itu apa?" "Ibunya pergi entah kemana. Suaminya sedang mencari keberadaan sang ibu itu tapi sampai saat ini belum di temukan." Anandini mengangguk mengerti, dia langsung mendekat ke arah bayi itu. Bayi mungil dengan tangis yang begitu kencang. Membuat naluri keibuan istri Risang itu terpanggil. Dan hasilnya, bayi itu langsung diam di gendongan Anandini. Suster pun hanya tersenyum sambil terus menatap ke arah wanita cantik yang baru saja ia kenal. "Lalu dia minum s**u apa? Dan sepertinya dia minta ASI?" tanya Anandini menatap suster. "Kami masih mencari s**u formula yang cocok dengannya. Karena sudah banyak merk s**u yang dicoba pun tidak bisa dikonsumsi karena bayi itu alergi," jelas Suster. "Aku juga punya bayi, tapi baru usia satu minggu dia sudah meninggal karena panas tinggi dan kejang. Kalau boleh, aku ingin memberikan ASI ku padanya." Anandini meminta izin ke suster. "Maksud anda, menjadi ibu s**u anak itu?" tanya Suster memperjelas maksud Anandini. "Iya. Lagian dia lapar, kalau ASI ku cocok, aku akan menjadi ibu s**u untuknya." Suster tak segera mengiyakan, karena dia juga harus minta izin ke orang tua anak itu dulu. Tapi, sudah sejak pagi dia belum menyusu dan pasti dia sekarang sangat lapar. Akhirnya, suster itu memberikan izin agar memberikan ASI kepada bayi malang itu. "Dia cewek ya, Sus, masih tanpa nama?" tanya Anandini sambil meny*s*i. "Iya, dia cewek, ayahnya belum memberikan nama." Menit berlalu, Anandini merasa senang karena bisa mendonorkan ASI nya. Dia juga memompa sampai mendapat dua kantong ASI untuk persediaan malam nanti. "Aku ada banyak stock ASI di rumah, Sus. Besok pagi, kalau bayi ini tidak merasa terganggu dengan ASI ku, suster bisa menelponku!" "Baik, Nona." Setelah bayi itu kenyang ia pun tertidur, Anandini langsung bertukar kontak dengan suster. "Gimana kalau ayah bayi ini datang dan bertanya mengenai s**u yang di konsumsi anaknya ini, Nona?" "Bilang saja yang sebenarnya, Sus. Kalau lelaki itu marah, kasih saja nomor telponku, atau suster Ragil bisa menghubungiku dan aku pasti akan datang ke sini." "Baik, Non. Terima kasih karena Nona sudah berbaik hati membantu anak ini. Dia tidak lagi merasakan haus dan kelaparan lagi." "Besok aku akan datang membawa stock ASI dari rumah untuk bayi cantik ini." Anandini pamit pulang, hari sudah semakin siang sejak dia pergi dari rumah. Tiba-tiba, dia mersakan lapar. "Perutku lapar," gumam Anandini sambil mengelus perutnya yang rata. ___ "Apa ada telpon dari rumah sakit?" tanya Dastan Arsyanendra kepada asistennya. "Tidak, Pak. Sejak pagi, suster yang biasa menelpon tidak memberi kabar," jawab Ghavi El Sadarwira. Tatapan Dastan meragu, pendengarannya terasa ambigu karena jawaban dari Ghavi. Namun itulah kenyataan yang baru saja ia dengar. "Apakah suster sudah menemukan s**u formula yang cocok?" tanya Dastan lagi. Ghavi menggeleng, "Sepertinya begitu, Pak." "Setelah makan siang kita mampir ke rumah sakit!" "Siap, Pak." Siang itu Dastan menemui klien di sebuah restoran ternama di Jakarta. Setelah urusan pekerjaan selesai, dia dan asistennya akhirnya makan siang bersama. Lelaki muda berumur dua puluh lima tahun yang sukses di usia muda itu juga sedang mengalami masalah. Anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Surya Arsyanendra dan Manisha Pinayung Mega itu menikah setahun lalu dengan wanita pilhannya. Namun setelah dikaruniai seorang anak, istri Dastan pergi entah kemana. Kedua belah pihak keluarga pun sudah mencari cara untuk menemukan Jyena Anindra Cetta. Namun sudah berhari-hari, wanita itu tidak ada kabar. Dastan juga belum sempat datang ke rumah mertunya untuk bicara lebih lanjut mengenai kepergian sang istri. Yang di fokuskan lelaki tampan itu hanya mencari cara agar putrinya hidup karena bayi itu alergi s**u formula. Masalah perginya sang istri, Dastan akan urus saat anaknya sudah kembali ke rumah. Sekarang pun, dia sedang berusaha menemukan wanita yang ia cintai itu. Mobil sedan mewah warna hitam melaju kencang membelah ramainya jalan raya, menuju rumah sakit ternama di Jakarta. Dastan langsung melangkah cepat menuju ruangan di mana anaknya berada. Suster yang bernama Ragil itu langsung berdiri dengan tatapan was-was ke arah lelaki yang baru saja datang itu. "Kenapa kamu tidak menelpon? Apakah dia tidak rewel seperti biasanya?" tanya Dastan tanpa menatap ke arah suster. "Di-dia tidak menangis terus menerus seperti biasanya, Pak." "Berarti, kau menemukan s**u formula yang cocok untuknya?" Ragil menunduk sambil memilin jemarinya karena bingung harus menjelaskan dari mana dulu ke lelaki yang menatapnya dingin itu. "Apa merk susunya? Aku akan belikan yang banyak agar anakku cepat dibawa pulang," tanya Dastan lagi. "I-itu, Pak, putri anda sudah menemukan s**u yang cocok, tapi bukan s**u formula." Dastan menoleh, menatap serius ke arah suster yang menjaga putrinya beberapa hari ini. "Apa maksudmu?" tanya Dastan dengan suara lantang membuat nyali suster Ragil menciut. "s**u ini lebih mahal dari s**u formula di manapun, Pak." "Aku akan membelinya asal anakku bisa bertahan hidup," ucap Dastan dengan lantang. Suster Ragil menjelaskan semuanya dari awal bertemu dengan Anandini. Setelah penjelasan selesai, Dastan pun semakin marah kepada suster. "Bagaimana kau bisa mengizinkan anakku menerima ASI dari wanita yang tidak dikenal?" "Bagaimana kalau dia bukan wanita baik-baik?" Rentetan pertanyaan dari Dastan membuat suster itu bingung mau menjawab apa. Lalu ia mengingat pesan Anandini sebelum pergi, dengan cepat dia memberikan kontak yang sudah ia salin tadi. "Anda bisa menghubungi dia ke nomor ini, Pak. Kalau yang saya lihat, dia orang baik dan lemah lembut. Bahkan, putri anda pun nyaman berada di gendongannya." Dastan menerima secuil kertas yang tertuliskan nomor ponsel Anandini. Ia mengambil ponselnya dan menyimpan nomor itu. "Anak anda sejak minun ASI langsung tidur dan tidak menangis lagi. Ini adalah satu-satunya cara agar putri anda bisa bertahan." "Aku akan memikirkannya, kalau memang efeknya bagus untuk putriku, aku pun akan melakukan segala cara agar anakku hidup." Tanpa permisi, lelaki itu langsung pergi, Ghavi pun tak berani bertanya atau berkomentar apa pun. Sebagai orang kepercayaan, dia pun hanya berusaha menjadi karyawan terbaik. "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan, Ghavi?" "Manurut saya, anda harus mengikuti saran suster, Pak. Soalnya, anak anda tidak bisa minum sufor." "Ya, kau benar. Pulang kerja nanti, aku akan menghubungi wanita itu. Siapa tahu dia memang niat menolong." "Aku juga tidak akan membiarkan jasanya secara cuma-cuma. Bagaiamanapun, tidak ada yang kebetulan di dunia ini." "Dan terus cari keberadaan Jyena, Ghav!" "Baik, Pak. Saya sudah semaksimal mungkin untuk menemukan istri anda, Pak. Hanya saja, sudah benerapa hari ini masih saja tidak ditemukan." Ghavi pun merasa aneh dengan hubungan bosnya dengan sang istri. Sepengetahuannya, mereka berdua sangat akur dan terlihat baik-baik saja. Namun, siapa sangka, wanita itu akan tega meninggalkan bayinya demi kesenangannya sendiri. Kedua lelaki tampan itu langsung masuk ke dalam kendaraan untuk kembali ke perusahaan. ___ Langkah pelan Anandini tidak jadi pulang ke rumah. Rencananya, dia ingin mengajak suaminya makan siang bersama di kantor. Karena sudah lama, keduanya tak menghabiskan waktu berdua. Meski ada niatan Anandini untuk berpisah, tetapi, dia akan membuat satu kenangan yang menurutnya indah untuk dirinya, bersama sang suami. Entah kenapa, sejak sampai di rumah sakit tadi, dia merasakan hal janggal. Perasaan gelisah dan terkadang deg deg gan seperti mau bertemu orang penting saja. Resepsionis pun menyambut kedatangan Anandini dengan ramah. Ia langsung masuk lif dan memencet angka 20 di mana ruangan suaminya berada. Dia pun sengaja tak memberikan kabar dulu, karena ingin membuat kejutan. Namun setelah dia sampai di lantai 20 tak ada sekertris yang biasa menyembut, Anandini pun berpikir mungkin sedang ke kamar mandi atau istirahat. Namun, setelah langkahnya berada tepat di depan pintu yang tak sepenuhnya tertutup, ia mendengar suara yang membuat jantungnya diremas, dan merasakan sakit yang luar biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD